Sweet Danger eps 30

447 55 0
                                    

Ngeklik tanda bintang gratis, kan ya?

+++

Lagi-lagi dia tidak masuk sekolah. Alasannya sama, penyebabnya pun juga sama. Melelahkan hidup seperti ini. Jika bukan karena ingin menjaga Ibunya, mungkin dia sudah bunuh diri sejak lama.

Seperti sekarang, Ibunya yang sudah nampak sehat, masuk ke kamarnya membawa nampan berisi bubur yang menurutnya rasanya hambar, saat ia sedang menatap langit-langit kamar, menerawang jauh. Berpikir bagaimanakah masa depannya nanti. Meskipun ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, akan belajar dengan giat agar bisa sukses di masa depan dan mengembalikan semua uang yang diberikan Bara untuk pengobatan Ibunya, ia masih merasa sedikit ragu. Pasalnya, darimanakah asal uang untuk biaya kuliahnya nanti?

Erick memalingkan pandangannya saat Ibunya menaruh nampan itu di atas meja dan duduk di sampingnya. Pandangan Ibunya begitu sayu, entah bagaimana menjelaskannya namun... sepertinya itu sorot kekecewaan. "Kamu berkelahi sama siapa lagi, nak? "

Dengan senyuman tipis yang ia buat di bibirnya yang masih biru, Erick mulai beranjak untuk duduk bersandar pada ranjangnya lalu menatap mata Ibunya dalam-dalam. "Maafin Erick, Bu. " matanya berkaca-kaca. Entahlah, sudah berapa puluh kali ini, dia harus berbohong pada Ibunya.

"Jujur sama Ibu, kamu ada masalah apa di luar sana sehingga kamu harus terus-terusan begini, hm?" Mira mengelus rambut anaknya pelan-pelan. "Jikalau perlu, kamu nggak usah punya banyak teman. Cukup nak Bara saja. Dia sangat baik sama kita, di masa depan kamu harus membalas kebaikannya, ya? "

Erick tersenyum kecut. Ibunya memuji Iblis berparas malaikat itu lagi. Kalau Erick menceritakan yang sebenarnya, apakah Ibunya mau percaya kepadanya? Ahh, rasa-rasanya Ibunya itu sudah tersihir oleh sikap palsu Iblis itu. "Do'akan Erick saja, Bu, "

Mira mengangguk sambil tersenyum tulus. Kini Mira mulai menyuapi anak laki-laki satu-satunya itu dengan bubur buatannya selagi masih hangat. Entah apa yang sedang disembunyikan oleh anaknya, dia masih diam. Menunggu anaknya berbicara sendiri kepadanya suatu saat nanti. Semenjak Ayahnya meninggalkan mereka lima tahun yang lalu, merantau entah kemana tidak ada kabar sampai sekarang, Mira sadar Erick mulai banyak berubah.

Erick yang masih sekolah harus membantunya untuk mencari uang, melakukan part time sepulang sekolah setiap harinya. Belum lagi dirinya yang sakit-sakitan, jadi butuh biaya untuk pengobatan. Untung saja ada Bara dan keluarganya--majikan mereka--, yang bersedia membantu mereka. Jika tidak, mungkin sudah sejak lama dia pulang, berpangku ke sisi Tuhan.

***

Cepat sekali waktu berlalu. Sekarang waktunya istirahat kedua. Clarine meraba laci mejanya saat merasakan mejanya bergetar. Oh, sebuah pesan whatsapp. Dari El.

Pulang sekolah, depan gerbang,-

Kali ini El akan membawanya ke mana? Ahh ikut saja, tak apa. Dengan segera Clarine membalas pesan dari El dan memasukkan hapenya ke dalam saku karena sosok pemilik bekal yang kini dia taruh dihadapannya, sudah datang, berjalan menghampirinya dengan senyuman yang merekah seperti biasanya.

"Rooftop yuk, aku juga bawa gitar. "

Clarine nampak berpikir sejenak. Dimana gitarnya? Oh, pasti sudah ada di sana. Tapi, kenapa harus ke rooftop? Kan capek.

"Nggak di kantin aja, atau taman sekolah gitu, ke rooftop capek. " keluh Clarine jujur. Jadwalnya memang benar-benar padat. Pulang sekolah biasanya langsung ke rumah sakit, pulang bersih-bersih dan masak, belajar--kalau mau--, ke rumah sakit lagi menginap. Melelahkan. Pola makannya pun tak terjaga jikalau El tak selalu mengirimkannya makanan.

Mendengar keluhan dari gadis di hadapannya, Bara mengulum senyum gemas. Dia tahu Clarine capek, tapi tak peduli. Pokoknya dia ingin bersama Clarine sekarang. Berdua. "Aku udah capek hlo nyiapin ini semua. Mau aku gendong aja? "

Mata Clarine membulat tak menduga bahwa Bara akan mengucapkan kata itu. Clarine beranjak dari duduknya dan mulai berjalan mendahului Bara saat ia berkata, "Nggak usah, ayo! "

Dapat Clarine dengar kekehan Bara saat ia melewatinya. Dia pikir lucu apa? Bahkan Clarine tidak peduli bahwa kotak bekalnya ia tinggalkan. Bodoamat, nanti juga dibawa Bara.

Angin sepoi-sepoi menyapanya saat ia baru saja tiba di rooftop. Tidak terlalu rugi, sih menuruti kemauan Bara. Clarine mendudukkan dirinya di samping gitar yang ia yakini milik Bara. Tentu saja, Bara tadi kan menceritakannya. Bara ikut duduk di sampingnya, membuka kotak bekal, dan menyalakan lagu lewat hapenya. Setelah itu Bara mengajak Clarine makan, yang tentu saja di sambut baik oleh Clarine. Siapa yang tak suka makan gratisan?

"Terus kakak bawa gitar buat apa? " tanya Clarine heran. Jika mereka mendengarkan lagu lewat hape seperti ini lalu gitarnya buat apa, pajangan gitu ya?

"Nyanyi, nanti sehabis makan. " Clarine membulatkan mulutnya.

Tapi Clarine menyadari sesuatu saat ini, "Tapi kan, jam istirahatnya nggak lama. "

"Kita bolos dua jam pelajaran, gapapa kan? " kata Bara dengan senyum yang terlihat polos.

"Bolos? " Clarine memiringkan kepalanya sambil berpikir.

"Lagian kamu belum ngerjain tugas, kan? " Clarine berkedip. Darimana Bara tahu? Tapi kan, lebih enak kalau di hukum. Nggak ikut pelajaran, nilai masih tetap ada walau pas-pasan. Daripada kayak gini, nilai nggak dapat, nanti dipanggil ke BK ada. Sekolah kan mahal.

Bara terkekeh mendapati respon bingung Clarine. "Bahkan kamu nggak ngasih tau aku kalau Ayah kamu udah sadar, " Tuh, kan. Bara kayanya punya mata-mata deh.

"Udah yuk, makan lagi. "

"Kakak punya minum? " tenggorokan Clarine serasa sangat kering sekarang. Sejak tadi dia tak melihat penampakan air minum disini. Bara ingin mengajaknya mati kering, mungkin. Tapi tentu saja Clarine tidak mau, itu menyakitkan. Ehh, tapi rasa sakit kan enak ya. Tapi maksudnya bukan rasa sakit yang kayak gini kesukaannya, beda jenis!

"Punya. Tapi cuma satu botol, itupun sudah aku minum tadi, " Sial!

"Yah.... " Clarine menghela nafas, "ya udah deh, gapapa." Daripada kekeringan.

Bara tersenyum simpul, memberikan sisa air minumnya dengan senang hati. Tentu saja, bisa dibilang ini ciuman secara tidak langsung, kan? Ahh, lupakan! "Ada yang ganggu kamu nggak? "

Setelah merasa lega, barulah Clarine menjawab, "Surat misterius, dengan inisial TD. Kakak tau? "

Bara tak langsung menanggapi. Dia mengambil air minum dari tangan Clarine lalu meminumnya rakus. Selepas itu, barulah dia menjawab. "Yang penting nggak bahaya buat kamu, mungkin dia iseng. "

"Nggak iseng kak, kayaknya kecelakaan Ayah aku ada hubungannya sama surat itu, " Clarine mencoba menghubungkan keduanya.

Dengan santainya Bara menjawab sambil tersenyum manis. "Kan aku udah bilang, yang penting kamu gapapa. "

Terserahlah. Mungkin Bara tak bisa membantunya kali ini. Bara kembali bertanya saat ia akan kembali memakan sesendok bekalnya, "Pulang sekolah main yuk, bisa nggak? Sekalian mau jenguk Ayah kamu, "

"Maaf kak, nggak bisa. Aku ada urusan nanti,"

"Ohh, yaudah. "

Bara menajamkan matanya menatap Clarine saat Clarine kembali fokus terhadap makanan di hadapannya. Kini kunyahannya lambat-lambat, seakan memikirkan suatu rencana untuk gadis spesial dihadapannya ini.

***

Sweet Danger ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang