E p i l o g

789 63 0
                                    

Tok... Tok... Tok....

Dari ruang tengah Azel mendengar suara ketukan pintu. Azel yang sedang menuangkan air minum dari teko ke gelas, dibuat menghela napas pendek. Azel yakin sekali yang mengetuk pintu adalah Cyra. Tapi tunggu dulu... tak biasanya gadis itu mengetuk pintu, biasanya Cyra main nyelonong saja masuk lewat pintu depan.

"Masuk aja, Ra. Enggak di kunci," kata Azel setengah berteriak dari ruang tengah.

Tidak ada sahutan, namun langkah kaki jelas terdengar mendekatinya. Azel sempat mengeryitkan dahi, namun tetap mencoba berpikir positif, siapa tau Cyra sedang dalam masa periode sehingga menyebabkan gadis itu enggan menyahuti Azel.

Suara jarum jam berdenting merajai seisi ruangan. Azel dibuat bungkam saat langkah kaki itu kian mendekat. Meletakkan teko berisi air minum di atas meja, Azel melangkah pelan mendekati sumber suara hentakan sepatu.

Azel mendadak menghentikan langkahnya saat orang yang berdiri di hadapannya kini bukanlah Cyra, melainkan orang dengan pakaian serba hitam-hitam yang Azel yakini adalah laki-laki.

"Siapa lo?" Azel tak dapat mengenali wajah orang itu sebab dia memakai masker dan topi.

"Lo sadar kalau bokap lo meninggal nggak wajar?" Laki-laki itu bertanya pelan. Rasanya Azel tak asing dengan suara itu.

Azel menggertakkan giginya. Kilas balik saat ia menemukan ayahnya tak bernyawa tepat di tempatnya berpijak, kembali terputar dibenak. Azel tak mungkin lupa tubuh ayahnya yang menuh luka sayatan, dan darah yang mengecer hingga ke lantai marmer putih yang saat ini ia pijak.

Dengan dada yang sesak Azel berteriak keras. "SIAPA LO?!"

Laki-laki itu mendengus geli. Entah apa yang menurutnya lucu. "Belum jelas juga?"

Azel mengernyitkan dahinya. Suara itu sangat familiar di telinganya.

Laki-laki itu kemudian mendekatkan dirinya ke arah Azel yang diam ditempatnya bagaikan patung. Azel bingung, sama sekali tak mengerti situasi.

Tap... Tap... Tap....

Langkah itu kini terhenti tepat di depan Azel. Sangking dekatnya, hanya tersisa satu ubin yang menjadi jarak antara mereka.

"Dia udah di tempat yang aman. Tapi mungkin nyawanya enggak aman." Laki-laki itu berkata pelan. Nyaris serupa dengan bisikan.

"Dia?"

Laki-laki itu mengangguk pelan. "Cyra Tsabita."

Azel tiba-tiba saja merasa sesak menggumpal di dadanya. Cemas jelas saja merajainya.

"LO SIAPA?!" teriak Azel lagi. Kali ini lebih kencang.

Laki-laki itu mendengus geli lagi. Kemudian, dengan gerakan pelan tangannya terjulur mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya. Sebuah pisau kini sudah berada di genggamannya.

Azel menelan salivanya dengan payah. "Lo, yang bunuh papa?" tuding Azel dengan suara yang kian menyerak.

Tak ada sahutan dari laki-laki itu, namun langkah kakinya menebas jarak antara ia dan Azel. Laki-laki itu mengarahkan ujung pisau ke leher Azel. Azel ingin berontak, namun ia sudah tersudut sekarang.

"SIAPA LO SEBENERNYA?!" Azel berteriak lagi dangan suara yang hilang di ujung kalimatnya.

Pikirannya berkecambuk, saraf-saraf di tubuhnya seakan di potong paksa. Ia terjebak di rumahnya sendiri. Dengan ujung pisau di lehernya. Dengan pikiran yang terlalu cemas dengan keadaan Cyra. Dengan pembunuh ayahnya. Dengan kenyataan.

Dengan gerakan pelan, laki-laki itu membuka masker yang menutupi separuh wajahnya dengan tangan lain yang tak memegang pisau.

"Sa... Saepul?!" Azel tersentak hebat. Laki-laki dengan suara familiar itu ternyata temannya sendiri. Tidak. Tidak mungkin! Azel berusaha tak mempercayai dengan apa yang matanya lihat saat ini.

Azel menggeleng tak percaya. "Enggak mungkin!"

Saepul tak memedulikan keterkejutan Azel, malah semakin mendekatkan pisau tersebut sehingga menyentuh kulit leher Azel.

"Pul...." Azel kehilangan kata-kata sekarang.

"Seharusnya lo enggak coba nyari tau tentang teka-teki itu!" Saepul berteriak lantang. 180 derajat berbeda dari Saepul yang Azel kenal.

"Lo seharusnya enggak sejauh ini. Lo nggak boleh nemuin kunci peti itu!"

"Tapi... kenapa?" lirih Azel bertanya. Ia sudah tak berdaya. Karena bila ia sedikit saja bergerak, maka bisa dipastikan ia akan berdarah.

"Gue enggak sudi lo ketemu sama Mama!" Telak itu membuat Azel merasa langit runtuh tepat di atas kepalanya. Di benaknya, Azel mengaitkan potongan-potongan kejadian. Segala perkataan yang Saepul katakan sebelum ini.

"Mama... masih hidup?" Setitik air mata luruh dari mata hijau itu. Azel kalah. Azel sudah kalah.

Pisau itu kini bergerak pelan di leher Azel. Darah segar mengalir jatuh ke lantai marmer putih ruang tengah. Dengan segala harapan yang punah, Azel hanya menginginkan satu hal; Cyra-nya baik-baik saja.

"Satu hal lagi, sebenernya nama gue Raqi. Dan gue benci mama ngasih nama itu karena dia terus inget bokap lo yang sialan itu!"

"Pul... Gue...."

"Selamat bertemu dengan bokap lo, Azel Pradipta Putra!"

_______
A/n:
Di next chap ada yang mau aku sampaikan. Jangan lupa baca:)

AzelWhere stories live. Discover now