Tiga Belas

3.1K 214 0
                                    

“Anak-anak, pelajaran kita sampai disini dulu, ya?” ucap Thalita saat mengakhiri pelajaran Tematik yang dia ampu siang ini. “Jangan lupa surat pemberitahuan dari bu guru tadi diberikan ke orang tua, ya.”

“Baik, bu guru.” Suara mereka serempak.

Thalita menutup pembelajaran siang ini dengan menyuruh ketua kelas untuk memimpin doa pulang. Setelah itu anak-anak beranjak dari bangku masing-masing dan berjalan untuk mencium tangannya. Saat semua sudah mendapat giliran dan tidak ada satupun murid didiknya yang tertinggal, Thalita merapikan perlengkapan mengajarnya di meja dan setelah semuanya beres dia menuju ke ruang guru untuk berpamitan pada semua guru disana. Hari ini Thalita tidak ingin berlama-lama di ruang guru usai pembelajaran selesai seperti biasanya.

“Aku langsung pulang ya, Ros,” katanya pada Rosa yang juga mengemasi barang-barangnya. “Kamu pulang sendiri apa di jemput mas Dewa?”

“Aku bawa motor, Ta. mas Dewa sibuk nggak bisa jemput.”

“Oh gitu. Baiklah, aku duluan, ya,” pamit Thalita sambil berlalu.

“Ya hati-hati.”

Thalita menuju gerbang sekolah. Sama seperti hari-hari yang lalu, kunci motor dan mobilnya disita sama kakaknya. Jadi Thalita berniat menggunakan taksi biasa saja yang lewat di depan sekolahnya. Saat dia sampai di gerbang sekolah lagi-lagi dia melihat mobil pajero hitam sudah ada disana. Fadhil juga sedang menunggu Dinda sambil bersandar di bagian pintu belakang mobil. Thalita menarik napas, menghilangkan kegugupana yang tiba-tiba muncul. Sebisa mungkin dia harus terlihat biasa. Langkah kakinya kini sudah berada di luar gerbang sekolah. Tidak jauh dari jarak Fadhil berdiri. Thalita tidak menoleh sama sekali pun. Pandangannya menyapu jalan raya untuk menghentikan taksi yang lewat.

“Mau pulang, Ta?”

“Ya,” balas Thalita datar tanpa menoleh ke arah Fadhil.

Lewat ekor mata, Thalita melihat sosok Fadhil berjalan ke arahnya sambil menenteng ponsel. Tentu degup jantungnya berdenyut lebih cepat. Napas Thalita tiba-tiba memburu. Ah, perasaan ke pria itu kenapa belum juga musnah, batin Thalita.

“Mau bareng?” tawarnya.

Thalita akhirnya menoleh. Sedikit menampilkan tatapan murka ke arah Fadhil. Pria itu sama sekali tidak pernah menunjukkan wajah berdosanya. Fadhil menunjukkan raut muka yang biasa saja tanpa sedikitpun menampakkan penyesalan kepada Thalita. Apa pria itu memang sungguh tidak sadar akan kesalahannya? Apa pria itu memang menganggap di antara dirinya dan Thalita seperti tidak terjadi apa-apa?

“Nggak usah.” Thalita kemudian melambai dan tersenyum pada sosok yang baru saja keluar dari mobil. Lingga baru saja sampai. Terpaksa Thalita menumpang mobil Lingga padahal niat awal dia akan menaiki taksi. Thalita langsung masuk ke mobil Lingga, menghiraukan Fadhil. Sedangkan Lingga, dahinya membentuk kerutan. Biasanya Thalita akan mengoceh padanya perihal dirinya yang selalu menjemput perempuan itu. Tapi kali ini berbeda, tanpa sepatah kata Thalita langsung menaiki mobilnya.

Tidak ada obrolan ketika Lingga beberapa menit yang lalu melajukan mobilnya. Thalita menempelkan kepalanya di kaca mobil dengan mata yang terpejam. Mengingat Fadhil yang selalu muncul dalam kehidupannya lagi begitu membuatnya dongkol. Sebenarnya tidak apa-apa kalau dia bersikap baik pada Fadhil tetapi ketika Thalita mencoba memperbaiki sikap dia selalu teringat sakit hatinya sendiri.

“Ta.”

Thalita membuka matanya dan menoleh ke arah Lingga sebagai respon.

“Kita ke kampus Unesa dulu, jemput si Ajeng.”

“Oke.” Thalita kembali memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya.

Bagaimanapun Thalita berusaha mengenyahkan wajah Fadhil dari pikirannya tetap saja Fadhil masih berlalu lalang dalam pikirannya. Ingatan dua tahun yang lalu itu kembali muncul, bahkan Fadhil kini kembali dalam hari-harinya semakin membuat hatinya runyam. Perasaannya selalu dihantui oleh rasa sakitnya dulu.

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now