12 | Bertengkar

350 43 4
                                    

Happy reading

***

Vanka menatap langit-langit kamarnya dengan sendu, sudah beberapa hari ini semenjak kepergian Bi Ina rumah menjadi sepi. Ia merasa kehilangan sosok tempat berbaginya, ditambah lagi entah permasalahan apa yang datang di keluarganya. Huft! Semua terasa begitu menyiksa.

Biasanya di keadaan hujan seperti ini Vanka akan meminta Bi Ina membuatkan sebuah susu cokelat, ataupun puding cokelat. Tapi kini sudah tidak bisa lagi, ingin rasanya ia kembali menangis mengingat semua kejadian beberapa hari yang lalu.

“BUKAN SALAH MAMA, ITU SALAH PAPA KARENA SIBUK KERJA NGGAK PEDULI SAMA KELUARGA!”

Suara bentakan yang terdengar secara tiba-tiba sontak membuat Vanka terduduk. Itu seperti suara sang Mama, ia sangat yakin pasti orang tuanya kembali bertengkar.

“PAPA KERJA BUAT KITA!”

“TAPI YANG KAMI BUTUHKAN JUGA WAKTU KEBERSAMAAN.”

Mendengar sentakkan yang semakin lama semakin kuat, Vanka pun mulai menangis. Keluarga yang dulu damai, kini sudah mulai hancur. Memang benar, ia dilahirkan tidak seberuntung Qiana atau siapa pun itu.

Ini sudah dua kali ia mendengar pertengkaran di antar kedua orang tuanya. Ingin sekali bertanya, tapi rasa takut menyelimuti gadis itu.

“Gue harus apa?” tanya Vanka.

Kemarin gadis itu sempat melihat sang Mama berteleponan dengan pria lain, tapi ia tidak mau berpikiran buruk. Namun, semakin ke sini perubahan sikap Mamanya semakin terlihat.

Drt-drt-drt!

Suara ponsel yang berbunyi mengalihkan pandangan Vanka, ia melihat siapa yang sudah menelpon di tengah malam seperti ini.

‘Van?’

Gadis itu tersenyum kecil mendengar suara panggilan dari Qiana. “Iya.”

‘Lo kok belum tidur?’

“Gapapa, lo sendiri kenapa?”

‘Gue khawatir sama keadaan lo, makanya gue telepon.’

Lagi-lagi ucapan Qiana dianggap sebagai penenang yang mampu membuat Vanka ikut tersenyum. “Gue mau cerita, tapi gue nggak mau melibatkan diri lo terlalu jauh.”

‘Mau cerita apa? Gue siap kok dengarnya.’

Vanka terdiam sejenak, ia tahu bahwa Qiana bisa menjaga semua rahasia tentang keluarganya. Gadis berambut sepunggung itu pasti bisa mencari solusi, tapi lagi-lagi ini adalah permasalahan keluarga yang tidak seharusnya diketahui banyak orang, meskipun sahabat sendiri.

"Nggak usah gue malah nambah beban lo, jadi gue mau belajar menyelesaikan masalah sendiri.”

Dari tempat berbeda Qiana menyerit bingung mendengar jawaban tersebut, tidak biasanya Vanka seperti ini. Gadis itu selalu bercerita tentang masalah apa pun, tapi kini tidak. Qiana mengerucutkan bibir, sekarang ia paham bahwa semenjak kepergian Bi Ina sahabatnya itu menjadi tidak bersemangat.

Qiana berusaha mencari ide untuk mencairkan suasana yang terasa hening, merasa bingung dengan percakapan selanjutnya pada akhirnya Qiana memutuskan sambungan telepon
dengan alasan ingin tidur.

“Udah malam, gue mau tidur dulu. Lo juga tidur, ya,” ucap Qiana.

‘Iya, makasih udah temani gue.’

“Gue selalu siap buat jadi tempat berbagi lo, jangan ragu buat cerita sama gue.”

🌱🌱🌱

Suasana pagi hari yang dingin terasa menusuk ke dalam kulit Qiana, gadis itu memasukkan tangannya ke dalam saku jaket, dan terus melangkah menuju kelas. Qiana memutuskan datang lebih cepat karena ingin belajar untuk ulangan nanti, menurutnya belajar di kelas adalah jalan yang paling terbaik

Jam masih menunjukkan pukul 06.30 WIB, dan ini adalah rekor bagi seorang Qiana. Sesampainya di kelas gadis itu meliarkan pandangan melihat keadaan yang begitu sepi.

“Hebat banget gue, mungkin kutu buku juga bakal kalah sama gue,” ucap Qiana berdecak kagum.

“Tumben cepat.”

Suara yang berasal dari pintu berhasil mengalihkan pandangan Qiana, ia menatap siapa pemilik suara tersebut dengan begitu sengit. “Kalau gue punya penyakit jantung, terus mati di sini gimana?”

Bima menghela napas, berjalan masuk mendekati gadis itu dengan gayanya yang menurut Qiana sangat menjijikkan.

“Gaya lo dikurangi dikit,” protes Qiana.

“Gaya lo dikurangi dikit,” cibir Bima.

Melihat tingkah menjengkelkan pria itu tanpa basa-basi lagi Qiana melayangkan sebuah pukulan kuat tepat di punggung Bima.

“Mampus, ngapain sih lo di sini? Cabut sono,” usir Qiana.

Bima mengedikkan bahunya tak acuh, lalu menduduki sebuah meja di sana. Dengan penuh kesabaran Qiana hanya menunjukkan senyuman kecil. “Mau ngapain, Bima?”

“Mau gangguin lo,” jawab Bima sembari tersenyum tanpa dosa.

“Nggak ada kerjaan lain? Gue mau belajar, jadi jangan DIGANGGU.”

“Belajar euy ha-ha, mana novel lo? Biasanya selalu novel yang dibaca, bucin-bucin,” sahut Bima mengejek.

Malas menanggapi ucapan yang tidak bermutu itu Qiana memilih diam, dan mulai membuka buku pelajaran. Hingga akhirnya satu persatu lembaran buku pun sudah ia lewati, tapi pria sialan itu masih tetap setia duduk di sana dengan sesekali mengganggunya.

“Lo datang cepat cuma untuk belajar?” tanya Bima.

“Hm.”

“Ternyata alasan gue datang cepat belum pernah dimiliki banyak orang.”

Mendengar ucapan itu Qiana mendadak berhenti membaca, beralih menatap Bima dengan beribu tanda tanya. “Maksudnya?”

“Lo nggak tau, kan? Kalau gue datang cepat cuma buat parkir gratis.”

Pernyataan bodoh, itulah yang ada di pikiran Qiana saat ini. Ia tahu soal parkir gratis yang diadakan setiap hari untuk murid-murid yang datang cepat, tapi tidak seperti ini juga. Huft! Rasanya ia ingin sekali membenturkan kepala Bima.

“Nggak ngerti gue sama jalan pikiran lo, parkir cuma 5 ribu woy, pelit amat sih.”

“Nggak masalah yang penting gratis, 5 ribu bisa buat beli permen, beli aqua botol, terus ....”

“Terus emang dasarnya lo nggak modal,” cetus Qiana yang sudah tidak mengerti lagi.

“Bodo ah.”







BERSAMBUNG....

Vanka [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang