Chapter 5 (Hostage)

43.9K 2.3K 34
                                    

Setelah beberapa hari aku tinggal di komplek sepi ini, aku bisa dibilang selamat. Aku dapat mengetahuinya saat aku di sekolah dan saat murid murid menyalakan berita. Ya.. Baguslah jika aku tidak ditemukan bahkan aku bisa menghilang dari kecurigaan mereka.

Jika ada seorangpun yang tau, lebih baik aku hilangkan saja dirinya dari muka bumi. Atau bagaimana ya enaknya?

~Perry's P.O.V~

"Aku kok curiga ya sama Rose?"

"Ya iyalah kita patut curiga padanya. Dia anak teraneh dan ter menyeramkan disekolah ini."

"Tapi kamu tau kan pepatah jangan mencurigai orang aneh?"

"Iya aku tau sih.. Kalau kamu nekat, ikuti saja ia pulang"

"Iya juga mer... Aku mau nekat deh"

"Perry are you serious?!"

"I'm serious Merida."

"Yaudah, good luck ya. Jangan sampai ia mengelabuimu"

Aku mengangguk pada Merida dan melihat si Olivia Rose itu yang membereskan tasnya lalu pergi. Aku harus terus mengikutinya sampai aku tau dimana dia tinggal, dengan siapa dia tinggal, apa yang dia lakukan dan mengapa ia terlihat sangat aneh.

Aku tau dia bukan teman sekelasku. Tetapi orang terakhir yang meninggal adalah teman sekelasku, jadi aku akan memberanikan diri untuk mencaritau pelakunya. Tidak peduli apapun resikonya.

~Rose's P.O.V~

Aneh. Aku merasa seperti ada yang mengikutiku sepanjang jalan.. Siapa ya? Apa anggota FBI yang dulu aku lihat? Aku harus berjaga jaga.

Aku terus menoleh ke belakang setiap langkah. Aku dapat melihat bayangan seseorang. Akupun segera berbelok kearah pepohonan untuk mengecohnya.

"Eh, kok menghilang?"

Perempuan itu terlihat kebingungan dan menoleh kekanan dan kekiri. Kakinya mulai bergetar ketakutan. Dari kejauhan aku memantaunya lalu berlari padanya sambil memegang tali. Kudengar pekikannya dan iapun berlari kabur. Tetapi kecepatannya berlarinya tidak selincah diriku.

Dengan gesit, aku menahannya dan mengikat tubuh serta mulutnya agar tidak dapat berteriak. Aku menyeretnya masuk kedalam rumahku. Pekikan perempuan ini makin terdengar nyaring. Aku tidak takut padanya. Aku memukulnya tepat dikepala bagian belakangnya hingga ia pingsan. Aku menyeretnya makin kuat kedalam rumahku.

Aku mengikat perempuan ini di kursi kayu dalam rumah yang masih kokoh dan aku menunggunya sadar dari pojok ruangan. Perlahan, dapat kulihat ia menaikkan kepalanya dan melihat sekitar. Aku juga dapat melihatnya meneteskan airmata satu persatu. Aku mulai tersenyum dan mendekat padanya.

Matanya terbuka lebar saat melihatku. Bisa kusimpukan ia kaget atau dia sudah menduga ini akan terjadi.

Aku membuka ikatan yang ada pada mulutnya dengan kasar hingga ia sedikit memekik.

"Aku tau kamu yang melakukan semua ini!"

"Semua apa hah? kamu sok tau ya?!?"

"Kamu yang telah membunuh beberapa murid disekolah!"

"Bukti apa yang kau punya?"

"Dengan keadaanku yang kau ikat seperti ini, ini sudah termasuk bukti yang kuat!"

"Fine, you got me right where I want."

Aku dengan cepat mengambil pisau dari lantai dan menodongnya dengan pisauku.

"Beritau aku siapa dirimu, dan mengapa kamu disini"

"A... Ak.. Aku"

"Jawab dengan jujur!"

"Aaah! Namaku Perry dan aku kesini karena aku penasaran mengapa sikapmu sangat aneh disekolah! Maaf! Maafkan aku! Jangan ambil nyawaku! Aku mohoon"

"Well, aku suka dengan cara memohonmu. Aku ampuni kamu"

"Syukurlaaah!"

"Dengan satu syarat"

"Oh for god sake what is that?!"

"Kamu tutup mulutmu tentang aku, reputasiku dan karir membunuhku. Kau tidak akan bilang pada siapapun atau besoknya kamu akan meninggal dengang leher yang terbelah dua."

"Ak.. aku.."

"Kau harus janji! Berjanjilah jika kau ingin hidup!"

"Aku janji! Aku janji!"

"Baiklah, perkataanmu aku pegang"

Aku melepaskan ikatan itu dengan sekali tusuk pisau. Ia berteriak kecil karena kaget dan menutup mukanya untuk menahan tangis. Aku membuang pisau yang aku pegang dan duduk disofa ruang tengah yang sudah reot.

Perry melihatku dari jauh dan memberanikan diri untuk mendekatiku.

"Kenapa kamu terobsesi dengan membunuh orang?"

"Aku membunuh orang bukan karena tanpa alasan"

"Lalu?"

"Aku sudah capek. Sudahlah, ini urusan pribadi. Kau harus pergi"

"No, no, no. Aku tau kamu butuh bantuan. Dan aku tau kamu disini pasti untuk bersembunyi dari jangkauan para FBI"

"Kau terlalu pintar untuk memecahkan riddleku."

"Thank you. Ehm, maksudku maaf ya aku tidak tau alasan mengapa kamu begini"

"Gapapa, pergilah"

Aku menjauhi Perry dan memasuki kekamarku yang hanya ada bermacam macam pisau, racun, tali, plester dan semacamnya. Aku duduk dikasur yang sangat keras hingga kadang membuat punggungku sakit. Terbayang kan tinggal di rumah yang sudah tidak dihuni dalam jangka waktu yang lama?

Aku dapat melihat Perry yang malah masuk perlahan kedalam kamarku. Benar benar perempuan yang tidak tau malu.

"Ini kamarmu, Rose?"

"Kamu ngapain sih masih bersikeras untuk mendekati aku?"

"Aku cuman mau kita menjadi teman.. Itu saja.. Aku punya masalah yang sama denganmu.. Tetapi aku tidak akan mengeluarkannya dengan emosi atau dendam"

"Pergi"

Aku memegang kepalaku yang makin berdenyut pusing. Perry hanya dia dan duduk perlahan disampingku.

"Kamu harus belajar untuk mengontrol emosimu, Rose. Aku bisa membantumu"

"Aku tidak butuh bantuan siapapun"

"Baiklah. Tetapi jika kamu butuh, aku akan ada untukmu"

Perry menepuk bahuku dan berjalan keluar kamarku. Aku menggeleng pelan dengan perasaan aneh.

"Apa aku bisa mempercayai perempuan ini? Bukankah dia baru saja mau membeberkan rencanaku pada polisi? Aku tidak akan mempercayainya begitu saja"

Aku merebahkan diriku perlahan dikasur dan melihat ke langit langit rumah. Mataku terus terbuka. Aku tidak bisa menutupnya. Apalagi suara suara dikepalaku makin kuat hingga rasanya aku ingin membenturkan kepalaku ke dinding.

A Psychopath LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang