4. Sunday Morning

687 79 3
                                    

Azel, sejam lagi kita nikah, yok!
###

Kringg... kringg... kring....

Lonceng sepeda berbunyi tiga kali, bertanda kalau Azel baru saja sampai ke halaman rumah Cyra. Bagai rutinitas setiap minggu pagi, Azel menjemput Cyra pagi-pagi buta hanya untuk memberikan bubur ayam kesukaan Cyra tiap minggunya.

Sembari menyiram tanaman, Pak Tito tersenyum lebar menyambut kedatangan Azel. Tangan ringkih Pak Tito memutar kran air, membuat aliran air terhenti beberapa detik kemudian. Lantas beranjak membuka gerbang menjulang.

"Pagi, Pak Tito." Azel menyapa laki-laki paruh baya itu dengan senyum tipis. Azel turun dari sepeda, mendorongnya memasuki gerbang yang sedetik lalu terbuka.

"Pagi, Mas Azel. Langsung masuk aja. Itu Ibu sama Bapak lagi di ruang makan."

"Siap, Pak."

Azel memarkirkan sepedanya di garasi, tepat di sebelah mobil hitam milik ayahnya Cyra. Setelah itu, Azel menderap masuk ke pintu utama kediaman Cyra dengan sekantung bubur di genggaman tangannya.

***

Tak peduli ayam jantan berkokok dan menghasilkan telur ajaib, Cyra tetap saja bergelung dalam balutan selimut tebalnya. Cyra bahkan tak peduli dengan suara ketukan dari balik pintu. Apalagi dengan tv yang sedari semalam menyala tanpa henti menayangkan sinetron jaman dahulu. Cyra tak peduli, bahkan kalau saja Ande-Ande Lumut dikutuk menjadi onde-onde mini yang sering ia beli di pinggir jalan.

"KAK CYRA, TUKANG BUBUR NAIK DAUN UDAH SAMPE NIH." Tidak mungkin itu suara Azel, kan? Azel tak mungkin punya bakat melawak sejayus itu. Alih-alih Azel, malah adik perempuan Cyra yang berteriak dari balik pintu.

Cyra menggeliat, persis seperti cacing yang disiram air garam oleh Kak Ros. Cyra bergumam tak jelas, "Suruh pulang aja, dia pacarnya Liyukangkang." Ajaibnya, Cyra mungkin sedang bermimpi menonton film legenda subuh tadi.

"Apa? Suruh Kakang? Azel orang barat, woi! Bukan sunda." Hari libur
Kila mungkin membosankan, makanya ia sedari tadi hanya menyahuti kakak perempuannya saja. Padahal tugas sekolahnya menumpuk, mengingat remaja tanggung itu akan menghadapi ujian nasional.

"Sebenernya bokap keturunan Sunda," kata Azel pada Kila. Membuat Kila meringis sembari menggaruk kepala yang tak gatal. "Hehehe... kasep-kasep dong, ya?"

Azel tersenyum tipis. "Ga perlu gue jelasin, lo bisa liat sendiri."

"Kebanyakan main sama Cyra, lo jadi ketularan narsis ya, Bang?" Kila terkekeh pelan. Kepalanya menggeleng mengikuti irama kekehannya.

"KAK CYRA! KATA BANG AZEL, DIA KETURUNAN SUNDA. PANTES KASEP PISAN."

"Ck!" Cyra berdecak sebal sejurus menarik tubuh, lantas berjalan gontai membuka pintu.

Pintu berhasil terbuka. Siap-siap saja Kila terkena malapetaka.

"Belajar sana! Ngga usah gangguin Azel. Lo bukan tipe dia." Entah masih mengigau atau memang sengaja menyindir adiknya, perkataan Cyra berhasil membuat Kila mendengus sebal.

"Ck! Lo juga bukan tipe bang Azel kali!" serunya lantas berlalu dari hadapan kedua sohib itu.

Sepeninggal Kila ke bawah, Cyra kemudian menatap Azel dengan mata yang menyipit. Azel tersenyum geli. Tangan kiri Azel terjulur, ibu jarinya mengusap bagian mata Cyra secara bergantian.

"Cewek itu harusnya bangun subuh. Coba sekali-kali lo bantuin bunda," kata Azel dengan ibu jari dan segala kesibukannya. Dari bagian mata yang sudah bersih dengan kotoran, tangan Azel dengan lembut merapikan rambut Cyra yang kusutnya melebihi singa.

AzelWhere stories live. Discover now