A. 22 [Surat Kabar Pukul 07.10 WIB]

1.3K 254 22
                                    

Hari kedua tanpa kabar dari Nino, hari di mana aku hanya bisa menatap jendela kamarku yang kosong. Membayangkan jika itu jendela kaca di sekolah, selalu ada pemandangan menarik di baliknya. Sepi, tapi bukan berarti aku tak mencari. Beberapakali aku mengirimkan pesan pada Nino, berharap jarinya sigap membalas. Namun, gawaiku tak berdering lagi olehnya. Sekadar pemberitahuan media sosial yang tidak banyak pentingnya.

Aku khawatir jika ia kenapa-kenapa atau keluarganya ada masalah, tapi sebenarnya aku lebih egois. Dibandingkan khawatir Nino dalam kondisi tidak baik, aku lebih khawatir dengan hatiku. Orang bilang, hati itu hanya kita yang bisa melindungi tapi sepertinya aku gagal. Aku takut ini adalah bagian dari rencana Nino untuk meninggalkanku. Sungguh benar kata ayah dulu, cinta masa remaja itu terlalu takut patah hati dan kehilangan.

Ini masih pukul 07.10 WIB, arunika masih nampak indah meski menjelang terik. Sinarnya menembus celah-celah benda yang bisa ia tembus. Suasana kompleks rumah mulai bising, beberapa kendaraan siap mengantar tuannya ke kantor. Katakanlah semua orang sibuk beraktivitas dengan semangat. Aku saja yang masih terus berpikir tentang Nino, Nino, dan Nino.

"Koran!"

Imajinasiku tentang Nino terpecah, seorang pria paruh baya memekik, samar-samar terlihat dari balik jendela kamarku.

Ini pertama kalinya tukang koran datang ke rumah setelah Ayah tiada. Dulu, ayah adalah pelanggan tetap surat kabar, apapun itu. Ayah dulu juga sering menulis di koran, tentu tentang sejarah. Baginya, mengajarkan sejarah tak hanya melalui sebuah kelas, di surat kabar pun bisa. Meski sebenarnya surat kabar mulai sepi peminat. Ayah tidak peduli seberapa banyak yang membaca tulisannya, yang beliau pedulikan adalah beliau tetap bisa menebarkan sejarah kepada siapapun yang mau singgah pada halaman khusus tulisannya.

Menurut Nurani Soyomukti dalam Pengantar Ilmu Komunikasi tahun 2012 halaman 207 dikatakan surat kabar pertama berbahasa Jawa yang diterbitkan bernama Bromartani di Surakarta dan dianggap sebagai perintis dalam pers pribumi. Mengapa aku mengingatkannya? Karena itu yang Ayah tulis terakhir kali dalam sebuah koran, tentang sejarah pers. Terakhir Ayah mengajakku liburan pun berhubungan dengan pers, Monumen Pers Nasional yang berada di Jl. Gajahmada No.76, Timuran, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta.

"Maaf, Pak. Apa seseorang di rumah ini memesan koran?" tanyaku berhati-hati. Meski sebenarnya bapak ini sudah langganan Ayah, dulu.

"Bundanya Mbak Lia," jawabnya tersenyum.

"Oh, sudah dibayar sama Bunda atau belum, Pak?"

Bapaknya mengangguk. "Monggo, Mbak Lia," pamitnya.

"Nggih, nggih," balasku.

Hendak meletakkan koran di atas meja tapi terhenti karena Bunda mengirim pesan untukku. Beliau minta aku membuka halaman kedua koran yang sudah kuterima. Bunda tidak bisa menceritakannya lebih lanjut sebab Bunda hanya mendengar dari orang-orang lain. Mungkin media pers lebih akurat dibandingkan kabar burung yang beredar. Meski tidak bisa dipungkiri pers di masa kini terlalu menggunakan judul yang berlebihan dan menjebak.

Tanganku mengikuti arahan Bunda, membuka lembar kedua, dan membaca headline berita yang dicetak tebal. Kasus Korupsi Megaproyek Rusunawa Libatkan Sejumlah Anggota DPRD. Seketika tanganku lemas sebab foto yang terpampang tak asing di mataku. Segera aku mencari kontak Nino, berusaha meneleponnya tapi tidak ada jawaban. Berulangkali dengan perasaan cemas.

Cukup lama sampai akhirnya aku menyerah, ya, mungkin Nino butuh waktu untuk sendiri. Ia mungkin juga tidak menyangka kejadian semacam ini akan terjadi. Lebih-lebih, di era digitalisasi semacam ini, ia bisa jadi sedang ketakutan terhadap pandangan orang-orang di sekitarnya.

Arsana [Tersedia Di Shopee]Where stories live. Discover now