Terluka

11.5K 1.6K 158
                                    

El mencoret-coret kertasnya. Harusnya ide meluncur dengan lancar namun pikirannya malah melenceng ke lelaki abnormal. " Mac.... brengsek," umpatnya sambil menekan pensil yang ia pegang pada gambar. Idenya membuat gaun panjang dengan tile cantik, purna sudah. Payet bunga yang akan dia rancang berubah jadi coretan melingkar. Moodnya merosot, bayinya dalam perut bergejolak. Menendang ke sana ke mari. Apa di kira perutnya lapangan bola? Eh anaknya perempuan kan? Bukannya bermain boneka Barbie lebih baik.

Pandangan El kabur sampai melihat sebuket bunga mawar putih berada di depan mata. Ia dengan polosnya malah mengucek mata. "El, bunga buat kamu."

Eh bunga beneran, bukan bunga jamban. "Oscar? Kamu udah pulang jam segini." Dengan senang hati ia hidup dan terima.

Oscar tersenyum hangat, lalu mendaratkan dua kecupan pada pipi El. "Aku tadi ada tugas di luar. Udah selesai terus aku ke sini."
El mengerjakan mata, menganggap perhatian Oscar sebuah ilusi semu tapi orangnya ada loh di depan dia sedang menggeret kursi agar mereka duduk sejajar. "Kamu sudah makan?"

"Belum." Oh pantas saja anaknya meronta-ronta di dalam perut. Tapi begitu tangan Oscar mendarat dan mengelus-elus. Anaknya berubah jadi gadis penurut. Benar kata orang anak perempuan lebih dekat dengan sang ayah. Kenapa dia tidak ya?

"Bekal yang aku buatkan tadi belum kamu makan. Dimana kamu taruh bekalnya?" Oscar berdiri menelisik sisi meja kerja El. Ada bekal yang ia buatkan tadi pagi tergeletak di sudut masih terbungkus plastik. El bekerja sampai lupa waktu. Oscar terlebih dahulu mencuci tangan dan mengambil sendok.
Baru menyuapkannya pada El.

Di perlakukan seperti itu, ia hanya diam sambil makan lalu mengawasi ayah anaknya. Oscar dengan tulus menyuapinya lalu sesekali mengelap mulutnya yang belepotan. Kenapa laki-laki sesempurna ini, tak pernah ada hati untuknya. El cantik, menarik mudah membuat seorang laki-laki jatuh cinta tapi bukan setipe Oscar. Kenapa dia malah menaruh hati pada pria yang sulit di raihnya. Menangis dapat di anggap pelarian dari hati yang patah. Mac benar dirinya tak seberharga itu.

Ia malah kelihatan curang, memanfaatkan kehadiran bayinya agar memaku Oscar di sisinya terus. Berdosakah ia malah mau membelenggu Oscar dalam ikatan pernikahan? Keduanya tak akan pernah bahagia, malah mungkin saling melukai dan akhirnya anaknya akan jadi tumbal.

"Mac, kemarin ke sini?" El langsung tersedak air mineral. Pikiran buruknya bertambah banyak. Biarlah ia jujur, toh lambat laun hal yang menyakitkan akan ia dapat.

"Iya. Dia gak terima aku hamil. Mac ketemu kamu, dia yang cerita?"

"Heem." Hanya satu kata itu mampu membuat El menatap ayah sang anak dengan cemas. Takut jika Oscar goyah lalu melupakan dirinya. Mac sangat berarti, pria itu lama mengisi hati Oscar. Menghapusnya dan menempatkan nama El rasanya sulit malah mendekati mustahil. "Apapun ucapan Mac. Aku harap jangan jadi beban pikiran kamu."

Terlambat, beban pikiran El sudah jadi sarat. Mantan lebih menakutkan daripada penagih hutang atau pun setan. "Bagaimana perasaan kamu ke Mac setelah kalian bertemu kembali?"
El mencengkeram buku tangan pada meja. Ia siap jika jawabannya hanya mendatangkan sebuah pukulan telak.

"Tidak ada yang istimewa." Tak istimewa tapi hatinya goyah bagai di terjang gempa. "Dia datang sebagai rekan bisnis. Walau pun ia tak bisa terima jika kamu hamil tapi aku bisa jamin dia tak akan mengusik kamu."

"Dia minta balikan kan?" tanya El tiba-tiba. Dari pada pembicaraan mereka berputar-putar lebih baik ia yang mulai berterus terang. "Gimana kamu nanggapi soal itu?"

"Aku menolak. Karena itu gak mungkin."

"Gak mungkin, karena kamu di bebani aku kan? Aku sudah pernah bilang kamu berhak bahagia...."

BersamamuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora