016

120 37 16
                                    

"Tidak kusangka, anak pak albert sudah besar," ucap salah seorang pria yang berada di aula luas itu. Kini Jeka dan beberapa orang di aula itu sedang duduk dimeja bundar, dengan beberapa piring dan alat makan yang tertata rapih, jadi posisi Jeka dan pria itu berhadapan. "tampan, seperti papahnya."

Jeka hanya melengos tak peduli, terlalu malas hanya sekedar untuk mengucapkan terimakasih pada Pria yang sejak tadi berbasa basi itu.

"Aku juga berpikir seperti itu," timpal wanita disamping pria tadi, "mungkin kalau aku masih muda aku akan menikah dengannya," ucap wanita itu disusul kekehan, dan pria yang Jeka yakini suaminya itu malah ikut tertawa.

Bodoh. Pikir Jeka, istrinya sedang merencanakan konspirasi besar dengan bilang kalau dia masih muda dia mau menikah dengan Jeka, dan pria itu malah tertawa, benar-benar mengagumkan. Pun Jeka hanya dapat mengkerut jijik dengan desisan terganggu. Sejak tadi Jeka memang tidak nafsu makan dan dua orang di depannya malah membuat perbincangan yang memualkan.

Akhirnya Jeka berdiri, sedikit membantik garpu dan sendok di lengannya, sehingga berbunyi. ctakk, yang menggema di ruangan itu, "permisi,bsepertinya saya tidak menangkap pembicaraan yang penting disini, saya harus pergi."

"Adnan," pria dengan surai arang yang sejak tadi hanya diam dengan senyum simpul sejak perbincangan tadipun bicara_mencengkram lengan Jeka menghentikan pemuda itu melangkah pergi, "apa kamu pikir itu sikap yang sopan pada orang yang lebih tua?"

Dan secara terang-terangan Jeka mendengus, "maaf saya tidak suka berbasa basi, jadi bisakah kalian membicarakan langsung pada intinya saja? " Jeka sedikit menggeram karna orang yang selalu ia panggil ayah itu tak kunjung melepas cengkramannya.

"A-ah baiklah," pria lain dengan kepala plontos menyahut, sedikit gelagapan karna ia pikir Jeka itu semacam orang yang tidak sabaran, "pak Albert, mungkin sebaiknya kita bicara langsung pada intinya saja?"

Jeka geram, ingin melepas cengkraman kuat Ayahnya pada tangannya karna sungguh itu sakit, sedikit menyesal karna ia memakai jam tangan besi yang membuat jam tangan itu mengetat melukai tangannya, akhirnya Jeka mengalah, ikut duduk lagi sehingga cengkramannya terlepas.

"Jadi begini nak Jeka..." wanita itu sedikit berdeham, membenarkan kalung di lehernya yang entah sejak kapan terasa mencekik, "aku seorang Ibu, dan ingatan seorang ibu itu tidak pernah sala-----".

"Langsung pada intinya saja nyonya," balas Jeka yang mendapat geraman murka dari pria di sampingnya. Dan sekali lagi Jeka melengos tak peduli.

Wanita itu kembali berdeham, entah mengapa aura anak ini begitu menyeramkan, membuatnya hampir lupa tujuannya duduk disini, "aku mendengar kalian bicara saat kecil, tetang hidup bersama sampai dewasa, jadi aku dan suamiku berniat untuk menjodohka---"

"Anda serius?" tanya Jeka dengan senyum pongah, auranya begitu dominasi sambil menatap gadis dengan gaun biru tua di seberangnya dengan pongah, "anda menganggap janji seorang anak kecil untuk patokan perjodohan? lagi pula aku tidak pernah menyetujui perjanjian itu, anak anda yang membuatnya, "ucap Jeka sambil menunjuk kecil gadis dengan gaun biru tua itu dengan jempolnya. Menekankan bahwa tak pernah ada janji antara Jeka dan gadis yang sedang menunduk itu, kalaupun ada Jeka mana sudi melakukannya.

"Jeorjino," tegur pria di sampingnya entah yang keberapa kali, tapi Jeka tetap tak peduli.

Jeka sempat bersitatap dengan pria disampingnya yang sudah mengetatkan rahangnya, namun Jeka tetap melengos, berdiri pergi tampa bungkuk hormat dan basa basi lagi meninggalkan meja.

Melewati Ibunya yang baru keluar dari kamar mandi yang melongo melihat Jeka.



Tingg....

Jekasomi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang