Perubahan siknifikan

10.2K 1.6K 43
                                    


Berubah tak semudah yang janji telah ucapkan. Berubah menjadi baik menurut keinginanan manusia butuh namanya berjuang. Oscar hampir putus asa. Status karyawan biasa tidaklah enak. Ia di tempatkan di ruangan sederhana, berbaur dengan karyawan lainnya. Oscar yang terbiasa mengontrol kini berkutat dengan data yang ada di dalam komputer. Pundaknya pegal, matanya perih karena terlalu lama duduk. Tapi apa mau di kata, status sebagai karyawan baru membuat dirinya mendapat pekerjaan yang banyak serta berat. Di saat lelah serta stamina yang menurun. Ia selalu merapalkan ucapan untuk meyemangati diri. Ini demi El dan juga bayi mereka. Dia hanya perlu berusaha lebih keras lagi agar terlihat di mata sang ayah dan bisa mengambil kepercayaan orang yang telah membesarkannya itu. Jadi karyawan biasa tak separah jika harus jadi kuli bangunan.

Sedang El sudah seminggu ini merasa ada yang aneh serta berubah. Oscar yang saat pagi biasanya ia jumpai meringkuk bagai bayi di atas tempat tidur kini bayangannya pun nihil. Walau sarapan pagi lengkap bergizi tetap terhidang di atas meja namun makan tanpa kehadiran pria itu rasanya berbeda. Apa yang laki-laki itu tengah perbuat ya. Di pagi hari batang hidungnya pun tak nampak namun El merasa jika setiap malam Oscar selalu memeluknya ketika tidur.

El berdecih sebal sambil mengunyah roti selai blueberry. Ck... dia seperti seorang istri yang di tinggal suami merantau di luar kota. Apa Oscar tengah sibuk di club malam? Ah iya mungkin atau pria itu malah sibuk dengan sanggar striptis. Membayangkan hal itu El jadi bergidik ngeri. Ia dengan kesal serta kecewa melempar rotinya di atas meja makan. Katanya Oscar mau berubah jadi normal padahal El sudah menyiapkan diri untuk membantu pria itu tapi apa yang ia dapat. Oscar belok arah lagi. Eh mana bisa El menyimpulkan dengan otak kecilnya tanpa menemukan fakta. Baiklah El akan menyeberang jalan dan melangkah ke tempat haram itu. Dengan pelan dan penuh kasih sayang ia mengelus perutnya.

"Kita main cuma sebentar, cari bapak kamu. Jangan lirik-lirik cowok ganteng di sana. Rata-rata mereka mengecewakan kaum hawa yang kurang belaian."

El tersenyum kecil lalu mengambil handuk untuk mandi.

💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎

Percaya atau tidak El lebih mirip penguntit atau maling. Ia menengok isi Club hanya melalui balik pintu depan. Kalau sebodoh ini kapan Oscar ketemunya. Mau masuk ragu, perutnya yang membuncit pasti jadi bahan gunjingan.

"El...!!" Panggil salah satu waitres di sana. El memejamkan mata. Ia berharap tak ketahuan secepat ini.

"Hai..." dengan tersenyum canggung ia melambaikan tangan lalu menggaruk rambut.

"Ngapain di depan, mending masuk. Tapi gak ada siapa-siapa. Maklum masih pagi. Aku ke sini karena kedapatan giliran bersih-bersih."

"Aku mau cari.... Oscar. Dia ada di dalam kan?" Karyawan laki-laki itu hanya mengerutkan dahi lalu menatap El aneh. Mencari sang bos sepagi ini, mana ada?

"Gak ada El. Dia udah lama gak kemari. Sejak seminggu lalu masalah Club di handle Dona." Jawaban Dari membuat El kebingungan. Kalau di apartemen tak ada, di Club tak ada. Kemana gerangan Oscar. Apa laki-laki itu kembali ke habitatnya dengan para laki-laki berbulu dada lebat. Tak mungkin. Oscar bilang mau berubah. El kenal Oscar bukan tipe pembual atau pembohong.

"Kenapa di pegang Dona?" Dafi hanya menggedikkan bahu lalu memegang gagang pel lagi. Karena merasa tak enak dengan mengganggu pekerjaan orang lain. El pamit pergi. Walau pikirannya masih berkecamuk, menyimpan penasaran tinggi. Namun ia urungkan untuk mencari tahu. Karena jika prasangka buruknya benar. Rasa keponya hanya mendatangkan sakit hati semata.

🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉

Di saat lelah, pulang kantor setelah lembur. Inginnya Oscar hanya sederhana, memandang wajah El ketika tidur atau sekedar membelai suraunya yang hitam. Lalu kalau tak ketahuan dan merasa El tak terganggu. Ia mengecup dahi El dalam-dalam. Kalau bagian itu jangan bilang pada El yah.

Oscar tak tahu apa yang tengah ia rasakan. Jantungnya berdebar lebih kencang tatkala melihat El yang meringkuk di balik selimut. Ia punya keinginan besar merengkuh tubuh itu untuk berbaring bersamanya. Hah Oscar tak tahu apa itu sebuah dorongan nafsu atau rasa tanggung jawab melindungi. Oscar nyaman saja, jika saling berhadapan menyentuh rintik-rintik bulu mata milik El.

Ceklek

Oscar jelas terkejut, lampu apartemen belum menyala, ruang tamu gelap gulita. El tak terbiasa istirahat dengan lampu yang di matikan. "El..." panggilnya keras-keras namun saat membuka pintu kamar. Tak ada siapa pun di sana. Panik jelas mendera, ia dengan cepat berlari ke kamar mandi serta dapur namun hasilnya sama. El belum terlihat. Apa perempuan itu keluar karena ngidam ingin makan sesuatu.

Oscar kalau terserang panik mendadak jadi idiot. Teknologi sudah canggih, ia langsung merogoh ponsel untuk menghubungi Tince. "Ce, El masih di butik?"
Tanyanya to the point padahal banci di seberang sana sudah terpekik kegirangan.

"Bang!!.... Elnya udah pulang dari tadi di jemput kakaknya."

"Ya udah." Kelegaan langsung hinggap sedang Tince di seberang telepon misuh-misuh tak jelas.

El sendiri bersama Naima berada di dalam mobil setelah membeli salad buah segar. Katanya El nyidam tapi saat Nama menawarkan untuk makan di tempat. El menolaknya. Katanya ia ingin makan sambil menatap wajah ayah sang janin. Naima mencibir, setampan apa orang yang menghamili El itu. Naima sendiri juga bingung harus bersikap apa nanti. Sebal kah? Memasang tampang judes atau memakinya? Tapi El kan yang katanya tak mau di nikahi lagi pula pria itu bertanggung jawab penuh atas El.

"Ini kan apartemen yang kamu tinggali?"

"Iya, kakak mau mampir?"

"Boleh, kakak pingin lihat tempat tinggal kamu." Naima penasaran saja. Adiknya ia ajak tinggal di rumah mami mereka namun El tak mau. Senyaman apa tempat hunian El yang berhadapan dengan sebuah Club malam itu.

Mereka berdua keluar mobil. Naima parkir tepat di depan bangunan. Toh ia cuma mampir sebentar lalu pulang. Syukur-syukur ketemu laki-laki yang menghamili El tapi tak mungkin juga. Ini sudah malam. Laki-laki itu pasti sudah di Club. Kata El pria yang menghamilinya adalah pemilik Club.

"El....!" Pekik seseorang yang kini tengah membawa sekantong kresek makanan. Oscar masih menggunakan kemeja dan celana kain.

"Car.... kamu?" El bertanya-tanya dengan penampilan Oscar tapi ia hanya sanggup mengamati tanpa sanggup bertanya lebih lanjut.

"El, aku baru beli makan. Tadi kata Tince kamu pergi sama kakak kamu. Aku kira kamu nginep di rumah orang tuamu." Oscar menebar senyum hangat dan ramah. Naima sampai di buat takjub akan perlakuan lelaki itu. Namun ia tiba-tiba menajamkan ingatan. Wajah Oscar seperti familiar sekali. Naima pernah bertemu tapi dimana? Apa dia salah satu teman Saka, tunangannya dulu.

Namun mata serta otaknya seperti di paksa loncat keluar setelah ingat akan sesuatu. "Panji.... Panji Pratama Rahardjo." panggilnya lantang ketika ingat laki-laki yang kini berdiri di depan sang adik adalah salah satu adik tingkatnya ketika kuliah dulu yang bertingkah menyimpang. Laki-laki yang membuatnya menderita mual beberapa hari karena tanpa sengaja melihatnya bergumul dengan salah satu teman basket Saka. Dia tentu bukan orang yang menghamili adiknya bukan? Tuhan masih baik kan dengan mereka yang telah kehilangan ibu? Naima tertawa dalam hati karena hal itu tak mungkin terjadi. Panji kan penyuka laki-laki.

🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉

BersamamuWhere stories live. Discover now