/1/
Anak-anak meninggalkan bangku sekolah, mencari makan di antara kerikil dan debu jalanan yang marah. Entah sudah berapa kilometer disusuri hari ini, menjajakan jajanan dengan penat rakus memakan badan.
Mimpi sudah lama pergi bersama buku pelajaran yang lapuk. Sudah lama hilang menyertai seragam sekolah yang usang. Pendidikan terlalu mahal, pungutan akademik terlampau binal.
Di seberang istana mencerdaskan kehidupan bangsa sekadar bual semata.
/2/
Entah sudah berapa ribu Kamis teguh berdiri dengan hati tanpa pesimis. Bulat menggugat negara yang pernah menghaturkan neraka kepada manusia yang menjemput kemanusiaannya. Menuntut negara agar tak amnesia pernah mendermakan angkaramurka kepada insan Indonesia yang menjemput keindonesiaannya.
Meminta negara untuk tidak buta terhadap darah tumbal persalinan kemanusiaan dan keadilan yang pekat melumuri tangan. Menagih maaf, menagih insyaf.
Namun sejauh ini melindungi segenap bangsa Indonesia sekadar nyaring tong kosong yang dilempar dari seberang istana.
/3/
Gaduh membangun disertai pula air mata. Tanah dirampas, ladang ditebas. Lara marhaen tumpah di mana-mana, tawa pemodal menggelora di sepenjuru negara. Terbilanglah membangun demi kesejahteraan umum, terdapatlah umum yang didermakan paripurna kesengsaraan.
Akar rumput diselimuti duka, korporat terbungkus suka. Di seberang istana, terdapatlah memajukan kesejahteraan pemodal.
/4/
Di seberang istana konstitusi sekadar diksi.
XVI/II/MMXX
