Mencari...

11.6K 1.8K 115
                                    

Bagi El cinta erat hubungannya dengan kehilangan. Tiga kali jatuh cinta, tiga patah hati pula. Memang kalau menyangkut rasa berbunga-bunga, El layu. Tanah hatinya kurang subur,  cintanya enggan tumbuh. Di tinggal Adrian, ia masih punya mami. Di tinggal mami ia masih punya Naima lalu patah karena Alex, ia punya Oscar sebagai tempat sandaran. El baru sadar jika hidupnya layaknya benalu, bergantung serta menempel pada orang. Yang tersisa hanyalah anak yang ada di dalam perutnya. Semoga anak ini juga tak akan meninggalkannya, seperti kisah yang lainnya.

El menyapu deburan buih ombak dengan kaki. Pantai, tempat favorit sang mami. Tempat pertama kalinya El sebagai anak, di ajak darma wisata. Tempat kenangan indah, karena maminya akan selalu tersenyum jika di bawa kemari. Tempat ia menenangkan diri atau lebih tepatnya lari.

Berdalih kemari untuk menekan rasa stres, ia setiap detik malah memikirkan Oscar. Merindukan pria itu setengah mati. Pelukan Oscar membuatnya kecanduan, ia hampir tiga malam menangisi pria yang sehari-hari menemaninya tidur. Sebenarnya masalah mereka, terletak pada rasa cinta yang menurut El tak kunjung ada. El bukan tipe perempuan pengecut, lari jika sedang di terpa masalah. Ia kali ini lari memang mesti. Kalau ia tak menyingkir, pastilah yang menderita bukan cuma dia.

El mengambil ponselnya yang ada di saku depan daster selutut yang dirinya beli di pasar pakaian, seumur hidup ia tak pernah menginjakkan kaki di sana tapi demi memberi kenyamanan untuk bayinya. El rela menginjak tempat tak berat AC dan bersanding dengan rakyat berbau matahari.

Nomernya baru, El hanya membaginya kepada Naima. Namun hari ini, ia ingin sekali mengecek butik. Tince memang tak akan tahan jika tak memakai koleksinya tapi kan pria setengah wujud itu bisa mengolah keuangan dengan baik, dan anti korupsi.

"Ce?" El mendesah lalu memutar bola matanya. Tince di seberang sana sudah berteriak girang.

"-------"

"Butik gimana selama gue tinggal?"

"Yah gituh. Para langganan lo yang minta di desainin baju pada pulang. Kan lo nya gak ada."

"Gue titip butik sampai lahiran."

"Kenapa sih El mesti pergi. Lo kan bisa lahiran di sini. Apa lo mau lahiran ala waterbirth live di laut atau kali?" Kalau Tince ada di sini, akan El urap mulutnya. Melahirkan secara normal saja sulit apalagi pakai acara dengan media air.

"Bisa gak sih lo ngomong jangan sembarangan. Jangan lo pakai baju butik. Inget gue pantau lo melalui CCTV." Tince celingak-celinguk, melongok ke jendela. Yang di pasang CCTV kan hanya luar saja. Apa ruang ganti juga terpantau? Sedang El di seberang sana malah terkikik geli. Mana mau ia repot menghubungkan cctv butik dengan ponselnya. Kadang sinyal di sini saja rentan hilang atau hanya tinggal dua.

"Iya... iya lo khawatir banget sih. Lagi pula gue udah jarang mangkal. Kan gue udah tobat." El malah terbahak, tobat apanya? Warna rambut Tince sekarang di rubah jadi silver.

"Tobat beneran? Kenapa lo bisa kepikiran buat tobat?"

"Yah gue juga pingin merajut masa depan. Punya keluarga El. Gue capek kerja, pinginnya sih di rumah. Ngurus keluarga. Yah doain gue, supaya ketemu jodoh. Ah kali aja ada duda kesepian yang mau." Hampir saja El terjengkang kalau tak berpegangan pada pohon kelapa. Katanya tobat tapi masih doyan batangan.

"Ah lo, kebanyakan ngayal. Kirain tobat beneran. Lo itu banci residivis. Bilangnya berubah nyatanya kumatan!!" Tince di seberang sana hanya diam. Apa karyawannya itu tersinggung dengan ucapannya. Kan jarang Tince itu marah. Namun telinga El seperti tersambar gledek saat mendengar seseorang memanggilnya di ujung sana.

"El..." El terdiam lama, ia meneguk ludah. Rasanya hanya mendengar suaranya, tangis El mau rubuh. "Kamu dimana sekarang? Perlu aku ke sana buat jemput."

El membekap mulut, menjaga agar tak menjerit atau memaki. Sejauh apapun ia pergi, suara Oscar begitu menggema dan sulit ia tepis. Cinta yang ia rasa begitu menakutkan. "Gak perlu,"

"El kita perlu bicara, banyak yang mesti kita bahas. Kamu dimana El, biar aku ke sana." Oscar tak kuat menahan harunya. Hanya mendengar suara El, ia bahagia sekali sampai ingin menangis. "Aku minta maaf soal Mac. Kamu benar, aku pengecut. Aku udah tahu sekarang harus melakukan apa. Aku gak butuh kerja lagi di kantor, aku gak butuh jadi anak baik buat bikin papah bangga, aku gak perlu menangin tender trilyunan. Aku cuma butuh kamu...."

El hanya diam, entah keinginannya atau keinginan bayinya. Ia betah mendengar suara Oscar. Tapi Oscar butuh dia atas dasar apa? Butuh dia sebagai figur ibu untuk anaknya atau untuk melengkapi tulang rusuknya? "Kita butuh jarak Car." El takut dengan perasaan cintanya. Jika ia melihat Oscar mungkin keyakinannya akan runtuh dan mau kembali ke pelukan laki-laki itu. Membuang harga diri, tak di cintai tak apa asal dapat selalu bersama.

"Untuk apa? Kamu egois El. Kamu butuh aku, kita saling membutuhkan. Aku tahu kamu mencintaiku. Kamu takut, perasaan kamu tak terbalas makanya pergi?" El tertampar, siapa yang telah memberi tahu isi hatinya. Keinginannya untuk menghilang dan tak menampakan diri semakin kuat kini karena malu mengalami cinta bertepuk sebelah tangan. "Kamu gak mau tahu, bagaimana perasaan aku sama kamu?" El betah diam, "aku juga cinta sama kamu!"

El tersentak, ia jadi marah. Ia tak butuh di kasihani, cintanya di balas karena terpaksa. "Jangan kamu bilang cinta. Kamu cuma kasihan kan sama aku? Apa kamu bilang itu supaya aku kembali? Apa itu cinta? Memang kamu tahu." Air mata El menitik lebih deras, ia tersenyum kecut di sela-sela hembusan angin pantai yang sepoi-sepoi. "Pernyataan kamu itu membuat aku semakin yakin kalau pergi adalah jalan terbaik." 

"El...." sayang El dengan kasar menutup panggilannya. Oscar mengucap cinta begitu enteng. El sudah banyak di beri harapan tapi harapannya yang ini terasa menyakitkan walau belum sepenuhnya gagal. Perutnya sakit, anaknya membatu lagi. El menangis entah menahan sakit hati, atau sakit perut. Ia kuat, anaknya kuat. Di elusnya perutnya pelan-pelan sambil berdoa. Semoga anaknya tidak lahir sebelum waktunya. Anaknya dalam perut lama-lama menurut, ah El jadi ingat putrinya punya ikatan batin terlalu kuat dengan sang ayah.

Dan Tince, menatap lelaki yang jadi pujaannya dengan pandangan nestapa. Ia kalau bisa mau ikutan menangis. Ya ampun pria macho, tegap berdiri dan ganteng. Mengapa begitu keras mencari El. Raut muka Oscar nampak kritis, aura ketampanannya yang menguar beratus kilo meter kini sirna di gantikan sebuah wajah lusuh, penuh beban pikiran, belum lagi kedua tangannya yang masih terperban kasa. Memang cinta itu ada, buktinya orang yang sedang menunduk dalam di hadapannya menjadi lemah dan menangis pelan. "Bang, kalau aku tahu El dimana. Pasti aku kasih tahu. Sayangnya dia juga diem aja waktu aku tanyain."

"Terima kasih, kamu udah kasih kesempatan aku buat ngomong sama El." Inginnya Tince memeluk pria berjambang agak lebat ini, ia elus layaknya kucheng orens kesayangan. Siapa tahu setan lewat, terus Oscar khilaf. Eh, di saat orang lain sedih, Tince masih berpikir mencari kesempatan dalam kesempitan.

☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Dikit kan? Gak apa-apa penting tiap hari.

El belum ketemu tapi mereka ngomong via ponsel.

BersamamuWhere stories live. Discover now