16 - Elsa Ardavirisca

6.8K 569 8
                                    

Arsen menghentikan motornya didepan rumah kemudian ia melepaskan helmnya dan berkaca dispion motornya sembari merapihkan rambutnya yang berantakan.

Mata laki-laki itu tak sengaja mendapati sosok Karin bersama seorang gadis yang ia yakini sebagai Elsa itu tengah berdiri didepan pintu rumahnya sembari menatapnya.

Laki-laki itu menuruni motornya kemudian meletakkan helmnya diatas jok motornya itu. Ia menghampiri 2 perempuan itu tanpa menyapa ataupun sekedar tersenyum.

Arsen hanya menatap mereka kemudian langsung membuka pintunya dan mempersilahkan 2 perempuan itu untuk masuk dan duduk disofa ruang tamu.

Karin menatap Elsa, putrinya itu tampak tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari Arsen. Sudah lama Karin tak bertemu Arsen. Harus ia akui, laki-laki itu tumbuh menjadi anak yang benar-benar tampan, mirip Razel.

Arsen meletakkan 2 gelas teh dingin diatas meja yang terletak dihadapan sofa tamu itu. Kemudian, ia duduk di sofa yang berhadapan dengan Karin dan Elsa, lalu ia sibuk sendiri pada ponselnya.

"Ehm, Arsen?"

Arsen menoleh, menatap Karin dengan tatapan tanda tanya. Seperti biasa, ia malas bicara.

"Kamu beneran tinggal sendirian?"

Arsen hanya mengangguk, matanya tak lepas dari ponsel ditangannya.

"Tante jadi kangen dulu, pas kamu masih kecil..."

Arsen terdiam, ia perlahan menjauhkan ponselnya dari wajahnya. Ia menatap Karin, "Dulu, kenapa?"

"Dulu, tante sering main kesini dan pertama kali tante main sama kamu, pas kamu baru usia 2 tahun kalau ga salah.." Karin tersenyum manis, membalas tatapan Arsen.

"Lalu?"

"Tante inget banget, dulu ga ada tetangga yang ga kenal sama kamu. Setiap kamu diajak keluar buat jalan-jalan atau sekedar belanja, pasti banyak banget yang liatin kamu. Beberapa dari mereka bahkan minta ijin sama Carmilla buat ngelus-ngelus pipimu. Karena dulu, pipimu chubby, kulitmu putih, matamu besar. Lucu deh.." Karin kembali tersenyum, mengenang masa lalu.

Elsa masih menatap Arsen dalam diam. Disaat Arsen bahkan tak sedikitpun menoleh kearahnya.

"Apa lagi?"

"Dulu banyak orang yang bilang 'Arsen kalau udah besar, pasti ganteng'. Tante inget banget, kamu sampe ngeluh ke papamu karena bosen denger ucapan itu dari orang-orang. Tapi sekarang kebukti kan ucapan mereka? Kamu beneran tumbuh jadi orang yang ganteng."

Arsen mengangkat sebelah alisnya, ekspresi wajahnya berubah. "Terus?"

Karin menatap Arsen, tatapannya sayu. "Kamu ga suka ya?"

"Kadang yang ga kita butuhin, Tuhan malah ngasih itu. Sedangkan yang kita butuhin banget, malah ga akan pernah bisa kita dapetin. Ratusan kali kita berdoa, tetep ga akan ada hasil. Tanaman kalau udah layu, mau didoain seribu kali juga ga bakal seger lagi."

"Tapi, Tuhan memberikan kamu sesuatu yang orang lain ga dapet, kamu harus bersyukur."

"Tante tau ga kenapa 90% selebgram di Indonesia itu cantik-cantik dan ganteng-ganteng?"

Karin terdiam kemudian ia menggelengkan kepalanya.

"Karena masyarakat Indonesia jaman sekarang lebih mengutamakan penampilan fisik. Yang ganteng dan cantik, di Tuhankan. Yang jelek, di injek-injek." ia tertawa miris. "Ga selalu di Tuhankan sih.." lanjutnya.

"Kadang ada beberapa orang yang iri sama penampilan fisikmu yang dipuja-puja sampe akhirnya dia ngelakuin sesuatu biar rasa iri dan dengkinya itu bisa terhapuskan." lanjut laki-laki itu.

"Waktu itu Razel pernah nyuruh kamu buat bikin planning hidupmu sampe nikah nanti, kan?"

Lagi-lagi ekspresi wajah Arsen berubah, "Aku gamau nikah." nadanya tiba-tiba menjadi dingin dan terdengar sedikit menusuk.

Karin mengernyit heran, "Lalu kalau kamu tua nanti, siapa yang ngurusin kamu?"

"Tante kira umur aku sepanjang apa? Pipa rucika?"

Elsa menunduk, diam-diam mengulum senyumannya.

Karin melirik putrinya melalui sudut matanya kemudian ia kembali membalas tatapan Arsen. "Kamu kenapa?"

Arsen memutar bola matanya, malas. Kemudian ia bangkit dan hendak bangkit, namun Karin menghentikan laki-laki itu.

"Dulu kamu ga begini. Kamu kenapa?" tanya Karin, ia menatap Arsen dengan tatapan serius.

Arsen membuang muka, tak membalas tatapan Karin.

"Hey, jawab tante!"

Arsen menoleh, menatap wajah wanita itu kemudian ia tersenyum. Senyuman yang justru membuat dia tampak menyeramkan.

"Yang keliatan bahagia, belum tentu bahagia. Yang keliatan baik-baik aja, belum tentu baik-baik aja. Dan kalau ada orang yang mikir 'Orang ganteng itu enak ya, dipuji sana sini, famous, bahagia terus, ketawa terus'. Haha, selamat! Lu masuk kedalam nominasi salah satu dari populasi orang ter-GOBLOK di Indonesia." ia menekankan kata goblok kemudian pergi begitu saja, meninggalkan Karin yang terpaku dipijakannya.

Karin membalik, menatap Arsen yang baru saja masuk dan menutup pintu kamarnya dengan kasar. Elsa bangkit, memeluk lengan ibunya itu.

Karin mengelus tangan putrinya, "Dulu Arsen ga kasar. Dulu dia ga keras kepala dan sopan banget. Pasti dia tertekan sama situasinya yang sekarang, makanya dia sensitif." Karin tersenyum, ia menatap Elsa. "Kamu masih suka dia?"

Gadis itu membalas tatapan ibunya kemudian mengangguk dengan tampang lugu.

 "Iya kasar, seenggaknya dia ga munafik dengan cara sok baik biar di nilai baik sama orang-orang."

~~~

Sudah pukul jam 02.00 WIB. Karin dan Elsa menginap disana karena tidak ada tujuan. Mereka juga tak sudi jika harus menginap dirumah Carmilla. Karin dan Carmilla memang sangat dekat seperti saudara kandung, tapi kali ini Carmilla keterlaluan.

Wanita itu menyelimuti putrinya yang tertidur di sofa. Kemudian ia membuka pintu kamar Arsen perlahan. Arsen tampak sedang tidur, dengan wajahnya yang ia tutupi dengan bantal.

Ia tidak mengganti pakaiannya, bahkan tak melepas sepatunya. Wanita itu masuk ke dalam kamar itu dengan hati-hati. Walau Arsen adalah seorang anak laki-laki, tapi kamarnya sudah termasuk rapih dan bersih. Ia berjongkok ditepi kasur Arsen, kemudian ia melepaskan sepatu Arsen dengan hati-hati.

Mata Karin tak sengaja menangkap sesuatu yang tergeletak diatas nakas kamar Arsen. Wanita itu bangkit, menatap benda itu lebih dekat.

Wanita itu terdiam, menatap beberapa kotak obat Xanax dan Risperidone yang tergeletak begitu saja diatas nakas itu.

Setau Karin, Xanax adalah obat penenang untuk menghilangkan rasa cemas, panik atau depresi. Sedangkan Risperidone adalah obat untuk menangani gangguan mental.

Karin tersenyum, ia mengalihkan pandangannya pada Arsen. Ia menyentuh tangan Arsen yang terasa dingin karena suhu AC dikamar itu. Karin meraih remot AC dari atas nakas kemudian sedikit mengecilkan suhu AC itu dan keluar meninggalkan Arsen disana.

ARSEN (END)Where stories live. Discover now