Bab 13. Bingung

20 11 2
                                    

Artha menatap langit-langit kamarnya sambil menerawang. Dia masih berpikir kenapa Devon memarahinya. Tentang fotonya yang disebar di sosial media, Artha sama sekali tidak mempedulikannya. Tapi kenapa dia malah repot-repot mengurusinya.

"Apa peduliku tentang gosip," gumam Artha sambil memeluk boneka beruang warna pink hadiah dari neneknya. Dari Samuel sebenarnya.

"Kenapa dia marah-marah padaku, apa salahku, dan siapa dia, aku saja tidak tahu siapa namanya." Artha bermonolog sambil menatap bonekanya. Sedetik kemudian Artha menepuk jidatnya sendiri, "Ahh betapa bodohnya aku, di mana sopan santunku. Aku lupa berkenalan dengan orang yang berulang kali membantuku." Artha memaki-maki dirinya sendiri hingga dirinya terlelap.

***

Siang ini terjadi drama di kelas X IPA 1. Mia menangis tersedu-sedu karena diputuskan oleh pacarnya. Teman-temannya berusaha menghibur dan menenangkannya.

"Sudahlah, dia itu cuma laki-laki berengsek."

"Banyak kok yang lebih baik dari dia,"

"Dia itu emang cuma pemain hati wanita, Mia,"

Artha menopang dagu dengan kedua tangannya. Matanya jenuh melihat pemandangan di sekitarnya. 'Salah siapa pacaran, udah tau dosa. Kalau kaya gini lagi nyebut nama Tuhan,kan'. batin Artha.

"Tha!" panggil Dimas.

"Ya?"

"Dicariin,"

"Siapa?"

"Gue." suara maskulin terdengar. Semua mata tertuju pada sumber suara tersebut. Devon.

Artha terkejut, ada satu kakak kelas lagi yang datang menemuinya setelah Samuel. Artha melangkah menghampiri Devon sambil melirik ke arah teman-temannya. Sinis. Itu pandangan yang dilemparkan orang-orang kepada Artha. Artha mengabaikannya, lagi pula ia sudah terbiasa dengan tatapan seperti itu.

"Ada apa, kak?"

"Ikut gue!" titah Devon lalu melangkah entah ke mana. Artha hanya diam membuntutinya.

Ruang OSIS. Antara yakin dan tidak yakin, Artha mencoba memasuki ruang tersebut. Entah kenapa perasaannya mulai tidak enak.

"Masuk." Nada yang datar namun menusuk.

"I--iya kak."

Artha mengucap do'a sebelum melangkah masuk. Memang berlebihan tapi... entahlah. Perasaannya benar-benar cemas. Artha terkejut melihat orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Bukannya anak-anak OSIS tapi malah orang-orang yang berpengaruh di sekolah ini, anak berandal maksudnya. Hanya saja tidak ada Samuel di sini.

"Hloh, dia bukannya anak unggulan IPA kelas sepuluh?" tanya seseorang yang bername-tag Elvan. Devon berdehem membenarkan.

"Oh, lumayan..." katanya dengan mata jahil. Devon segera menarik kerah bajunya. "Jangan macam-macam."

"I-iya, gue cuma bercanda." Akhirnya Devon melepaskan cengkeramannya.

Artha diam tak berkutik. Devon yang mengetahui hal tersebut langsung menyuruhnya duduk di salah satu bangku yang kosong.

"Jadi dia yang harus kita awasi?"

"Ma--maksud kalian apa?" Artha penasaran, kenapa dia harus diawasi.

"Loe itu yang berulang kali jadi korban bully, kan, makanya kita awasi biar nggak ada yang berani bully loe lagi."

"Iya, tapi nggak usah kok kak, sa--" Artha terdiam ketika melihat tatapan dingin Devon yang ditujukan kepadanya.

"Ya udah kak, saya kembali ke kelas dulu."

"Bolos aja," Devon mengeluarkan rokoknya dan memberikan kepada teman-temannya. Dia tidak mengambil satu pun. Devon hanya merokok pada saat-saat tertentu.

"Tapi--"

"Semua aman. Nilai dan image loe tetap aman kalau yang nyuruh Devon," kata seseorang bernama Riski, Artha mengetahuinya karena dialah mantan pacar Mia.

"De--Devon?" Artha mengernyit, yang manakah yang namanya Devon. Devon sangat populer dan sedikit... berbahaya. Itu yang diketahuinya dari desas-desus orang-orang.

"Iya, Devon." Riski menunjuk Devon dengan dagunya sementara bibir dan tangannya sibuk menyalakan rokok.

Artha melotot. Jadi, dia yang namanya Devon. Orang yang ganteng, pintar, berbakat, pujaan kaum hawa sekarang ini ada di dekatnya. Devon malah duduk di sebelah Artha.

"Gue bukan setan!" Devon mendengus karena sejak tadi Artha terus menatapnya takut-takut.

"Eh?" Artha salah tingkah. Dia harus bagaimana saat ini, ia tidak mau terlibat dengan orang-orang semacam ini tapi... kenapa Tuhan berkata lain.

"Gimana nasib hubungan loe?" celetuk seseorang di samping Riski. Artha tidak dapat mengetahui namanya karena ada beberapa orang di sini yang tidak menggunakan atribut lengkap.

"Kandaslah," ucapnya enteng.

"Dasar!" mereka tertawa.

"Lagi pula gue nggak beneran suka sama dia. Gara-gara Devon aja gue terpaksa macarin dia. Tapi nggak papalah, dapat untung bibir sama leher kan lumayan, gratis lagi," seisi ruangan tertawa kecuali Artha dan Devon. Artha sedang mencerna sebab putusnya mereka sedangkan Devon nampak tidak peduli.

***

"Kamu di antar sama siapa?" tanya Nenek Mina saat melihat motor Ninja hitam dan pemiliknya menjauh dari pekarangan rumahnya.

"Uhm... teman nek,"

"Kamu nggak bohong?" Artha menggeleng. Lagi pula memang benar, tadi itu adalah Devon.

"Ya sudah, mandi sana."

"Iya nek."

Setelah mandi, Artha merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Dia membuka aplikasi instagramnya. Sebenarnya ada beberapa chat dari teman lamanya namun tak ditanggapinya. Lagi pula hanya chat tak penting. Saqila juga hanya mengechatt pada malam hari saja.

Mata Artha membulat, dia menemukan akun instagram Riski yang isinya berupa...




Penasaran?
lanjut kan??

Not AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang