Sweet Danger eps 38

366 25 1
                                    

Plakk

Tangannya menampar seseorang dengan keras. Mulutnya mengucapkan banyak kata-kata kasar yang membuat seseorang itu--seorang gadis--menangis dengan keras lalu memutuskan untuk melangkah pergi meninggalkannya dengan pintu yang tertutup dengan keras.

Wanita cantik paruh baya di belakangnya diam saja, malah tersenyum lebar menyaksikan kejadian ini.

Apa ini?

Wajah mereka terlihat kabur, tidak jelas sama sekali. Namun ada satu wajah yang terlihat jelas. Wajah lelaki itu, wajahnya sangat mirip dengannya. Kehadirannya di sini seperti tak terlihat, tidak di pedulikan sama sekali. Apakah dia sedang berada di alam mimpi dan menyaksikan dirinya sendiri?

Tiba-tiba saat dia menoleh, ada sesuatu yang menghantamnya dengan sangat keras hingga dia kembali ke dunia nyata.

"Astaga! " ucapnya refleks ketika tersadar dari tidurnya. Keringat dingin membasahi dahinya.

Lagi-lagi Herman bermimpi buruk. Entah itu hanya sekilas bunga tidur ataukah... kepingan masa lalu?

Pukul delapan malam. Tadi dia tertidur ketika membaca majalah di kamarnya.

Herman bangkit dari tempat tidurnya, berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka dan melihat Clarine di kamarnya. Gadis itu sudah tertidur lelap, mungkin lelah dan masih ada lukanya yang terasa sakit.

Dengan hati-hati, Herman mengambil dompetnya dan memesan taksi online. Dia ingin ke suatu tempat di mana tempat itu selalu menjadi latar belakang di mimpinya. Tidak mungkin dia mengajak Clarine, putrinya itu masih sakit jadi harus banyak istirahat. Lagipula ini belum terlalu malam untuknya pergi ke luar rumah sendirian.

Setelah taksi pesanannya sampai, Herman segera melangkah memasuki mobil berwarna biru muda itu, tak lupa sebelumnya ia mengunci pintu rumah.

Dua puluh menit kemudian, dirinya telah sampai di depan rumah yang ia mimpikan selama ini. Rumahnya persis, sangat persis seperti di dalam mimpinya. Namun ketika di dalam mimpinya rumah ini terlihat terang, bersih, terawat dan damai, keadaan yang sebenarnya sekarang malah memperlihatkan situasi sebaliknya. Rumah ini terlihat gelap, kosong, terlihat tidak berpenghuni. Lebih pantasnya disebut sebagai rumah hantu, kayaknya. Auranya gelap sekali.

"Ini rumah Bapak? "

Herman menoleh saat sang sopir taksi itu bertanya. Raut wajah supir taksi itu terlihat tidak percaya. "Bukan, ini rumah saudara saya dulu. Mungkin sekarang dia sudah pindah, " jawab Herman berbohong.

Sopir taksi itu mengucapkan 'oh' sambil menganggukkan kepalanya. "Ini rumah orang kaya pemilik perusahaan kosmetik terkenal itu Pak, tapi sekarang entah gimana kabarnya, sekeluarganya itu hilang Pak. Nggak tau deh ke mana. Oiya, Bapak kan saudaranya, Bapak tau mereka ada di mana? "

Herman mengerutkan keningnya mendengar perkataan sang sopir taksi. Pemilik perusahaan kosmetik? "Ahh, maka dari itu saya ke sini untuk mengecek siapa tau mereka udah balik, tapi ternyata belum, " alasan Herman.

"Begitu ya. Saya sendiri juga nggak tau sih wajah orang-orang kaya itu, cuma dengar-dengar aja kalau mereka ngilang. " ucap sopir taksi itu kembali.

Melihat rumah itu sekali lagi, Herman menganggukkan kepalanya mendengar penuturan sang sopir taksi tentang keluarga tersebut. Namun seketika kepalanya terasa nyeri, berdenyut-denyut.

"Lho, Bapak kenapa ini? " tanya sopir bingung sembari menahan Herman agar tidak rubuh.

"Ini kehamilan anak pertama kita ya, mas. Semoga kelak pintar nggak kayak anak itu! " tunjuknya ke arah seorang perempuan berkuncir kuda dengan tatapan tak suka.

"Yang penting kamu dan anak kita sehat, itu udah cukup. " jawabnya dengan tersenyum, mengalihkan pandangannya sejenak dari majalah yang dibacanya sejak tadi dengan ditemani secangkir kopi. "Setelah bersih, kamu pergi lagi aja. Toh, udah punya rumah sendiri, kan, entah dari mana dan siapa. Laki-laki mana yang mau sama kamu? " lanjutnya.

Perempuan berkuncir kuda itu menoleh ke arahnya, tersenyum kecut. "Yang penting aku nggak pernah minta sama kalian, kan?"

"Makin ngelunjak tuh!" sahut perempuan paruh baya itu.

Herman mencengkeram kepalanya yang nyut-nyutan. "Bapak saya antar ke rumah sakit aja, ya Pak?"

"Nggak usah, saya cuma pusing sebentar aja kok. Mungkin efek saya kurang olahraga aja,"

Kemudian Herman memutuskan untuk kembali ke rumahnya sambil mengumpulkan puing-puing ingatannya.

***

Selepas mandi, Clarine mengeringkan rambutnya dengan hairdryer sambil bercermin. Bibirnya bernyanyi-nyanyi pelan. Dia juga sudah memesan makanan untuk sarapan, jadi tinggal menunggu saja.

"Clarine, ayo sarapan nak!" Suara Herman menggema di rumah yang sepi ini.

Dengan segera Clarine menyelesaikan kegiatannya dan menghampiri Ayahnya di ruang tamu. "Udah sampai ya, kok aku nggak dengar suara bel tadi?"

"Iya, kebetulan tadi datangnya pas Ayah sedang diluar jadi langsung Ayah terima aja,"

"Oh, makanya." Clarine mengangguk.

Mereka berdua makan dengan lahap, sesekali ada obrolan singkat antara keduanya. Hingga Herman mengatakan sesuatu setelah dia meneguk minumannya, "Sepertinya ingatan Ayah akan segera pulih,"

Seketika Clarine tersedak lalu menatap Herman dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. "Be-benarkah?"

Herman memberikan Clarine air minum sebelum menjawab. "Beberapa hari ini Ayah mengalami mimpi yang sama dan muncul sekelebat bayangan kejadian saat Ayah tiba-tiba pusing." terangnya jujur.

Hanya diam. Bibir Clarine terkatup rapat, tak mampu berkata-kata lagi. Kenapa kebahagiaan dan kehangatannya bersama keluarga hanya sesingkat ini. Jika ingatan Herman kembali maka...

"Udah, ayo dimakan lagi keburu dingin."

Clarine mengangguk lalu melanjutkan acara makannya meski sebenarnya kini dia sudah tidak berselera. Selesai makan, Clarine kembali ke kamarnya. Sedangkan Herman berkata akan membereskan semua piring karena Clarine sedang sakit.

Di kamarnya, Clarine merenung. Fisiknya baru saja membaik. Jika ingatan Herman cepat kembali maka, fisiknya juga akan cepat luka lagi. Herman sangat membencinya. Apalagi jika Herman ingat dengan Ilma dan menanyakan keberadaannya, Clarine akan menjawab apa. Pasti dia lagi yang di salahkan. Kini Clarine menghela napas panjang.

Tangan Clarine meraba kasurnya guna mencari keberadaan ponselnya. Setelah ketemu, dia mencoba menghubungi El namun hp El sedang tidak aktif. Mungkin El masih dalam kelas, mengikuti pembelajaran jadi hpnya dimatikan.

Tak sadar, air mata Clarine menetes. Semakin lama, ia semakin terisak. Clarine membekap mulutnya agar Herman tak mendengar suara tangisnya. Dia terus begitu hingga hatinya merasa sedikit lega. Hingga cahaya di alam berubah warnanya.

***

Sweet Danger ✓Where stories live. Discover now