Jakurai Jinguji sedikit heran mendapati dua anak buahnya kini terduduk lesu di hadapannya. Yang pirang menggigit-gigit ujung kemeja bagian lengan dengan pandangan penuh air mata haru sedangkan satunya lagi mengusap-usap air mata sedih di ujung mata.
Dokter berwajah awet muda itu hanya bisa mengembuskan napas. "Kalian belajar banyak," gumam lelaki itu sambil menepuk kepala masing-masing pria muda di hadapan.
Jakurai sendiri kurang mempercayai hal kecil bisa membuat keduanya jadi macam ini. Daripada ia menjelaskan lagi dengan sudut pandangnya, lebih baik kita putar waktu sedikit ke belakang. Semua dimulai pagi ini.
***
Hari ini, Doppo lembur lagi. Sebenarnya dia lembur setiap hari, sih, tapi hari ini lain karena atasannya membiarkan ia pulang sedikit lebih awal bahkan tanpa Hifumi menjemputnya. Pria itu dengan lemas mendengungkan salamnya. Terhuyung dia melepaskan sepatu dan menaiki tanjakan menuju ruang keluarga.
Seorang bocah duplikat Doppo yang lebih segar dan ceria berlari-lari riang menyambut sang lelaki.
"Kak Doppo, selamat datang!" sahut bocah itu sambil menghambur ke Doppo dengan sebuah pelukan erat yang hangat.
Kannonzaka yang lebih tua tidak punya pilihan lain kecuali membalas dekapan anak laki-laki itu. Adiknya. Sambil menjaga perangkat kerasnya tidak jatuh ke lantai dan menyeimbangkan diri sendiri (juga sang adik), Doppo tersenyum tipis.
"Hari ini aku yang masak untuk Kakak, ya!" seru bocah itu dengan senyum manis yang begitu lebar. Tangan mungilnya kini melerai pelukan pada tubuh tinggi Doppo, beralih menggenggam lembut jari-jemari sang pegawai kantoran--membimbing lelaki itu menyusuri lorong hingga tiba ke dapur. "Nah, Kakak duduk dulu." Bocah itu mengarahkan Doppo ke kursi di dekat konter. Dengan riang ia melangkah mendekati chicken set. Mulutnya perlahan mulai berbicara panjang lebar, tentang sekolahnya--tentang harinya, sesekali ia tertawa kala menceritakan ulang kejadian yang baginya lucu sepanjang siang tadi.
Ketika api di kompor padam dan si bocah pelan-pelan menurunkan wajan dari sana dan bergerak untuk menyiapkan porsi makan malam Doppo, perlahan air mata Doppo turun. Buru-buru lelaki itu mengusapnya bertepatan sang adik yang membalikkan badan untuk meletakkan piring kari untuk Doppo.
"Nah, selamat makan, Kakak!" kata bocah itu dengan senyum manis.
Mata Doppo pedas. Tanpa bisa ditahan ia langsung bangkit dan menarik tubuh adiknya. Walau terhalang meja konter yang agak tinggi, Doppo tak peduli bagian tubuhnya yang mana yang menekan kuat sisi meja, ia hanya ingin mendekap adiknya dengan lembut.
Ya Tuhan, demi apapun. Jangan pernah kau dewasakan adikku, mohon Doppo menahan tangisnya, biarkan dia menikmati masa kecilnya dulu. Aku tak ingin dia merasakan kerasnya dunia luar. Kerasnya dunia kerja, sementara ia sudah menemaniku sepanjang waktu di sini.
Doppo cuma mengharapkan adiknya bahagia.
***
Siang ini Hifumi memutuskan jalan-jalan sedikit lebih jauh. Ke areal hijau perbatasan Shibuya dan Shinjuku yang ramai lagi segar. Selepas semalaman bertugas, Hifumi merasa butuh sesuatu untuk refreshing.
Tapi memang dasar pekerja malam, tiba-tiba saja dia sudah mendapati diri di depan sebuah bar. Dia bisa mendengar bunyi-bunyian khas bahkan dari luar sini. Padahal ini siang, tapi kelab malam ini masih saja beroperasi.
Akhirnya lelaki berambut pirang itu meleng. Melangkah menjauh dari sana. Ternyata, di ujung jalan, ia malah mendapati pemandangan lebih absurd daripada pelanggan memakai lingerie.
Ada manusia di sela dua mesin minuman otomatis, menggigil kedinginan, tanpa busana yang pantas.
Melas, euy, batin Hifumi miris. Mungkin rasa simpati menarik pemuda itu mendekati seonggok gembel tersebut.
Begitu si rambut biru itu mendongak, batin Hifumi makin terenyuh. Sekali lagi Hifumi membatin betapa nelangsanya pemuda ini. Dengan badannya yang seperti itu, seharusnya si rambut biru ini bisa jadi rekan kerjanya.
Terdengar suara perut keroncongan. Bahkan dari jarak ini, yang mana nyaris 3 meter, Hifumi bisa mendengar suara itu teramat keras dan jelas.
"Mas," kata Hifumi pelan-pelan, "saya traktir, yuk," ajaknya dengan hati teriris-iris.
*
"Saya heran, Pak, heran, beneran!" Tiba-tiba Hifumi berteriak nyaring dengan air mata masih mengalir deras dari kedua matanya, Jakurai sejenak berjengit sembari menaikkan alis. "Sampai ada orang begitu di Shibuya," kata Hifumi dengan nada terperangah yang teramat jelas. "Saya bersyukur bisa tidur nyaman di apartemen, bisa minum sampanye tiap malam!" oceh Hifumi.
"Aku cuma ingin adikku bahagia. Jangan sampai dia kenal lembur," komat-kamit Doppo menyelip di antara isak histeris Hifumi.
Jakurai menepuk dahi. Iya bener mereka dapat hidayah, tapi ya ... Mbok yo nyikapinya jangan ndeso gini, loh.
Ya jadi, ini tuh ide dari Mamah Rin, ya. uhrhfm, Mah, sei hai tu de kamera, yes 😂

YOU ARE READING
Butterflies
FanfictionKami tak menyinggung cinta. . . . . . Kami tak pernah menyalahkan perasaan. . . . . . Bukan sebuah kesalahan jika ada banyak hal tak terduga dalam diri kami. . . . . . Hanya perasaan meluap yang butuh dilampiaskan. Dan saat kami melakukannya, seo...