Dua Puluh Satu

2.9K 197 4
                                    

“Rahasia apa yang disembunyikan, Dit?” Syarif menatap Radit bingung.

Thalita kembali menatap Radit sambil menggelengkan kepala agar kakaknya tidak membuka suara tentang hubungannya dengan Fadhil yang selama ini dia sembunyikan dari kedua orang tuanya. Thalita takut kalau mereka tahu akan menjadi masalah bagi keluarganya meski hubungannya kini sudah kandas.

“Thalita pernah menjalin hubungan dengan Fadhil,” ungkap Radit.

Thalita lemas. Tidak menyangka kakaknya akhirnya membeberkan tentang itu.

“Apa?” kali ini Hera yang membuka suara dengan nada kaget. “Fadhil anaknya tante Rini yang kamu maksud, Dit?”

“Iya, Ma.” Jawab Radit sambil melirik sinis ke arah Thalita.

“Bagaimana itu bisa terjadi?” Syarif menatap Thalita.

Radit mengangkat bahu. “Tanyakan saja sama Thalita, Pa. Bagaimana bisa berpacaran sama sepupu sendiri.”

Sejenak Thalita memejamkan mata. Dia tidak akan bisa mengelak. Rahasianya sudah terbongkar. Dia sudah ketahuan. Itu semua karena Radit. Ya, kakaknya itu kini adalah manusia paling jahat di dunia setelah Fadhil.

“Memang benar apa yang dikatakan Mas Radit,” aku Thalita. “Tapi, hubungan kita sudah berakhir, Ma, Pa. Thalita sudah tidak punya hubungan apapun lagi sama Fadhil. Bahkan Thalita pun enggan untuk bertemu dengannya lagi.”

“Enggan bertemu tapi di belakang kamu ternyata diam-diam bertemu. Iya, kan?” tuduh Radit.

Kesabaran Thalita semakin memuncak. Dia sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan Radit kepadanya. Dia menatap marah kakaknya dengan kepalan dikedua tangannya. “Sudahlah, Mas Radit nggak usah ikut campur urusanku lagi. Aku nggak mungkin diam-diam bertemu dengannya. Ajudan Mas Radit yang penurut itu.. Ya, si Lingga itu. Dia selalu antar jemput aku mana mungkin aku bertemu dengan Fadhil. Mas Radit diberi mulut sama Tuhan jangan asal nuduh sembarangan.”

“Lalu? Dulu yang sempat mengantarkanmu itu?”

“Hanya saat itu tidak untuk kesekian kali.”

Radit menarik sudut bibirnya. “Pa, sebaiknya awasi saja Thalita ini biar nggak sering keluyuran. Lihat saja tadi dia darimana? Ya siapa tahu habis bertemu sama si Fadhil. Papa tahu kan, keluarga kita keluarga terpandang, keluarga kita keluarga terhormat. Jadi, jangan sampai gara-gara ulah Thalita ini akan menghancurkan reputasi keluarga ini dengan berhubungan dengan saudara sendiri. Papa dan Mama juga tahu kan, sebaiknya menghindari perjodohan dengan keluarga. Jangan sampai ini terjadi. Lagian juga keluarga dari Mama tidak seperti keluarga dari Papa.” Radit kemudian melenggang pergi setelah mengatakan itu di hadapan Thalita dan kedua orang tuanya.

Thalita tertegun. Dia sungguh tidak percaya Radit berbicara seperti itu. Dia tidak mengenal Radit seperti itu. Kenapa kakaknya kini menjadi manusia tamak yang gila hormat? Demi pencintraan akhirnya membuat Thalita tahu kenapa selama ini Radit selalu menentang hubungannya dengan Fadhil.

Keluarga dari Mamanya memang tidak terhormat seperti keluarga dari Papanya, namun bukan berarti Radit dengan seenaknya merendahkan seperti itu. Thalita tidak habis pikir sifat buruk Radit selama ini seperti itu.

Thalita menatap Mamanya lalu Papanya. Mereka hanya diam, tidak bicara setelah Radit pergi meninggalkan mereka. Thalita lalu beranjak. Lebih baik masuk ke dalam kamarnya. Entah apa yang kini sudang difikirkan kedua orangtuanya, entah bagaimana penilaian kedua orang tuanya kepadanya Thalita hanya pasrah. Semua sudah diketahui, toh apa gunanya juga membela.

Membanting tubuhnya sambil mendekap wajahnya dengan bantal. Thalita menjerit sekenanya. Menumpahkan segala kekesalannya. Antara rasa amarah dan sedih bercampur jadi satu. Thalita menangis sejadi-jadinya. Hatinya sangat hancur ketika melihat orang yang dekat dengannya kini tidak mempedulikannya.

“Apa salahnya menjalin hubungan sama sepupu sendiri?” tanya Thalita pada dirinya sendiri sambil air matanya terus mengucur membasahi wajahnya. “Toh agama juga tidak melarang seandainya aku menikah dengan Fadhil.”

Dulu, saat dia masih berpacaran dengan Fadhil, Thalita sempat bertanya kepada Delvi, teman sekampusnya yang juga paham sekali tentang ilmu agama. Bahwa menikah dengan saudara sepupu tidak dilarang. Hanya saja akan terlihat tidak lazim di mata masyarakat karena hubungan seperti itu jarang sekali terjadi. Namun cinta membuatakan segalanya, Thalita sama sekali tidak peduli, dia tetap bersikukuh mempertahankan hubungannya dengan Fadhil. Dia juga akan mengambil resiko jika keluarganya menantang hubungan tersebut. Sayangnya, hubungan yang sudah dia jalani pada akhirnya berakhir.

Suara pintu terbuka. Thalita menoleh, ternyata mamanya sudah ada di balik pintu tersebut. Thalita menghapus sisa-sisa air mata di pipinya lalu mendudukkan dirinya. Hera sudah berada di sampingnya.

“Mama ngapain ke sini? Bukannya lagi marah sama Thalita?” tanya Thalita.

Tangan Hera mengelus puncak kepala Thalita. “Anak-anak bisa juga salah, dan orang tua berkewajiban menuntun ke jalan yang benar. Tindakanmu memang salah tetapi bukan berarti orang tua harus lepas tangan dan seenaknya menyalahkan tanpa mengetahui yang terjadi sebenarnya.”

Suara lembut mamanya akhirnya membuat Thalita mau menatap mamanya.

“Coba ceritakan yang sejujur-jujurnya sama Mama, bagaimana kamu bisa menyembunyikan semua ini dari Mama dan Papa.”

Thalita menggeleng.

Hera kembali mengelus puncak kepala Thalita, agar putri kesayanggannya mau menceritakan apa yang terjadi. Hingga Thalita akhirnya memeluknya, air matanya kembali pecah. Thalita menangis di pelukan mamanya. Thalita benar-benar merasakan kesedihan yang begitu dalam saat ini.

“Maafin Thalita, Ma. Thalita memang salah sudah menyembunyikan ini dari kalian.”

Hera mengusap air mata di wajah Thalita, lalu mengecup kening putrinya. “Coba ceritakan.”

Thalita mengangguk. Kemudian dia menceritakan apa yang selama terjadi pada dirinya. Bagaimana dia bisa jatuh cinta dan akhirnya memutuskan untuk berpacaran dengan Fadhil. Thalita juga menceritakan tentang Fadhil yang memutuskannya tanpa sebuah alasan hingga membuat Thalita enggan membuka kembali hatinya.

“Tapi sekarang Thalita sudah tidak ingin berhubungan dengan Fadhil, Ma.” Suara Thalita terisak sambil menceritakan konflik batinnya selama ini. “Maafkan Thalita, Ma. Thalita janji nggak akan berhubungan dengan Fadhil lagi. Tapi…” air mata Thalita kembali mengucur. “Thalita tidak ingin bertunangan dengan Lingga. Thalita sama sekali tidak mencintai pria itu, Ma.” Kedua tangan Thalita menelangkup, memohon pada Hera untuk menuruti keinginnya.

Hera memeluk Thalita lagi sambil mengelus punggungnya. “Nak, Mama paham bagaimana perasaanmu tapi Mama tidak tahu harus berbuat apa.”

“Maksud Mama?” Thalita melepaskan diri dari pelukan sang Mama, berganti menatap bingung.

“Apa yang sudah disetujui papamu tidak bisa diubah. Papamu memang terlihat santai tapi kalau keputusan sudah dibuat tidak mungkin dibatalkan. Ini menyangkut dua keluarga, Nak. Ini bukan main-main. Jangan membuat papamu malu, Nak.”

Thalita memalingkan muka. “Jadi Papa lebih memilih reputasinya daripada Thalita. Iya, kan?”

“Bukan seperti itu, Ta.”

“Lalu apa? Papa lebih memilih kehormatannya, tidak memikirkan kebahagiaan Thalita.”

“Kamu akan mendapatkan kebahagiaanmu suatu saat nanti, Nak.” Hera meraih tubuh Thalita. Membawanya ke dalam pelukannya. Menenangkan putrinya yang tengah bersedih. Dia paham bagaimana perasaan Thalita tentang perjodohan ini.

***

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now