Bab 29. Prinsip

10 3 1
                                    

Buggh

Sudut bibir Devon robek. Entah kenapa kali ini Devon ingin mengalah. Dia ingin merasakan sakit sebelum mengingat kembali rasa sakit.

Buggh

Darah mengalir dari lubang hidungnya. Namun seolah rasa sakit itu tidak sebanding.

Rizka...

Devon memejamkan matanya. Memori itu... harus ia kubur dalam-dalam.

"Segini aja kemampuan lo?!" lawan Devon merendahkannya.

Devon terkekeh. Ahh, kalau rasa sakit pada tubuhnya tidak bisa mengobati rasa sakit pada hatinya, kenapa dia tidak menjadikan orang didepannya ini pelampiasannya saja?

Devon bangkit. Sejenak dia menghapus darah yang mengalir di hidung dan bibirnya. Sudah cukup bermain-mainnya, dia ingin menghabisi nyawa di depannya ini --kalau saja tidak berurusan dengan polisi.

Bugh

Tendangan Devon tepat sasaran. Devon terkikik. Lawannya lupa akan pertahanannya.

"Akh!" pekiknya saat Devon menginjak perutnya.

"Lupa diri ya?" Devon tersenyum miring.

Devon memukulinya dengan brutal. Dia kehilangan kendali. Dia lelah. Dia marah. Dia... merasa kosong.

Artha. Ya, sekarang adalah Artha. Dia tidak akan membiarkan manusia laknat itu mendekatinya. Kesalahan yang berlalu tidak akan terulang kembali.

"Aaaakh!" Devon berteriak kencang. Riski dan Alex yang menunggu di luar masuk untuk melihat kondisinya.

Namun Devon baik-baik saja. Malahan lawannyalah yang babak belur dan kini sedang pingsan. Devon benci semua ini. Dia mempunyai titik lemah juga sebagai manusia.

"Dev, kita balik aja." Riski mengerti keadaan Devon.

"Iya, biar temannya yang ngurus dia nanti." imbuh Alex.

Devon berdiri. Dia berjalan mendahului mereka berdua. Matanya sayu namun tatapannya masih tetap tajam dan dingin.

***

"Ciee yang lulus lebih cepat, kamu pintar sih!" puji Nenek Ami.

"Ahh, Nenek bisa aja." Fardo memakan lagi sayurnya. "Masakan Nenek dari dulu nggak berubah, tetap aja enak. Ini yang bikin aku rindu sama nenek,"

Nenek Ami tertawa. Dialah Fardo, cucu kesayangannya. Dibandingkan Samuel dan Devon, Fardolah yang paling unggul. Hanya saja dia orangnya sensitif, mudah baperan.

"Oiya Nek, Sam sama Dev gimana?" Fardo menelan makanannya susah payah. "Mereka masih benci ya sama aku?"

"Husst, kamu ngomong apa sih. Kejadian itu udah lama, nggak usah diungkit-ungkit lagi."

Memang, sudah cukup lama Fardo berada diluar negeri. Delapan tahun lamanya. Selain mengejar cita-cita, dia juga ingin melupakan kesalahannya di masa lalu. Mencoba berbaur dengan dunia baru, berharap bisa lepas dari rasa bersalahnya.

"Udah, kamu makan terus istirahat. Jangan mikir yang aneh-aneh."

"Iya Nek, makasih."

***

Seperti biasa, gosip mudah menyebar. Melinda mulai hari ini pindah sekolah. Siswa di sekolah ini semakin berkurang.

"Tha, Melinda itu bapaknya nggak kamu laporin ke KPK?" tanya Laras.

"Iya, bikin rugi perusahaan aja." imbuh Sinta.

Artha hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dua kali. Sifat teman-teman sekelasnya ini memang childish. Menyebalkan, munafik. Ibarat air di atas daun talas. Tidak punya pendirian, hanya ikut arus kesana kemari mencari keuntungan masing-masing.

"Artha, dicariin kak Sam!" teriak Putri.

Artha bernapas lega. Jika begini kan dia tidak perlu lagi meladeni mulut-mulut berbisa di sekitarnya.

Bangkit dari duduknya, Artha segera menemui Samuel.

"Hai, Tha!"

"Hai kak." Artha menyapa balik.

Samuel mengisyaratkan Artha agar mengikutinya. Artha menurut dan sampailah mereka di rooftoop.

"Nih, gue bawain pangsit goreng lengkap sama saosnya. Ada es krim dan air mineral juga biar nggak haus."

Artha duduk di samping Samuel. Dia tersenyum lebar.

"Kakak ingat?" Artha memulai pembicaraan. "Awalnya, menurut aku kakak itu jahat, nyebelin, egois, dan maunya menang sendiri. Tapi semakin hari kakak semakin baik sama aku, kenapa?"

"Orang berbuat baik butuh alasan, ya?" Samuel terkekeh.

"Nggak sih..."

"Nah, kalau gue baik, apa sekarang lo mau jadi pacar gue?" tanya Samuel dengan tawa kecilnya.

Artha menatap Samuel lama. "Kalau soal itu... maaf kak, aku udah nyaman sama orang lain."

"Devon, ya?" tebak Samuel dengan nada humornya.

Artha terdiam. Samuel menebak dengan tepat.

"Hmm, nggak papa sih kalau misalnya lo sama dia. Sekejam-kejamnya dia, dia nggak bakal nyakitin orang yang dia sayang. Meski jujur gue sakit, sih. Tapi lebih sakit lagi kalau lo..."

Samuel menggantung omongannya. Hal  ini membuat Artha penasaran.

"Udah ah, lupakan." Samuel tersenyum lebar.

Artha ikut tersenyum, walau tidak tahu apa sebabnya.

Not AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang