A. 18 [Kencan Kota Lama]

1.6K 251 52
                                    

Classmeeting hari kesekian, 2 hari jelang penerimaan rapor, 1 hari setelah romansa di cinema. Pagi ketika aku masih menggenggam bukuku tentang raja-raja Jawa. Masih mengeja kata demi kata perihal Perebutan Kekuasaan Era Demak, mulai dari halaman 186. Menginjak gerbang sekolah, sorot mataku baru berpindah. Tepat setelah Ryan, ketua jurnalistik sekolah mengiringi langkahku. Ia menanyakan kabarku, memuji buku bacaanku , kemudian melontarkan pertanyaan menohok.

"Sekarang sibuk pacaran, ya? Kemarin ke mana nggak kumpul jurnalistik? Mana tulisan sejarahmu, padahal harusnya ditempel besok, kan? Kira-kira kapan bisa disunting kalau belum selesai? Pacar ganteng ya sekarang?" 

Sungguh aku lupa kalau ada pertemuan pengurus jurnalistik kemarin. Aku terlalu terbuai sosok Arsana di depan mata, yang menggenggam dan menyediakan bahu nyamannya. Hasilnya aku hanya bisa diam karena merasa bersalah.

"Nanti malam kirim ke surel jurnalistik, ya? Kota Lama, kan?"

"Hah?" 

"Kamu sendiri yang bilang minggu lalu. Kamu berubah sejak pacaran dengan Nino, Lia. Apa kamu sudah tidak mencintai sejarah lagi?"

Aku menoleh kesal. "Mana pernah aku berhenti mencintai sejarah, Ryan? Kamu tahu sendiri, Bung Hatta menjadikan buku sebagai istri pertamanya, aku pun menjadikan sejarah suami pertamaku."

"Iya, lebay. Kamu harapan jurnalistik satu-satunya yang bisa mengenalkan sejarah pada generasi sekarang, Lia. Jika kamu terbuai cinta Nino lalu lupa akan sejarah, kami sangat menyesalkan itu."

"Tidak, Ryan."

Ryan mengangguk kecil.

"Lia," panggil Nino dari seberang tempat parkir sepeda motor. "Jangan berduaan sama laki-laki lain dong!" Berjalan mendekatiku dan Ryan.

"Kenapa? Yang ke tiga setan? Berarti kamu lah setannya!" ketus Ryan.

"Tidak. Aku hanya tidak suka Lia berjalan dengan laki-laki lain. Kamu tahu kenapa, Lia?" Nino berkacak pinggang di depanku.

Menggeleng.

"Karena aku cemburu, tak enak cemburu itu, Lia. Ibaratkan sayur kelebihan garam, ibaratkan kolak kebanyakan gula Jawa."

"Behh, kelincinya lucu amat pagi-pagi begini," sindir Ryan, kelinci identik dengan lambang playboy. Sementara aku hanya menahan senyum di bibirku.

Boleh kubilang bahwa ia manis? Aku melayang, terbuai angin kesejukan.

"Senyumnya jangan ditahan, matahari mungkin kalah bersinar, tapi ia akan maklum," katanya sekali lagi menarikku 1000 kaki lagi mendekati langit.

Ryan seolah akan muntah. "Heh, jangan ganggu Lia dulu ya hari ini!" titahnya.

"Kenapa? Pacarku ini."

"Dia ada tugas jurnalistik belum selesai, harusnya kemarin. Kamu ajak kencan kan kemarin? Bisa dong hari ini biarkan dia menyelesaikan tugasnya?"

Nino menatapku penuh tanya pun ingin dibela. Namun jawabanku sekadar anggukan yang artinya Ryan benar. Aku harus menyelesaikan tugasku, tidak boleh terlewat lagi, tak ada waktu. Jika terlewat, siapa yang akan membaca mading sekolah, liburan segera tiba.

Ryan meninggalkan kami dengan banyak titah yang harus kuturuti. Ia memang raja bagi kami pengurus jurnalistik. Sementara Nino nampak kecewa, ia bilang hari ini ingin mengajakku ke suatu tempat. Sayangnya aku tidak bisa, kukatakan aku harus ke Kota Lama untuk mengambil beberapa foto serta memastikan lagi hasil pugaran terakhir di tahun 2019 lalu.

"Haruskah kita kencan ke Kota Lama, Lia?" Nino mengimbangi langkah cepatku karena di belakang ada Irish dengan mata tajamnya.

"Aku mau mengerjakan tugasku, Nino. Tidak untuk main-main ke sana."

Arsana [Tersedia Di Shopee]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang