request Arina_Aoz0ra
hope you like it, Kak!
Malam ini tidak terlalu dingin. Seseorang bisa menyelinap keluar untuk melihat langit malam yang cerah dan penuh bintang dalam kondisi ini. Perempuan itu tersenyum, menjauhkan pandang dari teropong jarak jauhnya—ia paham, bintang adalah benda langit yang patut dinikmati malam ini. Namun, bukan berarti [Surname][Name] memaklumi Akashi Seijuuro yang datang bertamu begitu saja.
Lelaki itu tampak kusut di depan pintu apartemen [Name]. Ada sedikit nada tak enak ketika ia menyapa [Name] yang terheran-heran.
"Wah, tumben sekali Baginda datang ke mari," kata [Name] sinis, membuka pintu lebih lebar agar Akashi bisa masuk.
Si rambut merah tidak membalas. Ia justru merangsek masuk. "Maaf mengganggu," gumamnya pelan, melepas sepatu di genkan lalu mendahului [Name] menuju ruang tengah apartemen sempit itu.
Si tuan rumah yang tertinggal di depan pintu menggeleng-gelengkan kepala geli. Dasar, kebiasaan. "Mau minum apa?" tawar [Name], sudah ada di belakang konter dapur mungilnya.
"Kamu punya bir?" balas Akashi, sibuk mengurai dasi dan mengusak-usak rambutnya yang kusut masai.
[Name] menggigit bibir. Selalu seperti ini. "Baiklah, satu air putih siap," kata [Name] datar. Tangannya lantas sibuk menyiapkan suguhan bagi tamu tak terduganya malam itu.
Sambil sibuk memindahkan stoples berisi kue-kue kering kiriman Mibuchi—tetangga sebelah—ke nampan, [Name] memandangi tampak belakang Akashi. Kaisar Merah itu tampak rapuh, menyandar pada dua tangannya yang menumpu tanpa tenaga ke lantai kayu apartemen.
"Rumahmu pengap sekali," gerutu Akashi, mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung. "Dan gerah," tambahnya sambil menarik-narik kerahnya.
[Name] mencibir. "Kalau ngeluh terus, kamu boleh banget pergi dari sini," balas perempuan itu ketus. "Aku juga nggak berharap dapat tamu jam segini."
Akashi mendengus. Ia memilih mencari remot televisi dan menyalakan pesawat elektronik itu.
Sejak dulu, hubungan Akashi dan [Surname] tidak bisa didefinisikan. Ketika [Surname] membutuhkan bantuan, lelaki itu tanpa ragu membantu. Di sisi lain, Akashi selalu datang pada [Name] tiba-tiba—seperti malam ini.
Mungkin kami ini teman? [Name] mengembuskan napas pelan ketika meletakkan nampan berisi dua gelas tinggi, sepoci air bening, dan kue-kue kering manis. Entahlah, aku tak mengerti.
Akashi menatap isi nampan tanpa minat. "Apa-apaan ini?" gumamnya. "Kamu nggak punya suguhan yang lebih baik?"
"Ya maaf, aku 'kan bukan Akashi yang bisa menyuguhkan the golden phoenix pada tamu yang datang."
Tidak ada balasan selain senyum tipis. Akashi meraih salah satu gelas, membiarkan [Name] menuangkan minuman ke dalamnya. "Apa ini? Diva vodka?" tanya Akashi, menerawang isi gelas itu, lalu mengerling ke [Name] dengan seringai mengejek.
"Itu cuman air akua," balas [Name], duduk di sebelah Akashi lalu merebut remot televisi dari tangan si lelaki. "Ngomong-ngomong, ngapain kamu malam-malam ke sini? Bikin repot aja."
"Biasa," jawab Akashi santai, kini meneguk minumnya pelan-pelan. Tidak mempedulikan keluhan [Name].
[Name] langsung mengerti. "Ayahmu? Atau Naomi?"
"Dua-duanya," balas Akashi cepat. Ia menundukkan kepala. Kesan acuh tak acuhnya perlahan-lahan luntur. "Aku nggak tahu harus gimana lagi," gumam lelaki itu lirih. "Ayah bilang aku harus segera ambil alih perusahaan dan nikah sama Naomi, tapi Naomi masih pengen kuliah. Ayah nekan terus. Sementara Naomi sibuk terus. Sekalinya dapat waktu ngobrol berdua, kami malah marahan." Kini pandangannya bertambah muram.
[Name] tak mengerti kenapa Akashi Masaomi, ayah Akashi, begitu ingin merampas masa muda Seijuuro. Ia juga tidak paham mengapa Naomi tidak ingin dinikahi si tampan dari keluarga borjuis ini. Lagi pula kenapa Akashi selalu datang ke mari ketika masalah seperti ini datang?
Apakah dunia mau mempermainkan seorang [Surname]? Ia seorang gadis yang hanya mampu menyuguhkan air akua bagi tamunya. Kenapa Akashi harus datang padanya?
"Hei," panggil Akashi, mendahului [Name].
Si gadis menoleh. Berpikir Akashi ingin tambah air minum lagi. Namun, ia tidak sempat meraih poci ketika tiba-tiba sepasang lengan yang kuat menariknya paksa. [Name] tersentak kaget, seluruh tubuhnya menegang ketika hidungnya menubruk dada Akashi—aroma musk yang bercampur keringat memenuhi indra penciumannya.
"O-oi?" Selalu seperti ini. [Name] merutuk dalam hati. Ia lemah ketika Akashi sudah bertingkah seperti ini. Dadanya sesak ketika kenyataan seolah berteriak padanya bahwa lelaki yang kini sedang mencari kenyamanan padanya ini adalah milik orang lain. "Akashi?!"
Akashi mendesis rendah di dekat telinga [Name]. "Panggil namaku," pinta Akashi lemah, napasnya memberat. Tangannya dengan lembut mengarahkan [Name] agar mendongak. Manik merahnya mengkilap. "Panggil namaku," ulangnya sambil merunduk. Bibirnya meraup bibir [Name].
Si gadis memejamkan mata, merasakan napas berat Akashi di leher. Selalu seperti ini. Dan ia tidak bisa apa-apa selain diam menerima apa saja tindakan Akashi padanya dan menurut.
Desahan lolos ketika bibir Akashi sampai di lehernya, menyesap di sana. "Se-Seijuuro!" lirih [Name] diselingi desahan, menjambak rambut Akashi.
Bibir Akashi yang tersenyum terasa geli di leher si gadis. "Sepertinya malam ini aku akan menginap lagi," gumam Akashi, dengan lembut membaringkan [Name].
Sekarang [Name] ingat. Kenapa Akashi harus datang padanya? Sederhana, karena baginya [Surname][Name] adalah rumah; tempat pulang dan berkeluh kesah, tempat istirahat dari semua masalah dan sarang afeksi yang tak pernah didapat Akashi dari Masaomi, Naomi, maupun mendiang ibunya.
"Aku pulang."
"Mhhn, selamat datang."
Malam yang panjang telah menanti. Selalu seperti itu dan akan terus seperti itu.

YOU ARE READING
Butterflies
FanfictionKami tak menyinggung cinta. . . . . . Kami tak pernah menyalahkan perasaan. . . . . . Bukan sebuah kesalahan jika ada banyak hal tak terduga dalam diri kami. . . . . . Hanya perasaan meluap yang butuh dilampiaskan. Dan saat kami melakukannya, seo...