Bab 26. Peringatan

17 2 0
                                    

Mampir sebentar ke mall setelah pulang sekolah memang cukup menyenangkan. Bermain game sejenak di sini menjadi alternatif akan jenuhnya belajar. Sekalian mempersiapkan diri untuk mengetahui hasil PTS besok. Siapa tahu hasilnya jelek dan akan diceramahi orang tua hahaha. Tapi pengecualian bagi Artha, dia nilainya pasti bagus karena dia tidak mengikuti remidi apapun kecuali kimia. Juga dia kan sudah tidak memiliki orang tua, iya bukan?

Bosan bermain, menuju tempat di mana es krim berada merupakan pilihan yang paling tepat. Sekalian ingin membeli rasa durian, selama ini dia belum pernah. Hanya cokelat dan stroberi. Vanilla pun belum pernah. Dasar Artha.

Setelah membayar, dia duduk di salah satu kursi pengunjung mall dan menikmatinya. Sesekali mulutnya bergumam mengikuti lagu yang diputar di mall.

"Kita jodoh?"

Artha mendongak, alisnya bertautan. Namun mulutnya masih tetap menjilati es krim. Dia duduk di samping Artha sambil tersenyum kecil.

"Maksudnya?" beo Artha.

"Loe kaya anak kecil kalau lagi makan es krim." Samuel terkekeh.

"Hmm, rasa durian lumayan juga." gumam Artha. Samuel mengamati Artha dari atas sampai bawah. Sudah berapa lama cewek ini berada di sini, masih pakai seragam sekolah pula.

"Lain kali pulang dulu,"

"Udah izin kok sama nenek." Artha membersihkan sisa es krim di mulutnya dengan tissue. Ahh, rasanya kurang, pengin lagi.

"Tha..."

"Kenapa?"

"Apa... loe suka sama Devon?" Entah kenapa sangat sulit untuk menanyakan hal ini. Rasanya begitu sakit saat Artha melihatnya dengan tatapan kosong.

"Siapa yang bilang?" Artha mengelak.

"Nggak ada, tapi gue tahu." Samuel menghembuskan napasnya, "gue cuma mau saranin. Tolong hentikan perasaan loe itu, gue nggak mau loe kecewa nantinya." Samuel serius.

"Kak Devon baik, dia nggak mungkin ngecewain gue." ucap Artha yakin.

Samuel tertawa nanar. "Loe belum kenal siapa dan gimana dia. Gue harap loe ingat ucapan gue. Lupain perasaan loe."

Samuel bangkit dari duduknya. "Mau ikut?" kini Samuel terlihat ceria lagi, tidak seperti tadi yang serius dan menyeramkan. Artha sendiri sampai bingung dia ini cewek apa cowok, mood-nya cepat sekali berubah.

"Boleh." Artha berdiri lalu mengekori Samuel.

***

Nyaris saja Artha jadi peringkat dua. Melinda pintar juga, akan menjadi saingan Artha yang berat. Artha berdecak, tidak peduli terhadap apapun. Pikirannya melayang-layang entah ke mana. Tangannya sibuk mencorat-coret buku entah ingin membuat apa, yang dihasilkan hanyalah coretan cakar ayam.

"Heh Artha!"

Artha mengangkat kepalanya, mengalihkan pandangan ke seseorang yang memanggilnya. "Loe dapat ranking satu karena curang, kan?!"

"Maksudnya?"

"Alah, sok polos lagi. Loe kan dekat sama kak Samuel dan kak Devon, jadinya loe pasti minta kunci jawaban PTS kan?"

Semua orang kini mengerumuni mereka, ingin tahu apa yang sedang terjadi.

"Udahlah Mel, jangan ganggu dia." Nanda menarik tangan Melinda agar menjauh, namun Melinda segera menepisnya.

"Alah, gue nggak takut, ya. Dia itu bisanya cuma berlindung di bawah kak Sam dan kak Devon. Coba aja kelas sebelas nanti, terus mereka udah lulus, jadi apa Artha nanti."

"Mel..."

"Kenapa sih, Nda, loe takut? loe takut dikeluarin dari sekolah ini juga karena jalang ini? Jangan-jangan Ibunya dulu kek gini juga makanya nular ke anaknya." Melinda tersenyum merendahkan.

plakk

Semua orang terkejut. Artha...

berani menampar seseorang?

"Gue diam aja kalian hina gue ini kayak gimana. Tapi jangan nyebut-nyebut orang tua gue, mereka nggak salah apa-apa!" Artha emosi, kali ini dia benar-benar keterlaluan.

"Haha, jadi loe marah?" Melinda masih berani membalas.

"Lain kali ngaca dulu keluarga loe itu kaya gimana. Papa loe kerja aja nggak bener, untung aja masih dapat kerjaan karena kebanyakan korupsi!" ujar Artha berapi-api.

plakk

Kini gantian Melinda yang menampar Artha. Anak-anak yang lain bukannya melerai malah memvidio, Alex pun begitu. Entah apa tujuan dan faedahnya.

"Tahu apa loe soal keluarga gue, hah?!"

Artha tertawa sarkatis. Semua orang hening sejenak. Apakah ini Artha yang mereka kenal selama ini. Artha yang pendiam dan sabar.

"Papa loe itu namanya Suryo, dan dia bekerja di perusahaan Papa gue. Jadi jangan bilang gue sok tahu karena gue emang benar-benar tahu!" pekik Artha marah.

Melinda kicep. Dia kehilangan kata-kata. "Loe anak--"

"Iya, gue anaknya bapak Sanjaya pemilik perusahaan Sanjaya group. Kenapa, loe kaget?!"

Tentu saja. Bukan hanya Melinda yang kaget, namun beberapa temannya yang ayahnya bekerja dibawah naungan Sanjaya group juga kaget. Jadi Artha anaknya atasan ayah mereka?

"Jadi, loe yatim piatu?" tanya Nanda hati-hati. Papanya juga bekerja di perusahaan tersebut.

Artha tertawa sumbang lalu menghapus air matanya yang menetes. "Ya, gue emang yatim piatu." suaranya kini serak, "Makanya gue nutup diri karena belum sanggup kehilangan orang tua gue. Gue sabar kalian bully bagaimanapun, tapi kalau kalian ngejelekin orang tua gue... sorry gue nggak terima. "

Artha kini menatap Melinda yang menunduk. "Sorry Mel, gue nggak sebaik itu. Lebih baik loe bilang sama Papa loe buat berberes barang di kantor."

Melinda terkejut lalu menatap Artha dengan sorot memohon. "Tha, gue mi--"

"Papa loe bakalan di pecat." potong Artha cepat. Selama ini dia sudah cukup sabar menghadapi tingkah teman-temannya yang keterlaluan. Tapi kali ini kesabarannya benar-benar sudah habis. Dia sudah muak.

Artha melangkah pergi keluar kelas. Teman-temannya menyingkir untuk memberi jalan. Alex yang melihatnya tersenyum penuh kemenangan. Dia tidak kaget karena memang sudah mengetahuinya dari Devon.

"Rasain loe!" katanya lalu pergi ke kelas Devon. Menyampaikan sesuatu mungkin.

***

Not AloneWhere stories live. Discover now