🌜52. Penyerahan Diri.🌛

38.4K 2.7K 486
                                    

Jika kamu kira hidupmu sudah sempurna, tolong jangan sebut itu hidup

-Ladisya-

¶¶¶

Semakin banyak pengalaman, semakin banyak jalan yang ditempuh, semakin banyak pula hal baru yang diperoleh. Terlebih lagi jika menyangkut perasaan.

Kala tampang tak lagi jadi ukuran, ataupun sebanyak buih lautan rayuan, melainkan hanya mengikuti kata hati bahwa cukup dirinya yang menjadi pelengkap.

Percayalah akan satu hal, cinta yang sesungguhnya adalah saat kamu tidak memiliki alasan kenapa kamu menginginkan dirinya.

Pukul dua pagi dan dua anak manusia di dalam tenda tak menunjukkan tanda-tanda akan segera tidur. Dan sejak kapan IPad warna abu itu berubah menjadi tv.

Film horor pun menjadi pilihan. Bukan sensasi mendebarkan yang ditunggu, terlebih oleh Algi, melainkan---

"HWAAA!! MUKANYA ANCUR!"

---saat Disya ketakutan lalu memeluknya erat, bersembunyi di balik punggung lebarnya. Algi tertawa keras. Sudah tabiat seorang wanita mungkin, sudah tahu takut masih saja bersikeras. "Astaga Sya, lehernya digorok!"

"Matiin pliss, pliss, plisss!" Disya setia menutup mata, sementara Algi cekikikan.

Tiba ketika suara di dalam layar makin nyaring, Disya berteriak ketakutan memancing tawa Algi. "Udah, udah, aku matiin tab-nya dulu."

Sekarang si pirang menutup wajahnya dengan tangan. "Udah dimatiin?"

Algi diam. Sedikitpun tak ada suara. Memberanikan untuk menurunkan tangannya, Disya mengintip pelan-pelan. "HANTUUUU!!"

"Eh, eh, eh, ini aku, Sya." Algi membersihkan dua sudut bibirnya yang terdapat noda berwarna merah. Meraih dua pergelangan Disya sambil tertawa. "Ini aku."

Disya diam, melotot seperti matanya akan keluar dari tempat. "Ini gak lucu, Al!"

"Aw!" Algi memekik merasakan cubitan di perutnya. "Aku pikir kamu gak takut hantu."

Melirik Algi sambil cemberut, Disya memicing. "Aku cewek, wajar dong!"

"Iya iya, maaf. Lagian jam segini disuruh tidur malah pengen nonton film horor. Sekarang, tidur." Algi mendorong kecil Disya untuk berbaring, namun gadis itu menahan.

"Belum ngantuk. Bentar lagi." ujarnya. Tangannya beralih membersihkan bekas warna merah di kedua sudut bibir sang pacar. "Lagian kamu dapet pewarna ini dari mana?"

Algi menunjukan dengan dagunya ke arah tas milik Disya. "Di sana, lipstik kamu."

Keduanya sama-sama diam. Bukan karena kehabisan topik pembicaraan, tapi lebih kepada menikmati suasana malam. "Al,"

"Hm?"

"Boleh nanya?"

Disya tidak menatapnya seperti biasa. Memandang lurus ke depan, mengira bahwa mungkin pikiran gadisnya sedang berkelana. "Nanya apa?"

Terkesiap ketika Algi menggenggam kedua tangannya. "Kenapa kamu milih bertahan sama cewek bermasalah kek aku?"

"Takdir," jawabnya spontan.

Disya menghembuskan napas payah. "Alasan?"

Algi menggeleng. "Gak ada."

Melepaskan genggaman Algi, Disya semakin tak tahu caranya berpikir. Gadis itu diam mengingat semua kejadian buruk dalam hidupnya.

"Sya,"

"Gak usah dijawab. Aku gak maksa." Lantas keluar dari dalam tenda. Ombak menyapu pinggir pantai. Semilir angin malam menyapa kulit putihnya.

Warm In The Arms ✔Where stories live. Discover now