11 | Pemakaman

383 57 4
                                    

Happy reading

***

Jantung yang berdetak kencang dengan diiringi suara tangisan masih mendominasi diri Vanka, pikirannya kini melayang karena rasa takut kehilangan salah satu orang yang selalu membantu hidupnya.

Saat ini Vanka, Qiana, dan Kevlar sedang menunggu kabar dari dokter. Sudah hampir satu jam pintu ruangan itu tidak terbuka. Mereka hanya bisa memanjatkan doa agar Bi Ina terselamatkan.

Tidak lama kemudian pintu ruangan pun  terbuka, sontak ke tiga manusia itu langsung menyerang dokter dengan berbagai pertanyaan.

“Gimana? Bi Ina baik-baik aja, kan?” tanya Vanka panik.

“Dokter pasti bisa sembuhkan Bi Ina, saya yakin itu,” sahut Qiana.

Dokter dengan nama Ryan itu hanya mampu terdiam, serta raut wajah yang menunjukkan sebuah kesedihan besar. Di balik itu semua terdapat satu berita yang siap menghancurkan hati siapa pun.

“Please, Dok. Saya nggak mau dengar jawaban kalau Tuhan berkehendak lain,” ucap Vanka.

Dokter Ryan menarik napas, lalu mengembuskannya. “Saya juga tidak  mau bilang itu, tapi tidak ada jawaban lain.”

“Sudah saya tebak kalau Tuhan emang nggak pernah sayang sama saya,” ucap Vanka yang kembali menangis.

🌱🌱🌱


Hari ini adalah hari pemakaman Bi Ina, semua orang sudah berkumpul di TPU yang jaraknya cukup jauh dari rumah Vanka. Selama di sana Qiana terus memeluk sahabatnya, memberikan kalimat-kalimat penenang meskipun ia tahu itu sama sekali tidak didengar oleh Vanka.

“Bibi kenapa ninggalin Vanka? Mama sama Papa sibuk sendiri, terus yang urus Vanka siapa kalau bukan Bibi.” Gadis berkursi roda itu terus menangis di atas makam Bi Ina, ia benar-benar tidak mau kehilangan wanita paru baya itu. Bahkan, sampai sekarang orang tuanya juga belum pulang ke rumah. Vanka sudah berusaha menghubungi mereka, tapi tidak ada satu pun yang aktif.

Beberapa menit kemudian pemakaman pun selesai, beberapa orang sudah beranjak pergi dari tempat tersebut. Tinggallah Vanka, Qiana, Kevlar, dan sahabat lainnya.

Sebenernya Bi Ina mempunyai keluarga di kampung, tapi dari cerita yang Vanka pernah dengar kalau Bi Ina tidak pernah dianggap keluarga oleh mereka. Wanita paru baya itu sengaja pergi ke kota untuk menjalankan hidupnya, Bi Ina sempat menikah tapi tidak lama ia bercerai. Dan, sampai sekarang dia tidak mempunyai anak.

“Kita pulang ya, Van,” ucap Qiana pelan.

Vanka hanya menunjukkan sebuah gelengan, dan hal itu membuat Qiana menghela napas berat.

“Lo juga butuh istirahat, Van" sahut Bayu.

“Gue masih mau di sini, kasian Bi Ina sendirian,” jawab Vanka.

“Bi Ina baik-baik aja di sana, sekarang kita pulang. Kamu juga harus istirahat, pasti capek nangis terus,” ucap Kevlar.

“Tapi ....”

“Ayo!”

Dengan berat hati Vanka menganggukkan kepala, lalu mengusap batu nisan itu lembut. “Vanka pulang dulu ya, nanti main lagi ke sini. Jangan lupain Vanka, gadis cacat ini bakal selalu rindu sama masakan Bibi, suara Bibi, dan semuanya.”

🌱🌱🌱


Setelah selesai pemakaman, mereka kembali ke rumah Vanka. Sedari tadi gadis itu hanya diam tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sesampainya di rumah Vanka langsung menuju ke taman belakang.

“Kev, gue mau ke Vanka dulu, ya,” ucap Qiana pada Kevlar.

Kevlar mengangguk pelan, setelah itu Qiana beranjak pergi mengikuti ke mana arah Vanka. Terlihat dari jarak yang tidak cukup jauh gadis berkursi roda itu duduk diam dengan raut wajah sedih.

“Van?” panggil Qiana.

“Gue pengin sendiri, Na,” jawab Vanka pelan.

Qiana menggigit bibir bawahnya bingung, tujuan ia datang untuk menghibur Vanka. Tapi, mungkin gadis itu butuh waktu untuk sendiri.

“Ya udah gue tinggal, ya. Kalau butuh apa pun, bilang aja.” Perlahan kaki Qiana mulai berjalan menjauhi tempat tersebut, meninggalkan gadis malang itu sendirian.

‘Non Vanka kenapa? Kok kelihatan senang?’ tanya Bi Ina menatap Vanka lembut.

‘Vanka habis jadian sama Kevlar, Bi!’ sahut Vanka begitu semangat.

‘Aduh, selamat. Bibi senang dengarnya, dan sebagai hadiah Bibi mau buatin Non Vanka pudding cokelat special.’

‘Beneran? Yeay, terima kasih.’

Percakapan itu tiba-tiba saja terlintas di pikiran Vanka, ia tersenyum kecil mengingat betapa baiknya Bi Ina selama ini. Bahkan, perhatian yang diberikan wanita paru baya itu lebih besar dari perhatian kedua orang tuanya.

Kini, gadis itu semakin mengerti bahwa satu persatu akan pergi meninggalkan. Semakin lama ia juga merasa hidup seakan-akan menjahatinya.

“Punya keluarga lengkap, tapi nggak pernah ngerasain kebersamaan. Kalau diingat, udah 1 tahun gue nggak pernah liburan bareng keluarga.”

“Yang satu sibuk kerja, yang satu sibuk liburan bareng teman. Mereka seakan lupa, kalau mereka punya anak yang harus diberi perhatian.”

Vanka menghela napas, lalu menatap langit sore dengan tersenyum miris. “Aku pengin kebahagian Tuhan.”




BERSAMBUNG....

Vanka [OPEN PRE-ORDER]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum