19 | Terbongkar

393 43 3
                                    

Happy reading

***

Sinar matahari pagi masuk ke dalam kamar Vanka melalui celah-celah jendela. Gadis itu membuka matanya dengan malas, meraih ponsel yang berada di samping tempat tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 waktu Indonesia bagian barat. Ia berusaha bangun dari tidurnya, tapi tiba-tiba saja ia merasakan pusing yang mungkin akibat tidur terlalu larut dalam.

“10 panggilan?” Vanka menyerit bingung  menatap layar ponsel yang tertera nama Qiana, gadis itu 10 kali menghubungi tapi ia sama sekali tidak mendengar.

Dengan cepat Vanka kembali menghubungi nomor Qiana, tidak lama kemudian terdengar sahutan seseorang.

“Hallo,” ucap Vanka

‘Selamat pagi, maaf saya dari rumah sakit ingin mengabarkan kalau Qiana Clarinta mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dirawat.’

“S—serius?” tanya Vanka tidak percaya.

‘Iya, Anda bisa langsung datang ke rumah sakit Mitra Utama untuk mengecek keadaannya.’

Vanka masih tidak menyangka, ternyata ini yang membuat perasaannya tidak enak sejak tadi malam. Tidak ingin membuang-buang waktu ia hanya mengucapkan kata 'iya' setelah itu menutup sambungan teleponnya.

Ketika ingin beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba saja ia teringat bahwa Qiana adalah anak dari perusak keluarganya. Niat untuk mengunjungi Qiana seakan langsung tertutup, ia diam dengan pandangan kosong.

“Tidak perlu peduli sama dia, Van.”

Entah pikiran dari mana hingga Vanka benar-benar enggan untuk peduli sedikit pun kepada Qiana. Padahal, saat ini sahabatnya itu sangat membutuhkan dukungan. Seharusnya ia tahu, betapa besar perjuangan Qiana selama ini. Dimulai dari pengorbanan perasaan, rela menyakiti diri sendiri demi kebahagiaan seorang sahabat.

Qiana tidak pernah memperhitungkan segala sesuatu yang sudah ia perbuat, jika itu adalah kebahagiaan seorang Jovanka maka dia siap melakukan apa pun.

Lagi-lagi Tuhan kembali menguji hubungan persahabatan mereka, dan lagi-lagi salah satu dari mereka harus mengalah. Dan, siapa lagi jika bukan Qiana. Tidak tahu sampai kapan semua ini menjadi rahasia tersendiri, mungkin cepat atau lambat Vanka akan mengerti.

Tok-tok-tok!

“Masuk!”

Pintu kamar pun terbuka, masuklah Kevlar dengan senyuman kecil di wajah pria itu. Vanka menghela napas, jujur saja ia lagi tidak mau bertemu dengan siapa-siapa. Tapi, bagaimana lagi sudah telanjur menyuruh masuk.

“Selamat ulang tahun,” ucap Kevlar sembari memberikan sebuah paper bag kepada Vanka.

Vanka mengangguk kecil, menerima benda tersebut lalu meletakkan di sebelahnya tanpa sepatah kata pun. Hingga Kevlar yang harus memulai percakapan.

“Udah tau tentang Qiana?” tanya Kevlar.

“Udah.”

“Nggak mau liat keadaannya?”

“Nggak.”

Jawaban satu kata itu berhasil membuat Kevlar tersenyum simpul. Ia mengangkat tangannya mengelus rambut panjang Vanka dengan lembut. Terlalu bingung jika sifat gadisnya seperti ini, tapi ia harus melakukan sesuatu agar hubungan persahabatan Vanka dan Qiana kembali seperti dulu.

“Kamu benci dia karena dia anak dari orang yang udah menghancurkan keluarga kamu? Sekarang dengar baik-baik, Qiana sama sekali nggak tau tentang hal itu. Dia juga sedih liat perubahan sikap kamu yang jadi dingin kayak gini. Kamu sadar nggak sih kalau kamu itu egois, terlalu memikirkan perasaan sendiri.” Setiap kata yang dilontarkan oleh Kevlar berhasil mencubit hati Vanka, kini gadis itu menundukkan kepala dengan bibir yang digigit karena merasa bingung.

“Kalian nggak akan paham bagaimana menjadi anak yang merasakan kehilangan sosok mama, karena adanya orang ketiga,” jawab Vanka. Mata itu sudah mulai berkaca-kaca, mungkin sebentar lagi air mata akan terjatuh.

“Dan, ya gue akui sifat egois gue. Tapi, pernah nggak sih sekali aja biarin gue dengan pilihan gue sendiri. Kalau Lo semua udah tau sifat buruk gue kenapa nggak menjauh? Buat apa masih bertahan di sini?” Benar saja sekarang Vanka sudah menangis tersedu-sedu. Kenapa semua orang selalu membela Qiana? Kenapa semua orang nggak biarin dia dengan pilihannya.

“Tau kok kalau Qiana yang paling berperan penting di sini, dia yang selalu kasih support ke gue, selalu menjadi kaki gue. Gue tau kok semuanya, gue sadar diri!”

Kevlar hanya bungkam tidak tahu harus bagaimana lagi, melihat tangisan Vanka ia ikut merasakan kepedihan gadis itu. Mungkin, jika ia berada posisi Vanka ia akan melakukan hal yang sama. Namun, mengingat kebaikan Qiana ia harus mulai memilih.

Sampai beberapa menit hanya keheningan yang menyelimuti mereka, Kevlar pun beranjak pergi karena mendapat sebuah telepon dari sang mama.

Mata Vanka fokus kepada paper bag yang diberikan oleh kekasihnya itu. Ia mulai membuka, kemudian terlihatlah sebuah kota kecil dan buku diary. Ia memiringkan kepala memperhatikan buku yang sangat ia kenali. “Punya Qiana.”

Satu persatu lembaran buku itu pun dibuka, membaca kata-kata yang ditulis oleh Qiana dengan begitu rapi. Hingga pandangan ia berhenti pada salah satu quotes.

'Tuhan, ini pertama kalinya aku jatuh cinta, tapi kenapa semua benar-benar sulit. Kenapa aku harus bersaing dengan sahabatku sendiri? Kenapa engkau ciptakan semua takdir ini?'

Vanka menggelengkan kepala tidak percaya, tidak mungkin selama ini Qiana juga menyukai Kevlar. Sifat sahabatnya itu tidak menunjukkan apa pun, bahkan ia selalu mendukung dirinya untuk bersatu dengan Kevlar. Tapi, jika memang benar Vanka merasa sangat menyesal. Sebegitu bodoh sampai ia tidak pernah sadar dengan ini semua, Qiana sangat baik, rela berkorban demi kebahagiaannya.

“Maafin gue, Na. Gue nggak pantes bersahabat sama orang baik kayak lo,” ucap Vanka.



BERSAMBUNG....

Vanka [OPEN PRE-ORDER]Where stories live. Discover now