[1] 31

3.7K 361 2
                                    

Gue menatap punggung Renjun dan anak baru itu menjauh, tidak bisa gue pungkiri jika gue benar-benar tidak ingin mereka berduaan. Tetapi gue juga tidak bisa egois tentang Renjun, walaupun gue pacarnya bukan berarti gue bisa melarang Renjun semaunya kan?

Suasana sangat canggung setelah kepergian Renjun dan Saeron, bahkan Haechan yang biasanya membangkitkan suasana kini hanya terdiam dan memandang gue dengan raut bingungnya.

"Ay, ikut gue sebentar." Gue menoleh kearah Jeno, ia beranjak dari tempatnya dan menggandeng gue keluar dari kantin.

Gue menatap Siyeon dengan perasaan tidak enak, tetapi tatapan Siyeon malah menunjukan tatapan khawatirnya entah khawatirkan soal apa.

Gue tidak tau kemana Jeno akan membawa gue, gue hanya mengikutinya sampai di lorong yang lumayan sepi lelaki itu berhenti dan menatap gue.

Tatapannya begitu menusuk sehingga gue tak berani menatapnya balik, kenapa tatapannya sangat persis sih dengan Bu Irene. Mentang-mentang anaknya, tatapannya ikut nurun.

"Sakit?" Satu kata yang membuat jantung gue berdegup cepat.

Seketika gue berani menatap Jeno sembari menggelengkan kepala, gue yakin lelaki itu tidak percaya dengan jawaban gue dari caranya menatap gue.

"Gue tanya sekali lagi. Lo, sakit?" Gue bingung harus jawab bagaimana, apakah Siyeon mengatakan sesuatu saat melihat bibir gue pucat?

Padahal hanya pucat biasa, apakah sangat terlihat?

"Nakomoto Ayumi." ARGHH, kenapa harus memanggil dengan nama lengkap sih.

"Engga, Lee Jeno." Jeno mengangkat plastik berwarna biru di hadapan gue.

Jantung gue berdetak begitu cepat melihat itu, dengan cepat gue mengambil plastik yang Jeno tunjukan.

Tetapi pergerakan Jeno lebih cepat dari gue, ia menaikan tangannya lalu menatap gue lebih dalam bahkan gue tidak peduli dengan jarak diantara kita.

Gue hanya fokus untuk mengambil apa yang Jeno tunjukkan, gue hampir menangis ketika tidak berhasil mengambilnya dari Jeno.

"Hemofilia? Yum?" Tanya Jeno dengan suara bergetar, tangis gue tak dapat gue tahan. Gue membiarkan air mata keluar begitu saja, sebut saja gue cengeng karena akhir-akhir ini gue lebih mudah menangis.

"Pantesan kalo lo luka, darahnya banyak banget." Suara Jeno benar-benar bergetar, gue memberanikan diri menatapnya.

Matanya merah seperti menahan tangisan, gue bahkan tidak mengerti mengapa ia menahan tangisnya.

"Dari kapan?" Tanya Jeno sekali lagi.

"Dari kecil, udah bawaan dari gen." Jawab gue pada akhirnya.

"Kenapa ga ngasih tau gue?"

"Emang perlu?"

"Yum ... Lo itu udah kayak ade sendiri buat gue, gue juga udah sering bilang kalo ada apa-apa lo bisa hubungun gue."

"Lo pikir gampang? Gue ga enak sama cewek lo, Jen. Apa kata orang kalo gue masih ngandelin lo, padahal gue punya pacar."

"Ahahaha, pacar lo aja ga guna."


••°°••

Seilla masuk ke kamar anak bungsunya, ia menghela napas melihat tisu penuh darah yang berserakan di lantai.

Ayumi duduk di ayunan sembari menatap foto yang menempel di dinding, Seilla perlahan mendekati anak bungsunya sembari membawa beberapa obat yang harus anaknya konsumsi.

"Mimisan lagi?" Seilla melepaskan tisu yang menutupi sebelah lubang hidung Ayumi, ia membuangnya dan menggantikannya dengan yang baru melihat darah dari hidung Ayumi masih keluar.

ᴇꜱ ʙᴀᴛᴜ | ʜʀᴊOù les histoires vivent. Découvrez maintenant