Bab 11. Sikap

10 9 0
                                    

Artha tampak semangat bersekolah tanpa terganggu dengan tangannya yang masih di balut perban. Dia bergegas mencari sapu untuk melaksanakan tugas piketnya.

Sekotak demi kotak keramik telah selesai di sapunya. Dia kembali meletakkan sapu itu di tempat semula dan mulai membaca bukunya.

Bel masuk berbunyi, para murid duduk di bangkunya masing-masing dengan rapi. Mereka memperhatikan setiap penjelasan yang di berikan oleh sang guru.

"Bu, Dania mimisan!" teriak Mia, teman sekelas Artha.

Sontak semua mata mengarah kepada mereka berdua. Seksi kesehatan di kelas ini segera membawa Dania ke UKS. Namun baru saja di ambang pintu Dania sudah pingsan.

Maka dari itu Dania di bawa pulang oleh kedua orang tuanya.

"Baik anak-anak, proses belajar kita sedikit terhenti karena Dania tadi. Maka dari itu kita berdo'a saja semoga Dania baik-baik saja. Ok, mari kita lanjutkan. Sekarang kalian buka halaman 72 dan coba kerjakan."

***

"Eh, gue tadi sayup-sayup dengar kalau Dania itu punya suatu penyakit."

"Hah penyakit apaan, yang penting nggak menular kan?"

"Belum tau sih, soalnya Mamanya tadi waktu jemput di UKS nggak bilang penyakitnya apa."

"Ihh, padahal gue anti dekat-dekat sama orang penyakitan. Nyusahin soalnya!"

"Iya sih, "

Artha menghembuskan napasnya mendengar celotehan teman-teman sekelasnya. Bukannya mereka mendo'akan yang terbaik buat Dania malah ngegosipin hal-hal yang belum tentu benar.

Artha menutup bukunya dan membawanya ke perpustakaan. Akan sia-sia saja membaca di sini, tidak akan bisa fokus. Artha mengambil duduk di bangku perpustakaan paling pojok.

"Artha, kamu nggak bosan ke sini terus setiap jam istirahat?" tanya petugas perpustakaan.

Artha menggeleng, "Nggak kok, malah senang soalnya bisa hemat uang jajan hehe."

Memang akhir-akhir ini Artha sering mengunjungi perpustakaan setiap jam istirahat. Karena memang buku-bukulah yang menjadi teman komunikasinya selama ini.

"Oh iya, kamu dekat dengan Samuel ya?"

"Ahh, enggak kok Mbak. Kebetulan Nenek kami tetanggaan,"

"Oh seperti itu, "

"Iya Mbak."

Selang dua menit bel masuk berbunyi. Artha kembali ke kelasnya. Sekarang adalah mata pelajaran Matematika. Artha di minta maju untuk mengerjakan soal dan Artha menyelesaikannya dengan baik.

"Artha, tangan kamu kenapa?"

"Nggak papa kok Bu, cuma tergores."

"Kamu yakin nggak apa-apa, kayaknya lukanya masih basah gitu. Itu tangan kamu yang sebelahnya juga kaya bekas cakaran gitu. Kamu nggak ke UKS dulu aja?"

"Uhm... nanti aja, Bu. Sekalian di rumah."

"Oh yaudah, silakan kembali duduk."

"Terima kasih, bu."

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Artha menjadi siswi yang pulang paling akhir karena kegiatan mencatatnya belum selesai di karenakan tangannya masih sedikit nyeri untuk menulis.

Setelah selesai, Artha memasukkan alat tulisnya dan segera beranjak pulang. Namun di ambang pintu dia malah bertemu dengan Samuel.

"Loe pulang bareng gue, tangan loe masih sakit kan?"

Artha mengedarkan pandangannya ke sekitar. Bisa bahaya jika ada yang tahu dia sedang bersama Samuel. Dia akan tambah di bully nantinya.

"Nggak usah kak, tang--"

"Nggak nerima penolakan!" potong Samuel.

"Di sini juga nggak menerima pemaksaan!" sahut seseorang.

Mereka berdua menoleh ke sumber suara. "Loe jangan ikut campur!" tegas Samuel.

"Artha, loe udah janji bakalan pulang bareng gue hari ini kan?" Devon menatap Samuel tajam.

"I--iya kak," Artha terpaksa mengiyakan walau sebenarnya ia tidak punya janji apapun kepadanya.

Samuel mengepalkan tangannya menahan amarah. "Loe duluan ke parkiran!" perintah Devon kepada Artha.

Artha segera melangkah menuju parkiran. Sedangkan Devon di sini mengulas senyum tipis. "Loe salah gunain kekuasaan loe,"

"Bukan urusan loe!"

"Cewek itu... di bawah lindungan gue sekarang. " kata Devon lalu melangkah pergi.

"Sialan!" Devon meninju tembok di sampingnya kesal.

Devon menghampiri Artha yang berdiri di samping mobilnya lalu menyuruhnya masuk. Devon menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.

"Makasih ya kak, " ucap Artha.

"Loe diam aja kalau di bully?" Devon melirik Artha sekilas.

"Maaf Kak, " ucap Artha lirih.

"Maaf buat apa dan siapa? Nggak guna bodoh!"

Artha diam menunduk. "Loe mulai sekarang aman dari Samuel. Tapi untuk murid yang lain gue nggak ngejamin." imbuh Devon.

"Maksud kakak?" beo Artha.

"Gue yakin loe bisa jaga rahasia," Devon berhenti sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "Sebenarnya Samuel itu juga cucu dari pemilik sekolah. Kakek dia dan Kakek gue itu saudaraan tapi saudara jauh."

"Oh,"

"Loe nggak kaget?" Devon menaikkan sebelah alisnya. Artha menggeleng.

"Nggak mungkin kan kalau cuma jadi ketua OSIS bisa mengeluarkan siswa dengan mudah?"

"Hmm loe pintar juga."

Devon menghentikan mobilnya di depan halaman rumahnya.

"Makasih kak."

"Jangan bilang sama siapa-siapa soal tadi."

Artha mengangguk lalu keluar dari dalam mobil Devon.

20 vote to next chapter ya, semangat membaca!!

Love you readers😘❤



Not AloneWhere stories live. Discover now