Semua sudah di takdirkan

10.7K 1.3K 39
                                    


"Ji." Panggil sang ibu pada Oscar yang kini mengelap mulutnya dengan tisu. "Adik kamu mau tunangan. Gak mau gituh dateng?"

"Mah, Oscar gak bisa ketemu papah."

Hana mengibaskan tangannya ke udara bermaksud mengusir nyamuk. "Ck, papah ngasih nama kamu Panji. Ngapain juga di ganti jadi piala Oscar. Keren sih tapi jadi ngingetin kalau kamu pilih jalan hidup sendiri. Buang apapun pemberian kami termasuk nama."

Mamanya tak gengsi harus makan di warung tenda. Padahal beliau memakai sepatu mewah serta tas bermerk. Kaca mata Gucci nya juga Hana letakkan di meja panjang beralaskan plastik.

"Papah gak bisa terima aku. Lebih baik gini kan?"

"Yah siapa yang bisa terima anak yang ia kira bakal jadi andalan malah lebih suka hidup liar dan suka laki-laki. Papah syok, hati sama nalarnya menolak keras pilihan hidup yang kamu tempuh. Mamah gak mau kamu kembali karena terpaksa tapi di hati kecil mamah pingin kamu berubah." Hana memegang tangan sang putra dengan hangat. "Mamah berharap kamu kembali memenuhi kewajiban kamu sebagai Rahardjo. Papah udah tua. Adik kamu perempuan semua."

Oscar trenyuh. Keinginan ibunya tak muluk-muluk namun sulit di wujudkan. Oscar tak berhasrat lagi pada wanita. Terlihat mustahil ia kembali normal. Namun pikirannya dengan lancang menuju ke El. Apa kehamilan El merupakan jalan yang Tuhan ambil agar ia kembali ke kodratnya berasal.

Tring... tring.... tring...

El menelepon. Panjang juga umur perempuan itu. "Ada apa El?"

Ketika anaknya mengangkat telepon dengan senyum sampai ke mata. Hana memicing, El? Laki-laki mana lagi itu!!
"Gue ada di warung bubur? Sekalian gak gue nanti bawa buah?"

Sumpah Hana ingin muntah. Anaknya bisa semanis itu dengan pacar prianya. Apa mereka juga hidup bersama. Membayangkan itu bulu kuduk Hana berdiri merinding. Nyidam apa ibunya Oscar dulu sampai melahirkan anak itu. Yah Oscar bukan anak kandungannya tapi anak suaminya sebelum bertemu dengannya. Singkat cerita suaminya menghamili perempuan bule, lalu ini Oscar meninggal saat melahirkan.

Apa Hana sakit hati? Tentu tidak, ia mencintai Oscar sebelum ia punya anak sendiri. Suaminya punya masa lalu, ia terima. Oscar putra sulungnya, itu yang benaknya selalu bilang. "Baik, gue  ke sana nanti."

Oscar yang menutup teleponnya kaget ketika sang ibu menodongnya dengan sedotan. "Siapa itu El? Pacar gay kamu!!"

"Bukan, dia perempuan mah. Mamah mau ketemu sama El?"

Hana menggeleng, waktunya tak banyak. Suaminya memang pergi namun pasti akan menelpon asisten rumah tangganya, mengecek dia ad Adi rumah tidak. "Enggak, mamah takut kamu bohongi. El nanti laki. Waktu kamu kenalin mamah ke Michael...Mike atau siapa ituh...?"

"Mac... mamah."

"Yah itu. Mamah trauma, gak punya gambaran punya mantu laki belok." Hana mengambil tas, kaca mata serta mengambil dua bungkus bubur tangan sudah siap di dekat meja kasir. "Kamu yang bayar. Mamah gak bawa uang tunai. Masak mau gesek kartu di gerobak!!".

Oscar menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menggaruk rambut. Ia sayang sekali pada Hana walau mereka bukan ibu dan anak kandung. Sejak kecil Oscar hanya tahu Hana itu ibunya, yang selalu ada di saat sakit dan selalu menyediakan pelukan saat ia menangis karena di ganggu anak lain. Oscar bergegas berdiri. Ia jadi ingat El menunggunya datang.

🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏🍏

El mengamati punggung Oscar yang bergerak-gerak mengayunkan teflon. Pancake madu buatan kakaknya bisa di bilang parah. Oscar mencoba memasaknya, El berdoa semoga kalian ini pancakenya jadi. El meneguk ludah, ingin rasanya memeluk punggung lebar itu dan nyender di sana. Hormon kehamilannya membuat libido naik namun El masih waras untuk tak mengulang adegan ranjangnya dulu dengan Oscar.

"Ya ampun, abang aku cakep banget. Pinter masak." El tahu itu bukan suara otaknya yang ngeres namun banci di sebelah kirinya yang sedang duduk memangku tangan di atas meja. Amit-amit, anaknya tak akan mencontoh kelakuan Tince. Tapi benar juga Oscar itu seksi, tubuhnya tinggi, kokoh, serta terlihat lelaki sekali. Jambang serta bulu halus kumisnya menambah ketampanan apabila mata birunya. Semoga anak El dapat itu turunan mata. "Abang jomblo ya?"

Si banci bertanya sambil mendayu-dayu, alamat dia ngrayu. Jangan sampai si Tince berani maju memegang Oscar. Bisa di pastikan spatula kayu yang baru El beli akan melayang ke udara menabrak kepala Tince yang tak berisi itu. "Gue gak jomblo."

Kenapa dalam hati El terkekeh senang. Hubungan mereka kan memang tak jelas tapi karena ada anak, Oscar mau tak mau harus ada di sampingnya, selalu mengutamakan dirinya. Namun keadaan ini sampai kapan. El jadi ingat bagaimana hubungan Oscar dengan sang chef. "Ohw, apa loe udah jadian sama chef itu?"

Seketika Tince lemas. Ya ampun mau dapat cowok cakep aja susahnya minta ampun. "Enggak El, kita belum sampai ke sana." Dan penyebabnya karena El dan kandungannya.

Pancake telah siap. Oscar menghidangkannya di atas piring bulat. Dari bau dan wujudnya sih enak. Karena madunya habis, ia suruh Tince membeli di mini market. "Loe gak terbebani sama keriwehan gue selama bunting?"

Dahi Oscar berkerut samar. "Enggak, gue seneng."

"Loe pingin punya pacar kan? Loe lagi deket ma seseorang sebelum kehamilan gue? Loe berhak kok bahagia, punya pasangan. Gue gak pernah ngelarang dan juga gue gak ada hak. Loe juga gak harus berperan jadi bapak siaga." Dasar hormon kehamilan sialan. Baru ngomong begitu rasanya pingin nangis. Nggak rela gituh Oscar jalan ama lekong sedang dia harus jadi jelek selama 9 bulan.

"Saat tahu punya anak itu semua keinginan yang lain gak ada harganya. Anak ibarat keinginan yang mustahil terus tiba-tiba loe di kasih dengan cuma-cuma. Loe bakal jaga sama nyawa loe sendiri." Seberharga itu anak mereka. Mata Oscar berbinar saat menceritakan anak mereka. El terharu, hatinya menangis tapi tak mungkin kan tiba-tiba dia kejer. Gengsi lah,

"Anak ini emang mukjizat." El mengelus perutnya yang kini membuncit. Usia kandungannya menginjak 4 bulan dan selama ini Oscar selalu sedia 24 jam menjaganya. Tidak  menerima pinangan pria itu memang salah tapi kalau begini terus ia pasti akan lebih sakit nanti. Lihat Oscar menciumi perutnya. Apa dia gak ngerasa kalau jantung El bertalu-talu seperti genderang yang di tabuh. El akan mati kalau sampai dirinya jatuh hati pada kebaikan Oscar. Dalam cerita novel cinta memang bisa di bina namun sayang di mata Oscar El itu hanya sahabat tanpa ia lirik sebagai kandidat yang patut di cintai.

Bukan masalah rasa tapi masalah selera. El menyukai laki-laki, Oscar itu masuk di dalam kriteria namun sayang Oscar suka laki-laki juga. Mereka suatu hari malah bisa jadi saingan. Mereka seperti dua kutub magnet sejenis yang akan saling tolak-menolak jika bertemu.

🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎

"Kenapa juga gak minta ke Oscar aja sih!!" Gerutu Tince karena hampir tengah malam ia di suruh mencari rujak. Gila nih majikannya. Mana ada rujak jam segini.

"Loe gue bayar buat gue suruh-suruh!! Oscar itu temen bukan pembantu." El beralasan. Sebenarnya sih ia takut jika terlalu bergantung pada Oscar. Dia takut jatuh cinta. Sungguh sahabatnya itu baik sekali. Pernah tengah malam El minta di bikinkan spaghetti, Oscar datang dan memasak. Pernah juga El minta di carikan kesemek. Entah dimana Oscar dapat tapi tiba-tiba ia membawa buah pesanan El sebanyak 2 kilo.

"Gue buatin rujak sendiri aja. Kita tinggal cari swalayan yang buka 24 jam buat beli buah-buahan!!"

"Ide bagus, dari pada jalan terus." Mereka benar-benar jalan karena mobil yang mereka tadi bawa di parkir agak jauh. "Kaki gue gempor!!" El mengelus perutnya pelan karena terasa sedikit ngilu. Berjalan hampir 500 meter, membuat tubuhnya lelah.

"El!!" Pekik Tince kaget saat beberapa orang berbadan kekar serta besar berpakaian serba hitam menangkap lengan El. Tince berusaha menggapai El namun sayang ia kalah kuat. Sekali di senggol banci itu tumbang. Tince menangis histeris melihat majikannya di bawa paksa lalu di masukkan ke mobil Van bewarna hitam dop.

💟💟💟💟💟💟💟💟💟💟💟💟💟💟💟

Jangan lupa vote dan komennya

BersamamuWhere stories live. Discover now