Mei adalah rumah bagi air mata, bagi gedung-gedung yang hancur, bagi tubuh adik perempuan kita yang dipaksa lebur, bagi toko yang dijarah untuk kemudian dijilati kawanan api, bagi almamater yang dikoyak peluru, bagi darah yang tumpah di segala arah, bagi kubur tirani, bagi suram reformasi.
Di sudut kota dan jalanan pemerkosaan menikam perempuan kita. Adik kita. Saudara kita. Ibu kita. Biadab, tubuh dipotong dan disayat. Ita Martadinata gugur, kelopak bunga sekarat selepas badan buas dilumat, tamat.
Satu per satu toko diserbu kawanan penjarah yang berburu. Kemanusiaan telah lama menguap, api buru-buru meluap. Membumbung asap ke langit, meraung banyak orang diarit.
Peluru mengoyak-ngoyak almamater. Darah tercecer. Preman berseragam membuas, kampus ditebas. Didermanya lara, dihancurkannya semua. Adab patah menjadi biadab.
Mei lautan bara, mengunyah banyak raga. Negara pura-pura amnesia.
XIII/V/MMXX
