Sweet Danger eps 24

501 28 1
                                    

Rumah yang besar nan megah di hadapannya ini menjadi saksi bagaimana beratnya hidup El dulu. Pohon cemara di halaman depan itu bergoyang-goyang terkena angin seolah sedang melambai kepada El, ingin mengatakan bahwa ia rindu akan tuannya yang dahulu merawatnya dengan penuh kasih sayang. Pohon cemara itu kini masih subur, namun tak sesubur dan sebersih dahulu.

Kini daun-daunnya banyak yang dipenuhi debu lingkungan. Dulu, El kecil selalu bermain disekitarnya, menyiraminya, berbicara dengannya seolah pohon itu makhluk yang bisa diajaknya berteman dengan sangat baik. Setelah dua hari ditanam oleh sang tukang kebun, El memutuskan untuk merawatnya tanpa campur tangan siapapun.

Kini di depan gerbang yang menjulang tinggi, El berdiri tegak dibawah teriknya sinar matahari sore hari. Tidak terlalu panas namun cukup untuk membuat pingsan orang yang berdiri disini selama berjam-jam. Perlahan-lahan tangannya terulur ke depan seakan ingin meraih sesuatu.

"Cemara..." gumamnya lirih.

Hanya pohon itulah temannya disini kala itu. Hingga suatu saat dia memilih untuk pergi dari sini, memilih untuk bebas dari segala yang menjadikannya penghalang.

Rumah ini sepi. Pasti sang pemilik rumah dan seisinya sedang ke luar negeri, kalang kabut mempertahankan usaha yang dirintisnya. Kasihan. Bahkan tak ada satpam lagi di posnya, mungkin sudah tak kuat memberikan gaji.

Semenjak El menunjukkan ciri-cirinya sebagai psikopat, ia semakin dikasari dan dianggap sebagai pembawa sial. Hampir setiap hari El dikunci dalam gudang dengan kondisi terikat, mereka tak ingin El mencelakai mereka. Dia dipukul, ditampar, ditendang, bahkan dicambuk. Sungguh tidak manusiawi. Sampai pada suatu hari saat rumah lengang, El berhasil kabur dari rumahnya dan menghilang tanpa jejak, bagaikan ditelan bumi.

Setelah puas memandangi pohon cemara kesayangannya, El beranjak pergi dari situ. Ia ada urusan dengan Sean. Lagipula ia tak ingin lagi lebih jauh teringat akan kehidupan nerakanya dulu.

***

Dua jam berlalu. Sebenarnya ia mau dibawa ke mana? Tadi dia lupa bertanya walau sekadar untuk basa-basi.

"Kita mau kemana sih, kak? "

Mengerti raut wajah Clarine, Bara menoleh sambil tersenyum. "Mobil-mobilan, "

"Hah? "

"Iya dong, kita kan pakai mobil jadinya mobil-mobilan. Beda kalau kita jalan, itu namanya jadi jalan-jalan. "

Clarine mengangguk dua kali lalu diam.
Jadi sejak tadi mereka hanya mengelilingi kota saja tanpa berniat berkunjung ke suatu tempat?

Ahh, tau begini Clarine tidak akan mau repot-repot berdandan. Tapi lumayan juga sih, daripada gabut di rumah. Di rumah sakit juga sama gabutnya, lebih gabut lagi malahan.

"Kamu mau mampir ke suatu tempat? "

Pertanyaan yang terbaik saat ini.

"Terserah kakak aja, kan kakak yang ngajak. "

"Ke rumah aku aja, yuk! "

"Ngapain? "

"Masak, terus makan. "

Clarine membulatkan mulutnya. "Tapi aku nggak pandai masak, "

"Tenang aja, di sana ada bibi kok. Nanti kamu bisa masak apa aja yang kamu mau. Kalau sekadar main game atau nonton drama, film, juga gapapa. Atau yang lainnya. Pokoknya terserah kamu. Aku capek nih nyetir terus hehe,"

Boleh juga. Lumayan dapat guru masak gratis. Sekalian ingin tahu dimana rumah Bara.

"Boleh kak, ayo! "

Sekitar dua puluh menit kemudian, sampailah mereka di rumah Bara. Ternyata rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah. Rumah Bara bertingkat dua dan ada taman mini di depannya dengan bunga mawar berwarna-warni, bunga matahari, dan air mancur dengan kolam ikan di bawahnya. Bunga-bunga itu ditanam mengelilingi pinggir taman sampai halaman depan dan air mancurnya berada di tengah-tengah. Di dalam rumahnya banyak koleksi benda antik yang berjejer rapi di atas meja.

"Duduk dulu, "

Di sofa berwarna coklat susu ini, Clarine mendudukkan dirinya dengan nyaman. Ternyata sofa ini lebih empuk dan lebih halus dibandingkan dengan sofa yang ada di rumah Ayahnya. Pasti orang tua Bara sangatlah kaya raya.

Setelah memakan suguhan yang disajikan, Clarine bergegas ke dapur guna belajar memasak. Memang itulah tujuan awalnya.

"Nona pacarnya tuan mudakah? "

"Bukan kok bi, cuma teman. "

Bibi membulatkan mulutnya lalu kembali mengarahkan Clarine. Untungnya Clarine orangnya mudah menangkap suatu hal yang baru. Jadi, dia sudah mendapatkan banyak resep hari ini.

"Masak apa? " tanya Bara saat sampai di dapur. Matanya sibuk mengamati berbagai macam makanan yang ada ditangan Clarine lalu diletakkan di atas meja. Aromanya menggugah selera, tapi bagaimana dengan rasanya?

Tak mungkin kan Clarine berani meracuninya?

"Ayo kak, kita cicipi!" seru Clarine semangat.

Bara mengambil duduk di hadapan Clarine dan memakan kue brownis buatannya. Enak, tak ada rasa-rasa racun sama sekali.

"Gimana, kak? "

"Enak. Kamu ga capek bikin banyak makanan kayak gini? "

Bara mengamati Clarine dan makanannya secara bergantian. Banyak makanan yang dibuatnya. Pudding leleh, steak sapi, gurita bumbu pedas, kentang goreng, omelet, kue chiffon, martabak manis, dan yang terakhir kue brownis coklat pandan yang dimakannya kini. Minumannya hanya ada dua macam, es teler dan air putih. Siapa yang akan menghabiskannya?

Bara saja porsi makannya sedikit, bahkan sehari dia tidak makan sesuap nasi pun masih merasa kenyang. Asalkan ada air mineral, itu cukup.

"Enggak kak, justru aku mau ngucapin makasih karena diizinkan belajar masak disini. Maaf udah ngehabisin banyak bahan makanan kakak, " Clarine tertawa kikuk.

"No problem, kok. Santai aja, "

***

Sweet Danger ✓Where stories live. Discover now