Dua Puluh Lima

2.9K 187 5
                                    

Ada hawa panas yang menyelimuti Thalita. Dua tanduk sudah menancap di kepalanya. Melihat Fadhil berdiri di seberang sana membuat hati Thalita tersungut-sungut. Apalagi dia teringat tentang pesan itu membuat amarahnya dua kali lipat.

Satu langkah Thalita ingin menghampiri pria itu. Sungguh dia ingin mencabik-cabik Fadhil dan menampar keras wajahnya. Namun Lingga lebih dulu menarik jemarinya. Lingga terus menggenggam jemarinya lebih erat. Kemudian Lingga membawa Thatita masuk ke dalam mobil.

“Minum dulu.” Lingga menyodorkan air mineral.

Thalita menerimanya dan langsung meneguk hingga habis setengah.

“Tarik napas dulu,” intruksi Lingga.

Thalita menoleh. Dia mengerut dahi.

“Kamu lagi emosi,” kata Lingga. “Emosi terus nggak baik bagi kesehatan mentalmu.” Jari telunjuk Lingga menyentuh tepat ke dahi Thalita.

Thalita menarik napas, sama seperti apa yang diperintahkan Lingga dan mengeluarkan lewat mulut. Dia sudah tersulut emosi. Tidak seharusnya amarahnya memuncak seperti itu. Andai saja dia berhasil menggampar Fadhil di depan umum, akan membuat dirinya sendiri malu. Identitasnya saat ini menjadi seorang pendidik. Apa yang akan dikatakan orang lain atau rekannya yang seprofesi dengannya jika melihatnya berbuat anarkis kepada seorang pria.

“Kamu kenapa?” tanya Lingga sembari mengambil botol mineral dari genggaman Thalita. Tubuhnya dia miringkan, menghadap Thalita.

“Aku pingin nampar Fadhil kalau tadi nggak kamu halangi.”

“Kenapa?”

“Aku kesal banget. Dia sekarang sudah berani ganggu hidupku, Ga.”

Lingga mengelus puncak kepala Thalita dengan lembut. “Ganggu gimana?”

Hening. Thalita menjadi terdiam. Dia tidak mungkin mengatakannya kepada Lingga. Tentang teror pesan itu juga, dia tidak ingin Lingga sampai mengetahuinya. Itu semua karena Thalita tidak ingin kakaknya tahu.

“Entahlah. Seringnya dia muncul di hadapanku membuatku merasa terganggu,” alibi Thalita dan Lingga pun memercayainya.

Tidak lama mobil Lingga berhenti di pelataran parkir area rumah sakit tempatnya bekerja. Lingga melepaskan sabuk pengamannya kemudian keluar. Thalita merasa bingung pun akhirnya ikut turun menyusul Lingga. Ada pertanyaan yang harus dirinya ajukan kepada Lingga perihal kenapa pria itu membawanya ke rumah sakit ini.

“Kita mau ngapain, Ga? Kamu ada jadwal?” tanya Thalita sambil menyejajarkan langkahnya mengekori Lingga. “Kalau kamu kerja aku pulang saja. Aku capek.” Thalita menghentikan langkahnya, lalu memutar balik tubuhnya. Dia berniat untuk pulang sendiri. Dia tidak ingin ikut dengan Lingga di sini. Tubuhnya sudah begitu lelah dan ingin segera pulang ke rumahnya.

Lingga menarik lengan Thalita. “Aku nggak sedang ada jadwal, hanya ada perlu sebentar. Kamu ikut aku saja, nggak lama kok,” ucapnya. Thalita menurut.

Lingga membawa Thalita ke dalam ruangannya. Ruangan bercat putih, tidak begitu luas namun terasa nyaman. Lingga menata perabotan kerjanya dengan rapi sehingga tidak ada barang-barang yang berserakan.  Thalita duduk di sofa mini tidak jauh dari meja kerja Lingga. Dia menyelonjorkan kedua kakinya sambil memijit pelipisnya yang terasa pening. Sungguh hari ini dia terasa lelah sekali.

“Ta,” panggil Lingga. Thalita menoleh. “Duduk sini.” Lingga menyuruh Thalita untuk duduk di kusi depan mejanya.

Thalita beranjak dan duduk di kursi itu. Saat ini dia berhadapan dengan Lingga yang sedang melihat laptop. Lingga juga mengambil sesuatu di laci mejanya. Thalita sendiri tidak tahu. Sepertinya itu obat-obatan.

“Ini.” Lingga menyodorkan beberapa obat itu kepada Thalita.

“Apa?” Thalita bingung. Obat apa yang diberikan Lingga kepadanya. Kenapa Lingga memberikan itu sedangkan dia tidak sedang sakit hari ini.

“Kamu pusing, kan?”

Thalita mengangguk.

“Ini hanya vitamin. Banyak pikiran bisa jadi pemicu setres.”

“Aku nggak stres, Ga. Sembarangan kamu bilang aku setres.” Thalita melototi Lingga sambil tangannya dia lipat di dada.

Tawa keras keluar dari mulut Lingga. Dia kemudian beranjak dan duduk di samping Thalita. “Aku lihat akhir-akhir ini kamu sering emosi. Itu karena kamu terlalu banyak pikiran.” Jari telunjuk Lingga menunjuk kepala Thalita. “Mulai saat ini pikirkan yang baik-baik saja. Akhir-akhir ini kamu merasa cemas, kan?”

Thalita mengangguk lagi.

Lingga meraih jemari Thalita, menatap mata Thalita. “Think positive, oke?”

Thalita tercenung. Tidak biasanya Lingga seperti ini. Pria itu selalu banyak bicara dan selalu menyulut emosi Thalita. Namun kali ini berbeda. Thalita mengembus napas dan mengalihkan pandangannya segera ketika mendengar pintu ruangan Lingga terbuka. Dia melihat perempuan bertubuh tinggi dan berhijab sedang berdiri di ambang pintu itu.

Lingga segera bangkit dari posisinya. Genggamannya di jemari Thalita seketika dia lepaskan. “Eh, Shin.. Shinta, eh, kamu di sini?” ucap Lingga, gagu. 

“Maaf, ya. Sepertinya aku mengganggu acara bermesraan kalian.” Perempuan itu langsung menutup pintu dengan keras.

Thalita merasa ada yang aneh, melihat Lingga yang seperti salah tingkah dan ada kecemasan di raut wajahnya. Ada apa antara Lingga dan dokter perempuan bernama Shinta itu? batinnya.

***

Thalita membaringkan tubuhnya setelah meminum obat pemberian Lingga tadi. Lagipula tubuhnya juga lelah. Mengikuti acara seminar walau hanya duduk saja nyaris membuat pantatnya benar-benar terasa kram.

Ponsel Thalita berbunyi. Tanda pesan masuk. Thalita beranjak, meraih ponsel miliknya yang dia taruh di atas nakas samping tempat tidur.

Unknown : Entah pesan ini yang keberapa, aku mohon, batalkan pertunangan kalian.

Teror pesan itu muncul kembali. Thalita benar-benar merasa geram. Siapa sebenarnya pelaku di balik pesan asing itu? Thalita kemudian mencoba menghubungi nomor itu melalui video call. Dia ingin mengetahui siapa pemilik nomor yang terus saja menerornya untuk menghentikan pertunangannya dengan Lingga.

Namun sama seperti sebelumnya. Tidak ada respon dari pemilik nomor. Thalita meletakkan ponselnya begitu saja, lalu kembali merebahkan tubuhnya.

Ponselnya kembali berdering. Kali ini dia melihat nomor asing lagi yang sedang melakukan panggilan. Siapa lagi ini? desisnya.

“Sebenarnya kamu mau apa sih? Buat apa kamu nyuruh aku menghentikan pertunanganku?” bentak Thalita setelah mengangkat panggilan itu.

“Hallo, Adik.”

Thalita tercenung. Dari seberang sana itu suara Satriya. Thalita menepuk dahinya. Astaga!

“Eh, Mas Satriya,” jawab Thalita, malu.

“Ada apa, hem? Sepertinya lagi marah-marah.”

“Emmm, nggak sih, Mas. Lagi kesal saja.”

“Sama siapa? Sama Mas?”

“Oh, ng.. nggak kok.”

“Lalu?”

“Mas Satriya sih pakai nomor asing. Baru-baru ini ada nomor asing yang suka hubungi nggak jelas.”

“Hehe, iya maaf. Ini nomor Mas yang baru. Save, ya?”

“Oke.”

“Adik belum tidur?”

“Ini mau tidur.”

“Yasudah tidur sana. Selamat malam.”

“Malam juga, Mas.”

Setelah panggilan itu terputus Thalita meletakkan ponselnya kembali. Sebelumnya dia me-nonaktifkan terlebih dulu agar tidak ada gangguan selagi dia terlelap. Thalita tersenyum. Mendengar suara Satriya kenapa mood-nya bisa berubah? Rasa kesal dalam hatinya seakan menghilang begitu saja.

“Ah! Itu nggak mungkin.” Thalita menggeleng kepala berkali-kali. Meyakinkan perasaannya tidak akan mudah terpengaruh lagi. Satriya sudah dia anggap seperti kakaknya yang selama ini sudah baik kepadanya ketimbang kakak kandungnya sendiri.

Thalita tidak mau memikirkan lebih banyak lagi. Seperti apa kata Lingga, dia tidak boleh terlalu banyak pikiran. Thalita menarik selimutnya, lalu memejamkan matanya. Tidak lama dia sudah terlelap.

*** 

Thanks for reading ...

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Onde histórias criam vida. Descubra agora