A. 4 [11.45 A Direct Message]

2.5K 368 56
                                    

Mata pelajaran Ekonomi baru saja usai, waktu menunjukkan pukul 11.45 WIB. Waktu di mana aku harus bersiap menatap Arsana dari balik jendela kaca. Mungkin kalian lebih pemberani dibandingkan aku, jika suka tinggal katakan saja. Aku tidak bisa begitu, karena Kartini tidak mengajarkanku begitu dalam kata "Emansipasi". Mungkin saja, kalian juga sama sepertiku hanya bisa menatapnya dari balik jendela kaca. Begitu saja kalian sudah senang, kan? Sudah meletup-letup hatinya, sudah berdebar pula degup jantungnya. Jatuh hati sebenarnya hanya sesederhana itu, manusia dengan rasa tamaknya, dengan hawa nafsunya, itu semua yang membuatnya terasa rumit.

Aku duduk di atas meja menatap ke arah jendela kaca, seharusnya Arsana sudah berlalu di sana. Namun, 2 menit lebih tak ada apapun yang bisa membuat hatiku sebahagia biasanya. Hanya lalu lalang anak IPA dengan sendaguraunya.

"Udah?" tanya Laras membangunkanku dari tatapan yang teliti, meneliti setiap siswa yang lewat di belakang kelasku.

Menggeleng. Karena belum nampak Arsana di sana, mungkin aku akan menetap, menantinya lewat.

"Apa sih sebenarnya yang setiap hari kamu lihat, Lia? Pujaan hatimu? Bukannya Arsana?"

Aku tersenyum ke arah Laras.

"Pujaan hatimu? Sungguh? Si Arsana? Memangnya ada siswa yang namanya Arsana di sekolah ini? Rasanya tidak ada, atau, hanya aku yang tidak mengenalnya karena dia cowok cupu yang berkacamata tebal?"

"Laras, aku hanya menikmati canda tawa siswa-siswi dari balik jendela kaca. Mereka nampak bahagia bisa melepas penat usai pelajaran yang melelahkan. Aku tidak akan melihat pemandangan ini lagi setelah lulus nanti. Katakanlah, aku tidak mau melewatkannya." Jelas saja apa yang aku katakan hanyalah sebuah kebohongan yang aku rangkai sedemikian rupa.

Laras mengerlingkan matanya. "Dasar pecinta sejarah. Apa-apa yang akan menjadi masa lalu seolah tidak boleh terlewat begitu saja. Sudahlah, ayo ke kantin. Hari ini, berdoa saja besok masih hidup, agar kamu bisa terus menatap tawa mereka dari balik jendela kaca."

Aku sempat menolak ajakan Laras karena aku ingin melanjutkan Max Havelaar-ku yang terputus sebelum bel jam pertama. Aku ingin melanjutkannya, menjejak Pengantar Penerbit Qanita yang baru kubaca awalnya saja.

Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya.
Jika politik itu bengkok, sastra akan meluruskannya.
-John F. Kennedy

Pagi tadi saat perjalanan ke sekolah, aku baru saja menyelesaikan buku baru dari bunda, judulnya Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner oleh Gina S. Noer. Sejujurnya aku tidak begitu tertarik, karena sudah pernah membaca Habibie dan Ainun serta Mr. Crack dari Pare-Pare. Tetapi bunda nampak akan kecewa jika tak kunjung kubaca. Dan aku menemukan hal luar biasa kembali dari sosok Bacharuddin Jusuf Habibie. Sosok yang visioner itu selalu saja memberikan kejutan serta pelajaran penting bagi generasi muda.

"Ayolah, Lia. Tinggalkan saja Max Havelaar-mu itu di atas meja. Aku lapar sekali," ajaknya terus menarik tangan kiriku.

"Kamu bisa pergi bersama Monita, Laras."

"Dia sudah pergi lebih dulu."

"Nampaknya kantin pun belum pindah, jalannya masih sama. Kamu tidak akan tersesat meski berjalan sendirian." Aku tetap menolak sebab tak akan ada Arsana di sana, lebih baik berkutat dengan ejaan kata seorang Multatuli.

Laras memicingkan matanya. "Tolong lah, Lia! Berjalan sendirian itu semacam orang tak punya teman saja."

Menghela napas. Laras masih mencoba membujukku, dengan semua kata-kata mutiaranya yang sungguh indah.

"Baiklah, aku letakkan dulu bukuku di dalam tas," kataku pasrah.

"Tidak perlu, Lia. Tidak akan ada yang mencuri buku kunomu itu. Tidak ada yang berminat membaca sejarah di masa sakarang." Laras menarikku kencang, hingga aku hanya bisa melempar buku Max Havelaar-ku di atas meja dengan posisi terbalik.

Arsana [Tersedia Di Shopee]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang