🌜64. Badai Terbesar.🌛

29.3K 3K 1.6K
                                    

Segala bentuk keterpaksaan adalah siksaan untuk diri sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Segala bentuk keterpaksaan adalah siksaan untuk diri sendiri. Dan sekarang, aku dengan terpaksa melepaskan kamu.

-Ladisya-

¶¶¶

Tidak semua usaha berakhir dengan hasil memuaskan, sebab nasib baik tak selalu datang pada yang berjuang sekalipun. Juga, kalimat gagal adalah kata lain agar kamu lebih kuat dari sebelumnya.

Gayung tak selalu bersambut. Rasa tak selalu berbalas. Sekalipun seseorang tersenyum padamu, hatinya belum tentu ia berikan.

Hidup hanyalah tentang bagaimana kamu mampu mengendalikan hati juga dirimu.

Adalah mereka, Disya dan Algi yang selalu meyakini bahwasanya mereka berdua pasti bisa melawan badai yang menerpa. Yang bisa saja membuat keduanya terpisah.

Sekian banyak rintangan yang dihadapi. Hingga hari kemarin kedua insan itu yakin jika mereka dapat bertahan lagi dan lagi.

Apakah artinya mereka mendahului Tuhan? Lalu, apa makna sebuah doa dan harapan?

Posisi Algi masih membelakangi Disya, menahan kepalan tangannya yang bergetar. Algi berbalik membiarkan air mata itu terlihat oleh gadisnya-- ralat, mantannya.

Sementara Disya berharap matanya tidak sampai banjir atau bahkan berkaca-kaca. Disya mengembalikan image si ratu bully pada dirinya kali ini.

"Ini keputusan kamu. Kamu yang menginginkan ini. Kamu, Ladisya Isabelle." Algi maju menatap wajah Disya lebih dekat.

"Apa?" tanya Disya ketus ketika Algi begitu dekat dengannya.

"Satu hal yang belum aku katakan ke kamu selama ini." ujar Algi pelan. Seakan ada panah menancap di dadanya.

Disya diam menunggu apa yang siap Algi sampaikan. Tanpa diminta, Zendro maju sok gagah. "Udahlah bro, lo gak usah drama."

"Gue gak ngomong sama, lo. Abis ini terserah lo mau ngapain sama dia." nada bicara Algi juga kalimatnya mampu menyumbat seluruh ruang pernapasan Disya.

Kembali fokus pada Disya, Algi terus menenangkan diri. "Denger ... Apa yang udah gue lepasin, gak akan pernah gue cari lagi."

Tatapan Disya yang tadinya mengabaikan Algi, kini menatap tajam. Pandangan yang begitu sulit diartikan. "Selamat malam, Disya."

Kini Algi benar-benar berbalik dan berjalan keluar. Punggung tegapnya melewati pintu hingga tak terlihat. Tepat ketika punggung itu hilang di balik pintu, Disya terduduk di lantai. Tetesan air matanya tak terhitung.

Derasnya bulir bening itu kian meluruh mendengar mesin motor Algi terdengar, ditambah derai hujan di luar sana.

Sekarang, tepuk tangan bergemuruh di ruang tamu. Lilin-lilin perlahan meleleh tidak tersisa. "I love your acting, dear!"

Warm In The Arms ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang