Hilang

8.6K 1.5K 86
                                    

Langkah Oscar begitu gontai, berbeda dengan sore tadi saat menginjakkan kaki ke kediaman utama keluarga Rahardjo, yanh sudah tidak ia tinggali hampir 8 tahun lamanya. Beberapa kali Oscar mengusap wajah, hal yang ia hadapi begitu pelik. Oscar tak bisa memilih walau sebenarnya pilihannya sudah jelas mengarah kemana. Ia menunduk sambil memencet tombol lift. Berharap, pulang melihat wajah El yang walau cemberut namun enak di lihat dan mendatangkan semangat jika mengingatnya.

"Apa maksud papah ngirim aku buat ketemu Kalina?" tanya Oscar yang kini sudah duduk di ruang tamu. Ibunya Hana entah kemana. Ia harusnya ada untuk membantunya mengurai masalah.

"Jadi kalian udah ketemu? Bagaimana pendapat kamu tentang dia?" Oscar yang tadinya ingin bicara pelan-pelan, tiba-tiba saja mendadak di selubungi amarah.

"Papah sengaja mengatur pertemuan kami? Sengaja menjodohkan kami?!! "

Dimas malah tersenyum sambil membalik lembaran demi lembaran, buku yang ia baca. "Kamu udah umur 30 tahun. Sudah saatnya menikah."

"Aku belum mau menikah. Fokusku ke karier."

"Menikahkan dengan Kalina. Kalau kamu ingin membuktikan, kamu bukan gay lagi." Nada bicara Dimas terdengar santai namun sarat akan ketegasan. "Menikah, punya anak, membangun keluarga. Papah tahu sulit bagi kamu untuk menyukai perempuan. Kamu laki-laki, tak sulit menyeimbangkan keluarga dan juga karier."

Bukan seperti itu, ingin ia teriakkan jika dirinya punya El dan anak mereka. "Papah masih ragu kalau aku berubah?"

"Jelas iya." Dimas meletakkan buku bersampul coklat di atas pangkuannya. Rasanya bacaannya tak lebih menarik dari menginterogasi putranya. "Menikah bisa menghapus masa lalu kamu yang seorang berperilaku abmoral. Status kamu gay, akan terhapus. Kalina perempuan yang tepat. Ia dari keluarga terpandang, cantik, berpendidikan dan jelas terkenal."

"Jadi masalahnya ada hubungannya dengan masa lalu aku?"

"Iya. Masa lalu kamu akan jadi boomerang bagi keluarga besar kita suatu saat nanti. Kecuali kalau kamu menikah."Pikiran kolot. Ayahnya kira menikah adalah jalan keluar. Hingga memilihkan calon istri sesuai kriteria Dimas tanpa bertanya apakah Oscar mau atau tidak.

"Apa papah masih berpikir nama keluarga adalah segalanya?"

Dimana lalu menatap tajam ke arah putranya. Ia melepas kaca mata dan mengurut pelipisnya agak keras serta dalam. "Nama Rahardjo bukan di bentuk dalam waktu semalam. Ada perjuangan kakek, paman kamu, papah dan juga masih banyak orang lain yang turut andil besar. Papah tentu gak mau kalau nama baik yang kita pertahankan rusak karena kamu. Dulu bahkan papah gak segan-segan coret nama kamu." Dimas tak segan kalau berucap. Ia kepala keluar, keputusannya mutlak. Kalau pun dengan Kalina, Panji tak berhasil. Maka masih ada kandidat yang lain. Dulu Oscar kalau sudah di ujari dengan ucapan kasar serta keras maka ia tak akan berpikir dua kali untuk pergi dan tak akan kembali. Namun anaknya nanti butuh sosok keluarga utuh. Masalahnya sekarang, apakah bisa ayahnya menerima El yang sudah hamil 8 bulan dan siap melahirkan. Rahardjo tak akan pernah menerima anak di luar tapi pernikahan seperti dirinya dulu. Oscar bisa di terima lantaran Hana berlapang dada dan ayahnya tak punya anak laki-laki lain. Membayangkan anaknya punya ibu lain, Oscar terserang pening. Hatinya berdenyut perih, nyeri dan sakit. Di matanya hanya ada bayangan El, yang akan menggendong bayi mereka.

"Aku menolak Kalina. Aku menolak perjodohan itu!!"

"Masih ada banyak perempuan lain yang kualitasnya sama seperti Kalina."
Oscar menggeram marah, tangannya yang terpekal ia eratkan pada pinggiran kursi. Ke depannya hubungannya dengan El akan semakin sulit. Harusnya dulu ia tak kembali ke keluarga ini. Hidup bersama El dan juga anak mereka tanpa gangguan siapapun rasanya lebih baik.

BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang