9. Amanah

474 70 3
                                    

Tak ada yang tau, mungkin saja ada beberapa peran yang siap dimainkan pada detik kesekian. Dihitung saat mata kita saling bersibobrok. Atau mungkin jauh sebelum itu.
###

"Kok lama banget sih, Zak?"

Candra berjabat tangan ala-ala anak gaul dengan laki-laki berseragam yang baru saja berdiri di sampingnya. Dengan gingsul sebelah kanan yang menunjukkan jati diri sebab sang empunya tersenyum lebar, laki-laki itu berujar pelan dengan napas yang masih ngos-ngosan, "Lo tau sendirilah, Bu Ningsih rada bawel soal izin."

"Tapi aman, kan?" Kali ini Candra kembali melemparkan raut cemas, namun untuk hal berbeda.

"Aman terkendali, Bos!"

"Oh iya." Candra kemudian beralih menatap Azel yang mukanya sudah kembali tak berekspresi. "Maaf sekali lagi, tapi gue harus cabut sekarang, ada urusan penting banget."

"Terus temen gue yang luka karna lo tabrak ini, nggak penting?" Azel masih tersulut emosi.

"Azel Pradipta putra...." Nama lengkap. Kalau Cyra sudah memanggil Azel dengan nama lengkapnya, berarti itu adalah sebuah perintah yang harus ditaati untuk kalimat selanjutnya. "Gue nggak mau liat lo yang gini, Zel," kata Cyra seraya menggelengkan kepalanya dengan pelan.

Azel menghela napas lagi. Sudah, menurut saja kalau sudah begini. Azel memang lemah pada permintaan Cyra.

"Deluan aja, Kak. Aku udah nggak apa-apa, kok." Cyra mengangguk yakin dengan cengiran khasnya ke arah Candra.

"Okelah, kalo gitu gue duluan, ya?" Kemudian menepuk pundak Zaki dua kali. "Jagain bentar, Zak, mereka masih tanggung jawab gue," katanya lantas menderap keluar dari ruangan.

Sepeninggal Candra, ruangan tempat Cyra dirawat hening sejenak. Azel diam, Cyra juga, dan Zaki bingung memikirkan bagaimana cara memulai kata.

Zaki berdehem sekali. "Btw, nama gue Zaki, temennya Candra." Zaki memperkenalkan dirinya tanpa menjulurkan jabat tangan, sebab sudah tau kalau Azel akan menolaknya mentah-mentah.

"Hallo Kak Zaki, aku Cyra." Jangan protes! Cyra memang bersemangat kalau soal berkenalan dengan cogan-cogan dan sekumpulan senior kelas dua belas yang jago basket.

"Hallo Cyra, salam kenal," sahut Zaki ramah.

"Lo bisa pulang. Gue bisa jagain Cyra sendiri." Memang dasar Azel! Lagi seru-serunya Cyra berkenalan, malah disuruh pulang si anggota tim basket ganteng kesukaan sahabatnya itu.

"Maaf, gue orangnya amanah, jadi gue bakal terus di sini sampe dokternya ngebolehin Cyra pulang ke rumah." Jangan heran, Zaki memang dikenal dengan pribadi yang amanah dan berprinsip. Itu sebabnya Candra seoalah menjadikan Zaki sebagai tangan kanannya.

"Gue bisa sendiri, dan lo nggak perlu buang-buang tenaga sampe pake dispensasi biar bisa ke sini."

"Gue datang buat temen gue, bukan buat lo," tukas Zaki.

"Temen lo berurusan dengan gue. Dengan kata lain, dia nyuruh lo ke sini buat liatin kondisi orang yang dia tabrak. Gue."

Zaki menghela napas. "Jadi lo maunya apa nih, dude?"

"Cukup nggak liat muka lo lagi di sini."

Zaki mendengus geli. Baru kali ini seorang Zaki Perwira dibuat tak ada harga dirinya, di depan juniornya sendiri lagi.

"Lo kelas berapa, kalo gue boleh tau?" Pertanyaan itu sebenarnya hanya basa-basi semata, sebab selain anggota tim basket, Zaki juga merupakan panitia masa orientasi. Dan Zaki kenal betul siapa Azel. Azel mungkin sudah masuk ke dalam kategori junior terbaik dalam hal membangkang. Maksudnya, siapa sih junior yang bisa menentang dan menolak keras perintah ribet dari seniornya saat pelaksanaan MOS? Azel tidak sepenuhnya salah di sini. Karena bagi Azel, peralatan ribet serta perpeloncoan sama sekali tak akan bisa membentuk karakter baik pada pelajar yang notabene adalah 'remaja tanggung'. Pelajar butuh lebih dari sekedar itu. Pelajar perlu haknya untuk terbebas dari senioritas.

Azel mendecih. "Ini rumah sakit, gue ingetin seandainya lo lupa. Di sini nggak berlaku sistem senioritas lo itu. Dan lagi, mau di sekolah atau di manapun, gue tetep nggak peduli dengan kesenioritasan lo."

"Sorry, nih. Gue bukan penganut sistem senioritas kalo lo mau tau." Zaki menyahut dengan iringan kekehan pelan. Seperti perkataan Azel barusan hanyalah lawakan.

Tak berhenti di situ, Azel kini tertawa garing. Lucu sekali rasanya mendengar pembelaan itu. Azel tak mungkin lupa senior kampret yang menyuruhnya menghitung jumlah kerikil di taman belakang sekolah itu. Untungnya Azel pintar. Berbekal kemampuan bicaranya yang luar biasa dan sangat filosofis, akhirnya bukan Azel yang dihukum, malah seniornya itu yang mendapat teguran keras dari kepala sekolah.

"Yaudah, lo orangnya amanah, kan?"

Zaki mengagguk, namun wajah kesalnya tak juga berubah tenang.

Azel kemudian beralih ke arah Cyra, gadis itu tengah memijat pelan pelipisnya. Pusing sekali mendengarkan perdebatan antara dua laki-laki itu. Azel tersenyum miring, membuat pergerakkan tangan Cyra berhenti lantas menatap mata Azel dengan sorot bingung. "Kita pulang, Ra," bisik Azel dengan mata hijau yang menatap menenangkan.

Cyra mengerjap dua kali. Tak mengerti. Woi, apaan nih? Apa nih??!! Cyra bahkan berteriak dalam hatinya sebab bingung setengah mati. Bukan, bukan karena perkataan Azel, melainkan dengan sorot mata serta senyum miring yang Azel perlihatkan padanya.

Azel kemudian duduk di bibir bangkar dengan posisi membelakangi Cyra. "Gue gendong," ujarnya pelan.

Cyra suka digendong di punggung. Apalagi di punggung Azel. Maka saat Azel menawarkannya, dengan senang hati Cyra mengalungkan lengannya di leher Azel. "Asikkk! Udah lama banget lo ga ngegendong gue!" seru gadis itu kelewat senang.

Sedang di tempatnya berpijak, Zaki seolah dipermainkan oleh kedua juniornya itu. Ini maksudnya apa woi? Gue bukan obat nyamuk, apalagi tunggul!

Azel berdiri dengan Cyra yang sudah menyengir lebar di balik punggungnya. Dengan gerakan cepat Azel merampas ransel Cyra di atas bangkar kemudian mengaitkan talinya di lengan sehingga ransel Cyra terlihat seperti monyet kecil yang sedang digendong oleh ibunya.

Zaki masih terdiam di tempatnya. Mencerna baik-baik keadaan dan situasi yang menempatkannya.

"Lo amanah, kan?" Azel mengulangi pertanyaanya dengan sebelah alis yang terangkat. Wajahnya seakan menantang Zaki. "Lo mau nunggu sampe dokternya datang, kan?" Azel mengangguk sekali. "Gue mau cabut, ada urusan penting banget," kata Azel lagi seakan mengulangi perkataan Candra sebelum meninggalkan ruangan beberapa menit yang lalu.

Kemudian, tanpa disangka Cyra menepuk dua kali bahu Zaki, persis seperti perlakuan Candra sebelumnya. Cyra tak bermaksud mengerjai seniornya itu, ia hanya mengikuti cara main Azel.

"Selamat mengemban amanah, Senior!" Azel berujar mantap seakan sedang meyakinkan Zaki. Lantas menderap keluar ruangan, meninggalkan Zaki yang dibuat bodoh sendiri.

Di tempatnya, Zaki mengumpat kesal.

"Sial!"

_____

A/n:
Nahhh. Triple up kan wkwk.
Maap kalo kurang ngefeel gaiss:)
Aku cuma mau bilang; makasih udah baca Azel sampe sejauh ini.

Di Bumi yang bertambah tua, 11 September 2019.
Dengan cinta,

slsrnda

AzelWhere stories live. Discover now