Tujuh

4.4K 315 2
                                    

Thalita turun dari taksi yang dia tumpangi. Setelah membayar dia segera masuk ke dalam rumahnya. Sejak perjalanan tadi dia terus saja menangis dan menangis. Kenapa dia harus bertemu dengan Fadhil lagi? kenapa akhir-akhir ini takdir sering mempertemukannya dengan Fadhil. Thalita membuka pintu rumahnya. Langkahnya dia pacu lebih cepat agar segera sampai di kamarnya. Di ruang tengah dia melihat Radit sedang duduk santai seorang diri. Thalita tidak berani menatapnya. Dia takut kalau Radit mengetahui dia usai menangis. Pandangan Thalita hanya menunduk tanpa sedikitpun menoleh ke arah kakaknya.

Sampai di kamarnya Thalita merebahkan tubuhnya. Tangannya meraih bantal kemudian mendekap wajahnya dengan benda itu. Dia menjerit. Dia terisak. Air matanya tidak berhenti bercucuran mengairi wajahnya.

“Ta…”

Suara Radit terdengar dari balik pintu kamarnya. Segera Thalita terbangun lalu mengusap air matanya. Dia sedikit panik namun jika dia tidak membuka pintu kakaknya itu akan curiga. Tidak mungkin menggunakan alasan sudah tertidur karena baru satu menit Thalita masuk ke dalam kamarnya.

“Iya, mas. Sebentar… aku masih ganti baju,” teriaknya. Thalita segera mengambil baju tidurnya di lemari dan secepat mungkin ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan mengganti bajunya. Setelah selesai dia mematut dirinya di cermin barangkali bekas tangisnya membuat matanya memerah ataupun sembab di wajahnya. Ternyata tidak. Dia kemudian berjalan ke arah pintu dan membukanya.

“Ya mas, ada apa?” tanya Thalita.

Radit terdiam sebentar. Arah pandanganya menatap tajam Thalita. “Habis dari mana kamu?”

“Aku habis dari mall mas, kenapa?”

“Sama?”

“Sama temen.”

“Rosa?”

“Bukan.”

“Terus?”

Thalita menelan saliva. Dia tidak mungkin mengatakan kalau tadi pergi bersama Satriya. Dia tidak ingin Radit tahu tentang pertemuannya itu. Akan jadi masalah kalau Radit mengetahui tentang itu, bisa-bisa timbul masalah lagi. Perjodohan lagi. Thalita tidak mau itu. “Sama teman kuliah, mas,” jawabnya asal. “Emmm.. itu lhoo si Delvi.”

“Oh,” jawab Radit datar.

“Kenapa?”

“Nggak papa, di bawah ada Lingga. Temui dia.”

“Hah?!”

Radit sudah memutar tubuhnya. Kini dia sudah berjalan mulai menuruni tangga menuju lantai bawah. “Cepetan kamu turun.”

Setelah punggung Radit sudah tidak terlihat. Thalita mengembus napas dongkol. Kenapa Lingga bisa ke rumahnya lagi. Apa dia tidak jerah selama beberapa hari ini selalu mendapat penolakan darinya. Dengan rasa malas Thalita turun ke lantai bawah. Dengan hati terpaksa dia menemui Lingga.

“Ada apa?” tanya Thalita dengan suara ketusnya. Lingga sudah duduk di teras rumahnya dengan memakai jins dan kaos hitam yang melekat pas di tubuhnya.

“Mengecek kondisimu,” jawabnya enteng.

Kedua mata Thalita membelalak. “Apa kamu udah gila, Ga?”

Lingga menoleh ke arah Thalita. Dia memandangi wajah Thalita sejenak. Thalita lalu menunduk. “Kamu nangis?”

“Nggak. Siapa juga yang nangis.”

“Mulutmu bisa saja berbohong. Tapi kedua matamu tidak.” Lingga menatap tajam Thalita. Lalu dia mengalihkan posisinya menghadap Thalita. “Kamu bisa cerita, Ta.”

Thalita masih menunduk. “Nggak ada apa-apa apanya yang harus diceritain? Udah lah Ga.. sudah aku bilang aku….”

Jari telunjuk Lingga mendarat tepat di bibir Thalita. Membungkam Thalita. “Ta.. oke.. kamu menolak perjodohan ini. Fine. Tapi, apa salahnya kalau kamu cerita tentang masalahmu ke aku.” Tangan Lingga beralih memegang lengan Thalita lembut. “Kamu bisa cerita. Ada apa? sepertinya akhir-akhir ini aku lihat kamu tidak seperti biasanya. Wajahmu kelihatan sendu terus.”

“Sok tahu.”

Lingga tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. “Kamu pandai banget sih ngelak.”

Thalita hanya mengembus napas. Tatapannya beralih pada taman depan rumahnya. Tidak menatap Lingga yang kini menatap tajam dirinya.

“Susah banget ya nyuruh kamu untuk cerita.”

“Nanti aku malah kena tarif kalau konsultasi sama psikiater.”

“Hahahaha.” Lingga terbahak. “Thalita.. Thalita.. itu beda lagi. Khusus kamu gratis deh.”

Thalita menoleh sambil memicingkan sebelah matanya. “Atas imbalan apa gratis? Imbalan menyetujui perjodohan antara aku dan kamu? Hoho…. “

“Ta..” Lingga memegang pundak kanan Thalita. “Ceritalah apa yang ingin kamu ceritakan. Aku siap menjadi pendengar.”

Thalita mengembus napas panjang. Dia kemudian berdiri. “Kamu pulang aja deh, Ga. Sudah malam. Aku harus masuk, besok masih ada jadwal ngajar.” Thalita pergi meninggalkan Lingga yang masih duduk di tempatnya.

Thalita merebahkan tubuhnya. Menutupi kedua matanya dengan lengannya. Dia berkali-kali menarik napas. Mencoba menenangkan hatinya yang kembali berkecamuk. Hari-hari yang dia lalui kembali berat. Seperti dua tahun yang lalu, dia menjalani rasa sakitnya sendiri. Menanggung rasa sakitnya sendiri akibat dicampakkan orang yang sudah dia titipi sebuah hati. Fadhil sudah mengingkari janjinya sendiri. Dia pergi tanpa alasan yang pasti.

Thalita mengusap wajahnya kasar. Menepis memori-memori kelam selama dua tahun itu. Dia meraih ponselnya karena baru saja ada pesan WA masuk. Segera dia buka dan membacanya.

Satriya: Sudah sampai rumah, dik?

Thalita: Sudah, mas.

Satriya: Yasudah tidurlah.

Sebelah alis Thalita terangkat. Merasakan keanehan pada pesan itu. Satriya tahu kalau dirinya hendak menangis. Tahu dia pergi meninggalkan begitu saja, namun sama sekali Satriya tidak menanyakan padanya alasan apa dia menangis dan berlari.

***

“Gimana, Ta?” tanya Rosa.

“Gimana apa?” jawab Thalita. Tangannya yang sibuk dengan kertas-kertas tugas murid-muridnya.

“Itu.. si mas Satriya.”

“Ya nggak gimana-gimana. Emang harus gimana?”

“Ih.. kamu nyebelin banget sih Ta,” bibir Rosa mengerucut sambil tangannya dia silangkan di depan dada.

Thalita mengembus napas lalu menaruh kertas-kertas itu ke dalam map. Pandangannya kini mengarah pada Rosa. Dia melihat temannya itu menampilkan wajah kesalnya. Dia tahu Rosa kesal dengannya. “Memangnya aku harus bagaimana?”

“Ya bahagia atau gimana gitu kek kesan pertama kali ketemuan.”

“Biasa saja sih. Cuma…..” pandangan Thalita kini mendunduk kemudian menangkup wajahnya.

“Kenapa?” tanya Rosa penasaran.

Thalita masih terdiam.

“Ta, jawab dong. Kenapa?” Rosa menggoyang-goyangnya pergelangan Thalita.

“Aku ketemu Fadhil lagi.”

Terdengar embusan napas kasar Rosa. “Sudahlah, Ta. Kamu nggak usah peduliin dia lagi. Buang rasamu itu jauh-jauh. Lihat, sudah ada beberapa pria yang mendekati kamu. Sudah waktunya kamu melupakan Fadhil dan mencari penggantinya. Kamu jangan terus-terusan terbelenggu pada perasaan yang terus membuatmu sakit. Cobalah untuk menjalin hubungan dengan pria lain.”

“Tidak semudah itu.”

“Sampai kapan?” Rosa geram. “Kalau kamu terus-terusan seperti ini, mau kamu jadi perawan tua.”

“Lebih baik seperti itu.”

“Hush!” Rosa menjitak kepala Thalita, tentu saja Thalita mengadu. “Kalau bicara jangan suka ngelantur kamu, Ta.”

“Lha, bener, kan? Cinta itu seperti empedu.”

“Ini beda orang, Ta. Ada Lingga, ada mas Satriya. Kamu tinggal milih. Menurutku mereka adalah pria yang baik-baik.”

“Bukan jadi jaminan mereka akan baik selamanya.”

“Ta..”

“Stop!”

Rosa terdiam. Rasanya percuma berdebat dengan Thalita. Hatinya sudah berubah menjadi batu. Rosa lalu beranjak, ingin megambil minuman di sudut ruang guru. Sedangkan Thalita, dia beranjak kemudian mengambil tasnya.

“Aku pulang duluan, ya.”

“Ya, hati-hati,” jawab Rosa. Dia sedikit dongkol pada Thalita.

Thalita keluar dari ruang guru dan berjalan menuju gerbang sekolah. Hari ini dia tidak membawa motor karena malas berkendara sendiri. Berangkat tadi dia memesan ojek online dan niatnya sekarang dia juga memakai jasa ojek online lagi. lebih praktis menurutnya.

“Bu guru.”

Suara anak kecil memanggilnya. Thalita menoleh. Ternyata Dinda yang telah memanggilnya. Thalita tersenyum kemudian menghampiri gadis kecil itu. Namun setelah langkahnnya hampir mendekat dia melihat Fadhil juga menghampiri Dinda. Thalita tersentak kaget. Inginnya Thalita memutar balik tubuhnya namun dia sudah terlanjur berada di tempat itu.

“Bu guru, mau pulang?” tanya Dinda.

“Oh… iya.” Thalita merasa canggung.

Dinda celingukan. “Naik apa, bu guru?”

“Heh?!” Thalita tidak tahu harus berkata apa. “Oh… ibu.. ibu.. mau naik taksi saja.”

“Bu guru pulang bareng Dinda saja. Naik mobilnya om Fadhil. Boleh ‘kan om?” kepala Dinda mendongak ke arah Fadhil.

“Hah?!” seketika itu Thalita tersentak kaget.

***

Aku cepet update-nya? Iya, lagi nganggur. Kalau lama tandanya aku lagi sibuk.

Thank for reading...

Single, Salahkah? (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now