[1] 35

4K 371 20
                                    

Ayumi menatap Hina dan Jeno yang ada di hadapannya, mereka sama-sama terdiam tanpa berniat untuk membuka percakapan. Pintu kamar terbuka terlihat Siyeon membawa satu nampan berisi sepiring obat-obatan serta segelas air mineral, Ayumi menghela napas melihat itu.

Siyeon duduk di pinggiran kasur dan meletakan nampan itu secara perlahan dekat Ayumi, Jeno dan Hina berjalan mendekat untuk membantu Ayumi. Hina membantu mengambil piring berisi obat-obatan, Jeno pun membatu memegangi segelas berisi air mineral.

Siyeon mengambil nampan yang sudah kosong dan meletakkannya di nakas sebelah kasur, Ayumi mengambil beberapa obat dan menerima segelas air dari Jeno.

Mereka hanya menatap Ayumi meminum obatnya dalam diam, Jeno dan Siyeon masih syok dengan penjelasan Hina beberapa waktu lalu.

Mereka tidak sengaja bertemu Hina dan Ayumi yang keluar dari rumah sakit, ada keluarga Nakomoto juga tetapi Ayumi memilih pulang dengan mereka.

Hina memeluk Ayumi setelah gadis itu menyelesaikan meminum obatnya, Siyeon ikut memeluk Ayumi ketika tangis gadis itu terdengar.

"Secepatnya bakalan ketemu kok pendonornya, gue percaya." Ucap Hina.

"Gue sama Jeno bakalan bantu cari kok." Ayumi semakin menangis mendengar ucapan Siyeon. Jeno hanya mampu menatap ketiga gadis yang tengah berpelukan, sekuat mungkin ia menahan tangisannya di hadapan pacar dan sahabat perempuannya.

Luhan masuk ke ruangannya dengan wajah lesu, lalu ia menatap keluarga Nakomoto yang sedang menunggu kehadirannya.

Pandangannya langsung jatuh kepada si bungsu keluarga Nakomoto, ia berjalan gontai mendekati si bungsu. Luhan berlutut di hadapan Ayumi yang sedang duduk di sofa.

Keluarga Nakomoto terkejut melihat Luhan yang tiba-tiba berlutut pada Ayumi, gadis itu bergetar melihat Luhan berlutut di hadapannya. Perasaannya langsung bercampur aduk tak karuan, Ayumi bahkan tidak dapat menggerakkan tubuhnya karena syok.

"Maafin Om, Ay. Om belum bisa nemuin pendonornya, dan kamu cuman punya waktu lima bulan untuk di operasi."

Bagai petir disiang hari yang begitu terik, kabar tersebut membuat pikiran Ayumi tak karuan.

"Om sudah cari sampai ke luar negeri, kondisi kamu yang selalu mengonsumsi obat-obatan membuat kita susah mencari pendonor. Banyak pendonor yang tidak cocok, bahkan menyebabkan kematian." Penjelasan Luhan membuat Ayumi meremat celananya sendiri, Isak tangis Luhan terdengar bahkan bahunya terlihat bergetar.

Seilla hampir kehilangan keseimbangannya, Yuta dengan segera menopang tubuh sang ibunda. Bahkan Sakura tidka dapat menahan tangisannya, ia tidak tau harus berekspresi seperti apa saat ini.

"Papah akan cari kemana pun itu, bahkan kalau pun hati papah yang harus di donor. Papah akan usahakan itu semua, Luhan. Periksa apa hati gue cocok buat anak gue." Ucap Yuto tegas, sembari menarik lengan Luhan agar bangkit dari posisinya.

Ayumi menggelengkan kepalanya, ia menepis tangan Yuto dan menatapnya dengan tatapan kecewa.

"Gak pah! Udah cukup ka Ayira, ga ada ka Ayira setelahnya. Aku Gamau buat seseorang menderita karena aku, aku gamau.... "

"Kita harus cari kemana lagi de?! Papah bahkan udah frustasi!"

"Papah pikir aku ga frustasi? Bahkan aku muak dengan kehidupan aku sendiri, Pah." Sakura memeluk Ayumi yang hendak mendekati Yuto.

"SEHARUSNYA WAKTU ITU AKU YANG MENINGGAL BUKAN, KA AYIRA." Teriakan Ayumi membuat Seilla menangis tanpa suara, Yuta memejamkan matanya melihat Ayumi yang begitu frustasi dengan keadaannya.

"Aku mohon pah, sekali pun aku ga selamat aku ga masalah. Aku Gamau buat orang lain berkorban nyawa hanya karena aku, cukup aku hidup dengan rasa bersalah untuk ka Ayira." Ucap Ayumi dengan suara memelan.


••°°••


Gue menatap Renjun yang fokus menggambar taman belakang rumahnya, gue juga tidak mengerti mengapa lelaki ini sangat random.

Ia membangunkan gue dari tidur siang hanya untuk menemaninya menggambar, padahal dia sendiri juga bisa menggambar tanpa ada gue.

Gue memainkan rambut Renjun yang sudah panjang sembari menatap kertas yang sudah hampir penuh, gue menatap gambar Renjun dengan mata berbinar. Gambarnya sangat indah bahkan terlihat begitu serupa dengan aslinya, gue baru menyadari kalo Renjun pandai menggambar bahkan sangat pandai.

Renjun memberi nama di ujung bawa gambarnya lalu memberikannya ke gue, gue mengambil buku gambar tersebut lalu memperhatikan gambar Renjun yang sangat indah. Gue menunjukan jari jempol padanya hal itu membuatnya tertawa, ia beranjak lalu mencium pipi gue secara tiba-tiba.

Gue terdiam beberapa detik lalu menatapnya, ia hanya menaikan satu alisnya dengan cepat gue menggelengkan kepala. Gue meletakan buku gambarnya di meja lalu beranjak masuk ke rumah Renjun, gue yakin lelaki itu mengikuti dari bayangannya.

Gue mengambil minum di kulkas, dan duduk di meja makan. Renjun datang membawa buku gambar beserta peralatan gambarnya yang lain, ia duduk di samping gue sembari menyandarkan kepalanya di bahu gue.

Gue dan Renjun sama-sama terdiam dan seketika saja gue kepikiran satu hal.

"Njun ... kalo aku pergi dan gatau kapan baliknya, kamu bakalan nungguin aku atau cari yang lain?" Renjun beranjak dari posisinya, ia menatap gue dengan kening mengkerut.

"Pertanyaan mu, apa banget deh."

"Jawab aja sih! Kamu bakalan nungguin aku atau cari yang baru?" Renjun mengarahkan tubuhnya menghadap gue.

"Ya nungguin kamu lah."

"Kalo aku ga balik lagi, kamu bakalan nungguin aku?"

"Emang kamu mau ga balik lagi?" Pertanyaan Renjun seolah bumerang, gue terdiam menatapnya.

Betul juga, mana mungkin gue tidak mau balik lagi. Dimana gue mendapatkan kenyamanan, tidak mungkin gue menyerah begitu aja kan?

"Kenapa nanya begitu?" Gue menggeleng kepala, Renjun menghembuskan napasnya melihat jawaban gue.

"Kalo ada apa-apa kamu bilang aja, aku pacar kamu bukan orang lain." Tapi kamu terkadang terlihat seperti orang lain, Njun.

"Njun, gimana kalo es batu itu udah ga di kenal lagi?" Renjun menaikan satu alisnya.

"Air bisa buat es batu mencair dan menyatu dengannya, tapi es batu itu udah engga keliatan lagi. Es batu itu bakalan di lihat sebagai air biasa, Njun." Renjun tertawa mendengar itu.

Ia beranjak dari tempatnya lalu berdiri di hadapan gue, gue menatapnya yang tengah menangkup kedua pipi gue.

"Sama halnya kalo aku nanti nikahin kamu, nama depan kamu emang masih Nakomoto? Enggakan, pasti itu bakalan berubah jadi Huang." Gue terdiam mendengarkan penjelasannya.

"Aku ga cuman mau kita tidak terpisahkan dengan cara apapun, tapi aku mau buat kamu jadi milik aku. Milik aku yang di maksud ini nikahin kamu, bukan sekedar memiliki kamu kayak apa yang kita jalanin saat ini." Gue masih terdiam menatap netra teduh milik Renjun.

"Lewatin semuanya bareng-bareng ya? Kita mendaki bareng-bareng dan nikmatin semuanya di puncak nanti, tentunya tetap kamu bukan yang lain."

Njun, gue ga yakin bisa memenuhi semua ucapan kamu....










TBC

Astaga  ngetik apaan sih diriku ini:v

Jangan lupa untuk vote dan komen ya gaesss💚

ᴇꜱ ʙᴀᴛᴜ | ʜʀᴊTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang