11. Bucin!

480 64 4
                                    

Kalo lo bisa jaga diri sendiri, terus gunanya gue apa?
###

Setelah selesai makan siang bersama keluarga Tsabita, Azel memapah Cyra menuju atap rumah gadis itu. Sudah bawaan lahir keras kepalanya gadis itu. Azel bahkan berkali-kali menyuruhnya agar istirahat saja di kamar, namun berkali-kali juga Cyra menolak dan minta Azel untuk membawanya ke tempat mereka sekarang berpijak. Dasar keras kepala!

Tangan sebelah kiri Azel terjulur menarik kursi untuk Cyra, sedangkan mulutnya tak berhenti mengomel. "Cyra, masuk aja gih. Ini masih siang, masih panas banget." Tuh kan, dari tadi kerjaan Azel hanya dua; mengomel dan membuat Cyra pusing.

Dengan dahi mengerut dan raut sebal, gadis itu berdesis seraya menempelkan telunjuk di depan bibir tipisnya. "Ssttt, jangan ngebacot terus Azel! Nanti gue cium baru diem."

Mendengar hal tersebut, cepat-cepat Azel melepaskan lengan Cyra dari rangkulannya, lantas mengambil posisi duduk di hadapan gadis itu. "Dasar mesum!" kata Azel bergidik geli.

Cyra mendengus. Azel memang tak bisa di ajak bercanda di saat-saat seperti ini. "Berjanda doang sih, galak amat masnya."

"Berjanda, berjanda. Berduda aja sekalian." Lah, Azel ini sedang periode menstruasi apa gimana? Galaknya melebihi ibu-ibu komplek lagi tawuran.

"Ck! Lo itu terlalu khawatir. Padahal gue cuma lecet dikit aja." Cyra berdecak sebal, seakan tau penyebab dari sikap Azel yang sensitif.

Azel menatap Cyra lurus-lurus dalam hitungan lima detik, lantas berdecak seraya membuang pandangannya ke arah samping. "Emang salah kalo gue khawatir sama lo?"

"Enggak salah. Cuma, kalo khawatir berlebihan itu yang enggak baik. Lo jadi kepikiran, dan gue merasa jadi bocah." Cyra meraih tangan kanan Azel, memainkan ibu jari Azel dengan ibu jari miliknya. "Gue udah besar Azel, enggak pake popok lagi. Gue bisa jaga diri sendiri." sambung Cyra dengan suara yang melunak.

Azel tertegun. Menyadari waktu berlalu begitu cepat. Lupa kalau gadis cantik di hadapannya bukan lagi bocah ompong yang sering ngompol di celana. Kemudian, dengan gerakan pelan Azel kembali menatap Cyra. Menatap dalam-dalam mata cokelat terang itu.

"Kalo lo bisa jaga diri sendiri, terus gunanya gue apa?"

Tanpa berani menatap mata Azel, Cyra menjawab pelan, "Makanya Azel, jadiin gue pacar dong! Gue capek tau ngode terus."

Azel mendengus geli. Lawakan Cyra saat ini berlebihan menurutnya. "Ngelawak! Mau jadi Sule, lo?"

Cyra menepis tangan Azel. Mengangkat pandangannya sampai kedua mata itu bersibobrok dengan iris hijau yang selalu menenangkan. "Ish!"

"Penting banget emang status gituan buat kita?" Azel bertanya lugu. Sangking lugunya sampai-sampai Cyra ingin menabok kepalanya bolak-balik, kanan-kiri, atas-bawah.

"Berdasarkan film yang gue tonton semalem; friendzone itu enggak enak."

"Lo enggak cocok nonton gituan. Nonton Azab kubur, baru cocok."

"Azel ih!"

Azel tertawa renyah, serenyah remah-remah roti yang baru saja selesai di panggang. "Lagian siapa juga yang friendzone'an?"

"Kita."

"Ngaco."

"Kapan, Zel?"

"Kapan apanya?"

"Lo nembak gue. Kapan?"

Azel berdecak sekali. "Bercandaan lo kelewatan, Ra." Azel memperingati, sedang Cyra menyengir lebar. "Iya, iya, maaf."

Azel bukannya tak peka, hanya saja dia terlalu bingung membedakan; mana yang candaan, mana yang kenyataan. Namun Azel tau satu hal; dengan Cyra, hatinya bisa jatuh dan bangun dalam satu waktu. Dan itu sedikit melelahkan.

"Azel, usap kepala gue." Sepasang manusia itu memang gila. Yang satu terlalu bergantung, yang satu terlalu bucin. Lengkaplah sudah penderitaan ikatan jomlo terhormat.

Tentu saja Azel menuruti permintaan Cyra. Jangan ditanya kenapa, sebab kalian tau sendiri jawabannya.

Cyra tersenyum dengan rona merah jambu di pipinya. "Azel, genggam tangan gue."

"Iya, udah." Dasar bucin tingkat dewa!

"Azel?"

"Hm, apa lagi?"

Tanpa menyahuti Azel, Cyra membuka telapak tangan Azel yang tadi menggenggam tangannya. menepuk dua kali telapak tangan Azel, kemudian mendaratkan sebelah pipinya di sana. Azel tersenyum tipis tatkala hangat menjalar sampai ke rongga-rongga hatinya. Terserah predikat bucin tingkat apapun yang orang gunakan untuk menamainya. Terserah, yang penting Cyra nyaman di dekatnya.

"Azel?" Cyra memanggil nama itu tanpa beranjak dari posisi pipinya yang berpangku pada telapak tangan Azel. Tangan Azel selalu hangat, persis seperti sinar matahari di saat pagi tiba.

"Apa?"

"Lo tadi nanyain guna lo apa, kan?"

"Hm."

"Sampe sini paham?"

Dahi Azel mengkerut. Ia bingung. "Maksudnya?"

Cyra mengehela napas pelan. "Lo itu multifungsi, tau? Lo bisa jadi rumah, bantal, tembok, kasur. Lo bisa jadi tempat pulang gue, bisa jadi tempat favorit gue waktu gue capek, bisa jadi sandaran paling empuk, lo bisa jadi apapun yang gue mau. Tapi anehnya, lo bisa tetep jadi diri sendiri tanpa mengubah apapun supaya gue nyaman. Lo ajaib!"

Azel tertegun dan tertawa geli secara bersamaan. "Lo ngomong seolah-olah gue keajaiban dunia ke-delapan versi On The Copot."

"Copot, copot, lo kira gigi Atok Dalang apa?"

"Nah itu, lo lebih cocok nonton kembar identik itu daripada nonton sinetron friendzone aneh."

"Azel?!"

Azel menghela napas pelan. "Apa lagi?"

"Nyanyi buat gue."

Yaa, namanya juga Azel. Haram hukumnya bila tidak menuruti keinginan Cyra. Maka detik berikutnya, dengan sepenuh hati Azel bernyanyi untuk gadis itu. Dasar bucin!

______
A/n:
Ada yang nungguin Azel up?
See u next chapter, dear!

AzelWhere stories live. Discover now