42 - Semua hanya masa lalu

4.9K 396 1
                                    

Arsen mengeluarkan kartu simnya kemudian menggantinya jadi kartu yang semulanya milik Verdo, "Bakal gua jaga semua peninggalan dari lu. Kalau gua ingkar janji, tolong bilang sama Tuhan buat perpendek aja umur gua.." lirihnya, ia menggenggam kartu sim itu ditangan kanannya.

"Rega?"

Arsen menoleh kearah Razel yang baru saja membuka pintu kamarnya itu. "Ikut papa sebentar, papa mau bicara."

Arsen mendesah lelah kemudian bangkit dan membuntuti Razel. Pria itu menuntunnya keruang tamu dan duduk berdua disana.

"Papa udah denger soal dia, kamu gapapa?" tanya pria itu, ia mengusap puncak kepala putranya.

Arsen hanya mengangguk dan tersenyum manis.

"Mulai besok, semua ini udah jadi masa lalu. Walau dia pergi, semua kenangan kalian ga akan ikut hilang kan? Tadi wali kelas kamu nelpon papa. Katanya tadi pagi, kamu telat banget dan sampai disekolah pas jam 9. Kamu telat karena nemuin dia?"

Arsen menggeleng pelan, "Tadi pagi emang niatnya mau gitu, tapi mamanya ga ngebolehin Rega buat ketemu dia, jadi Rega berantem sama mamanya."

Pria itu tersenyum hangat, "Kamu ga kelewatan lagi kan kali ini, Rega?"

Arsen terdiam, ia menatap kedua manik mata Razel dalam-dalam, "Rega pikir, mungkin nggak. Rega pantes bersikap kayak gitu. Karna kedua orang tuanya dia, ga pantes diperlakuin dengan baik."

"Gimanapun juga, mereka tetep lebih tua daripada kamu, kan? Kamu harus tetep sopan. Karena kalau sifatmu jelek, orang-orang bakal bilang kalau itu ajaran dari keluargamu. Paham?"

"Paham.." Arsen mengangguk dengan wajah cemberut.

"Sana balik ke kamar kamu. Tidur, besok sekolah!"

"Iya.." ia bangkit dengan malas kemudian melangkah sembari sesekali menguap menahan kantuk. Ia terpaku diambang pintu saat mendapati Kanaya berada dikamarnya.

Gadis itu tampak menatap dirinya sambil tersenyum lebar. "ABANGGG!"

Gadis itu berlari menghampiri Arsen sementara Arsen masuk dan menutup pintu kamarnya.

"ABANG KOK GA BILANG KALAU ABANG PINTER MATEMATIKA?!" gadis itu menunjukkan kertas lembaran hasil ulangan Arsen yang mendapat nilai 100.

Dengan cepat, Arsen merebut kertas itu kemudian menyobeknya menjadi bagian-bagian kecil. Naya terdiam menyaksikan itu semua, kenapa Arsen begitu?

"Abang, kok disobek? Padahal, nilainya bagus.." lirih gadis itu, kecewa. Ia menatap serpihan kertas-kertas yang terjatuh dilantai itu.

"Gua ga suka ada orang masuk kekamar gua apalagi sampe nyentuh-nyentuh barang gua. Lu tau, kan?" tanya Arsen sembari melangkah terus mendekati Naya sementara gadis itu mundur hingga punggungnya bertemu dengan lemari dibelakangnya.

"T-tadi Naya disuruh mama ambil barang mama dikamar abang.." jelasnya, terbata-bata.

"Apapun alasannya. Bisa minta ijin dulu kan?" ia menatap Naya dengan tatapan dingin, seolah ia akan menelan gadis itu jika gadis itu bicara sepatah kata lagi.

"T-ta--"

Sebelum Naya menyelesaikan ucapannya, laki-laki itu sudah lebih dulu mencengkram kerah baju gadis itu. Naya hanya diam, takut. Yang bisa ia lakukan hanya memejamkan matanya.

"Jangan pernah masuk kekamar gua kecuali dapet ijin dari gua. Lu masih sayang sama nyawa lu, kan?" ucapnya, penuh penekanan.

Arsen hanya diam.

"Rega?"

Arsen menoleh kearah Razel yang sedang menatapnya dari ambang pintu. Pria itu menghampiri Arsen dan melepaskan cengkraman baju Naya dari tangan Arsen. Ia mengusap rambut Arsen dengan lembut, "Minum obat kamu, abis itu tidur ya, Rega?"

ARSEN (END)Where stories live. Discover now