13 | Orang Ketiga (?)

357 42 0
                                    

Happy reading

***

Pagi ini sama seperti pagi sebelumnya. Tidak ada senyum, tawa, dan canda seorang Vanka. Gadis berkursi roda itu memilih diam menanggung semua beban akibat pertengkaran orang tuanya.

Vanka memutar-mutar pulpen dengan pandangan kosong, yang biasanya gadis itu mendengarkan penjelasan guru, tapi kini tidak. Ia terlalu sibuk memikirkan permasalahan keluarga yang sedang terjadi.

Beberapa menit kemudian bel istirahat pun berbunyi, sebagian murid sudah beranjak keluar kelas. Sedangkan, sebagian lagi memilih duduk di kursinya sembari mendengarkan musik, ataupun tidur.

"Van, mau makan nggak?" tanya Qiana.

Tidak menjawab, Vanka hanya menunjukkan sebuah gelengan kepala yang menandakan ia tidak mau. Qiana juga sudah bingung dengan sikap Vanka yang lebih diam dari biasanya.

"Gue makin nggak ngerti kalau gini, cerita dong sama gue," ucap Qiana.

Tanpa disadari air mata Vanka jatuh tiba-tiba, hingga semakin lama isak tangis itu semakin kuat. Qiana membelalak kaget, ia dengan spontan langsung memeluk Vanka memberikan gadis itu ketenangan.

"Malah nangis, gue ikut nangis ntar."

"Kenapa takdir baik nggak pernah berpihak sama gue?" tanya Vanka.

Mendengar pertanyaan itu Qiana hanya mampu terdiam, ia mencoba menyimak ucapan selanjutnya.

"Pengin bilang kalau hidup ini nggak adil, tapi gue tau Allah pasti punya rencana di balik ini semua."

Qiana tersenyum kecil, lalu mempererat pelukan itu pada tubuh Vanka. Ia tidak tahu apa yang saat ini terjadi pada sahabatnya, yang ia tahu Vanka adalah salah satu orang kuat. Qiana bakal selalu ada buat Vanka, ia akan memberikan segala support untuk membangkitkan semangat Vanka.

"Lo cukup berusaha, berdoa, dan tersenyum. Gue nggak terlalu paham sama masalah lo, jujur ini pertama kali gue liat lo sedih banget kayak gini. Tapi, gue akan selalu dukung lo."

"Terima kasih sudah menjadi kaki, sekaligus tempat keluh-kesah gue," ucap Vanka tersenyum kecil.

🌱🌱🌱

Bayu duduk di kursi taman dengan pandangan lurus ke depan, saat ini ia sedang menunggu kedatangan Qiana, tapi sudah hampir 15 menit gadis itu tak kunjung datang. "Mana sih si Juleha, baca novel pasti nih ngeselin amat emang," cetus Bayu kesal.

Pria itu bangkit dari duduknya, berjalan mondar-mandir dengan ponsel yang terus digenggam. "Huft! Cowok tampan nggak boleh ngomel-ngomel."

Tidak lama ketika bel masuk berbunyi saat itu juga Qiana datang dengan wajah tersenyum polos, melihat hal itu Bayu seakan-akan ingin mencakar wajah Qiana.

"Hai, Bayu," sapa Qiana.

Bukannya menjawab Bayu hanya diam melipat kedua tangan di depan dada. Benar-benar membuang waktu, 30 menit jam istirahat hanya dihabiskan dengan duduk diam menunggu Qiana di bangku taman sekolah.

"Ngomong sana lo sama bangku," ucap Bayu.

"He-he, nggak boleh gitu ah. Gue itu tadi temeni Vanka di kelas, dia lagi sedih gue sebagai sahabat nggak boleh ninggalin dia."

"Tapi kan bisa bilang dulu, lo mah gue nggak jadi ke kantin karena hal ini."

Melihat Bayu kesal, Qiana langsung menggenggam tangan pria itu sembari mengerucutkan bibir. Tidak tahu kenapa sejak Bayu memberikan segala motivasi untuk move on, saat itu juga ia merasa nyaman.

"Bayu, maaf ya. Jangan marah dong, ntar yang bantu gue siapa?" ucap Qiana.

"Nggak tega gue liat lo begitu."

"Iya dong gue terlalu imut banget emang, ya udah nanti aja kita ngobrolnya waktu pulang sekolah. Gimana?" tanya Qiana.

Pria di hadapannya hanya menunjukkan sebuah anggukan kecil.

🌱🌱🌱

"Makasih," ucap Vanka pada Kevlar.

Pria tampan itu tersenyum lebar, mengangkat tangannya untuk mengelus rambut panjang Vanka. "Setelah ini istirahat, jangan nangis lagi."

"Siap, Pacar," jawab Vanka.

"Aku pamit pulang ya, bye!" Kevlar kembali masuk ke dalam mobil, tidak lama kemudian pria itu sudah pergi meninggalkan pekarangan rumah.

"Non Vanka."

"Bi, dari mana?" tanya Vanka kepada Bi Ira yang baru saja datang.

"Dari minimarket depan, ayo masuk."

Vanka tersenyum lebar, lalu mengangguk. Ketika sampai di dalam ia melihat sang Mama yang duduk menonton sebuah film, kening Vanka mengerut heran biasanya jam segini wanita itu berada di butik, tapi kenapa kini di rumah.

"Mama."

Wanita yang masih terlihat cantik itu membalikkan badan menatap putrinya sembari tersenyum manis. "Udah pulang."

"Nggak ke butik, Ma?" tanya Vanka.

"Udah tadi. Kamu makan sana, habis itu istirahat, ya."

Anggukan kecil membuat percakapan singkat itu berakhir, Vanka menggerakkan kursinya masuk ke dalam lift yang memang tersedia khusus. Sesampainya di kamar ia langsung mandi, setelah selesai ia merebahkan dirinya ke kasur.

Gadis itu tiba-tiba saja merasakan rindu dengan keadaan keluarga yang harmonis, sebenarnya ia masih terlalu bingung dengan semua kejadian ini. Sikap sang Mama sangat manis kepadanya, tapi ketika bersama Papanya langsung berubah.

Beberapa menit kemudian terdengar suara mobil yang masuk ke dalam pekarangan rumah, Vanka terbangun seketika ia sangat yakin jika itu mobil Papanya, tapi kenapa pulang di siang hari? Pertanyaan demi pertanyaan berhasil memenuhi otak Vanka.

"DASAR WANITA NGGAK TAU DIRI!"

Bentakkan keras itu mengagetkan Vanka, jantungnya kini berdetak kencang dengan diselimuti rasa takut. Ia berusaha untuk mendudukkan diri di kursi roda, lalu keluar dari kamar demi melihat keributan itu.

"MAKSUD KAMU APA? TIBA-TIBA PULANG MARAH-MARAH."

"Saya sudah tau semuanya, kamu selingkuh di belakang saya, tidak perlu berpura-pura lagi."

Kania bungkam seketika, lidahnya terasa kaku untuk berkata. Ia mendongakkan kepala menatap sang putri yang melihat semua kejadian ini. Air mata itu turun dari mata Vanka, dan jelas Kania merasakan nyeri di hati.

"Jawab? Kenapa diam, kamu tau kan? Saya kerja untuk kamu, untuk Vanka. Tapi, ini balasannya buat saya?"

"Ya, saya punya hubungan dengan pria lain itu semua karena kamu terlalu sibuk kerja dan nggak pernah ada waktu buat keluarga!" balas Kania.

Tubuh Vanka seakan-akan tertampar kenyataan pahit, bahwa Mamanya memiliki hubungan dengan pria lain. Ternyata ini penyebab perubahan sang Mama, semua sangat mengecewakan. Ia tahu kesalahan Papanya yang terlalu sibuk bekerja, tapi tidak harus begini.

"Rio pilihan kamu? Kamu ngerti nggak kalau Rio itu papa Qiana, sahabat anak kamu."

Vanka semakin terkejut mendengar pernyataan tersebut, di luar dugaan jika Mamanya berselingkuh dengan Papa Qiana. Rasa sesak semakin menyelimuti seluruh tubuh Vanka, air mata itu terus mengalir. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana kelanjutan keluarganya.

"Vanka terlalu kecewa, terutama sama Mama," ucap Vanka dengan suara yang menggema sampai di lantai satu, setalah mengatakan hal tersebut ia beranjak pergi untuk kembali ke kamar.




BERSAMBUNG ....

Vanka [OPEN PRE-ORDER]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ