Bab 6. Fix

25 13 4
                                    

Artha melepas sepatunya dan ganti baju lalu makan siang. Neneknya tidak ada di rumah, mungkin sedang bekerja di kebun.

Setelah makan, ia pergi keteras rumah untuk mencari angin sepoi-sepoi yang menyejukkan kulit dan bermain game dihandphonenya.

Namun ada notifikasi dari whatsapp yang mengganggu aktivitas bermain gamenya. Ia membuka aplikasi berlogo warna hijau tersebut dan menemukan fakta bahwa yang mengirim chatt kepadanya adalah Saqilla.

Artha tersenyum tipis saat mengetahui Saqila masih ingat kepadanya. Ya, setidaknya ia masih memiliki seseorang yang mengerti dirinya walaupun jauh.

Ia dan Saqila saling berbalas chatt hingga tak sadar hari sudah sore. Neneknya tak kunjung pulang, ia khawatir.

Artha memutuskan untuk mencari Neneknya setelah ia mandi. Namun niatnya ia urungkan karena Neneknya sudah pulang.

"Nenek kok kekebunnya lama banget"

"Maaf ya Artha. Nenek tadi harus memeriksa kualitas benih dahulu. Soalnya Nenek nggak mau kalau benihnya itu nggak bagus, nanti hasilnya 'kan nggak bagus juga." Artha mengangguk lalu duduk disamping Neneknya.

"Artha... rindu sama Ayah Bunda, Nek."

Nenek Mina mengelus pundak cucunya yang rapuh itu. "Nenek ngerti perasaan kamu"

Artha mulai meneteskan air mata. Nenek Mina memeluknya erat berharap bisa mengurangi kadar kesedihan cucunya tersebut hingga ia sendiri juga ikut meneteskan air mata.

*

Artha berjalan menuju arah gudang untuk mengambil sapu. Sebenarnya ia tidak mau tapi ia disuruh oleh wali kelasnya padahal dia bukan ketua kelas.

Sesampai digudang dia membuka pintunya dan menutup hidungnya untuk menghindari debu. Ia mengambil tiga buah sapu dan segera keluar dari situ. Ia bernafas bebas sebentar lalu berbalik lagi untuk menutup pintu.

Namun siapa sangka ia malah didorong untuk masuk kedalam dan berada didalam gudang bersama seseorang. Samuel.

Samuel menutup pintu gudang itu dan menatap Artha tajam. "Gue akan bertanya satu kali lagi. Jika loe menolak, maka gue akan buat loe benar-benar menderita disini sampai loe sendiri yang akan minta maaf sama gue." Samuel semakin mendekati Artha.

"Apa-loe-mau-jadi-pacar-gue?" kata Samuel dengan penekanan disetiap katanya.

Artha mematung. Sepertinya kali ini Samuel benar-benar serius. "Jawab!" bentak Samuel.

"A--aku... aku..."

"Cepat jawab!" Samuel semakin memperpojok Artha.

"Tapi kak, gi-gimana... nanti a--aku..." Artha terbata-bata.

"Oke, fiks!" Samuel memukul tembok disamping Artha dengan keras. Dapat Artha lihat tangan Samuel sedikit berdarah. "Gue akan ngedapatin loe dengan cara gue sendiri!"

Samuel pergi meninggalkan Artha yang masih mematung ditempat. "Kak Samuel, kaya Iblis..." gumam Artha dengan suara gemetar.

Tak ingin berlama-lama digudang, Artha segera menutup pintu dan mengambil sapu yang diperlukannya lalu beranjak dari situ.

"Artha, kok kamu lama banget?" tanya bu Elsa.

"Maaf bu, tadi ada kecoa. Jadinya saya nunggu kecoa itu pergi terlebih dahulu" alasan Artha.

"Oh gitu, ya udah nggak papa. Tapi, tubuh kamu gemetar. Kamu nggak papa, kamu phobia ya sama kecoa?" Artha mengangguk asal.

"Ya ampun, maaf ibu nggak tahu. Sekarang kamu duduk dibangku kamu, ya." Artha mengangguk lalu berjalan menuju bangkunya dan duduk.

"Baik anak-anak, materi kita kali ini adalah tentang mengolah limbah menjadi sesuatu yang berguna. Maka dari itu, ibu akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok."

"Cari anggota kelompok sendiri aja bu." usul Lizza.

"Baik jika mau kalian begitu. Silakan cari kelompok masing-masing maksimal tujuh orang. Catat anggota, nama kelompoknya dan karya apa yang akan dibuat diselembar kertas lalu dikumpulkan kemeja saya paling lambat jam satu siang, Paham?"

"Paham bu." jawab seisi kelas.

Lalu bu Elsa keluar dari kelas ini. Semua murid tampak heboh mencari kelompok dan mendiskusikan karya apa yang mereka buat.

Sedangkan Artha hanya berdiam diri dibangkunya. Memangnya siapa yang mau satu kelompok dengannya?

"Yah, kurang orang nih. Masak cuma empat orang?" keluh Nata, orang yang duduk didepan bangku Artha.

"Emangnya mau siapa lagi, semua orang udah pada dapat kelompok." kata Risma.

"Ada kok yang belum dapat, tuh!" Dimas menunjuk Artha dengan dagunya.

Semua orang menoleh kebelakang menatap Artha yang sedang melamun. "Loe yakin mau ngajak dia kekelompok ini? Gue nggak mau tahu terlibat sama kak Sam apalagi masalah dosa." beo Rina, semua mengangguk.

"Tapi kasihan sih gue sebenarnya. Dia nggak salah apa-apa tapi dikucilkan." Risma menatap Artha dengan sorot kasihan.

"Iya sih" Nata sependapat.

"Ya udah deh nggak papa, demi nilai nih!" Dimas meyakinkan.

"Artha" panggil Nata. Artha menghadapkan pandangannya kearah Nata lalu tersenyum. "Kenapa?"

"Uhm... loe mau nggak gabung sama kelompok kita?"

Artha berbinar. "Emangnya kalian mau satu kelompok sama aku?"

Nata dkk saling berpandangan sebentar lalu mengangguk. "Kita mau kok satu kelompok sama loe, gimana?"

Artha mengangguk. "Oke."

Not AloneWhere stories live. Discover now