A. 13 [Kencan Bertema Sejarah Minat]

1.8K 284 80
                                    

Jika kaca terbiasa mempertemukan kami, jika pembatasan berskala biasa menjaga jarak kami, agaknya kali ini aku dan imaji seorang Arsana dekat tanpa sekat. Saling berhadapan, saling tak acuh pada buku, saling menatap, sesekali menyimpulkan senyum lebar tanpa suara. Perpustakaan sekolah, hari Rabu ini. Bercerita tentang kencan pertama yang bisa jadi membosankan, tanpa cakap panjang. Namun aku menikmatinya, meski tidak bagi seorang Nino. Ia tak pernah begini sebelumnya.

Di hadapan kami, buku paket Sejarah untuk SMA/MA Kelas XI, Kelompok Peminatan Ilmu-ilmu Sosial yang disusun oleh Sarkonah dan Rudi Permadi tergeletak di depan kami. Sama-sama membuka halaman 229 tentang Akar-akar Nasionalisme di Indonesia. Sesuatu yang membosankan, bukan? Nino terbiasa dengan kencannya di malam hari, di sebuah kafe ternama dengan gemerlap lampu atau sinar kecil si lilin romantis. Aku sering melihat momen itu di media sosialnya, dengan siapapun ia berkencan.

Denganku? Aku mau melakukan hal semacam itu. Memang perempuan mana yang tak suka dengan kencannya yang romantis? Akan tetapi, aku tidak ingin meninggalkan kewajibanku sebagai siswa. Esok masih dalam rangka Ujian Akhir Semester, bahkan penentu kenaikan kelas. Aku hanya mencoba melaksanakan apa yang ayah pesan sebelum beliau meninggal dunia. "Teruslah belajar sampai kamu sadar bahwa kamu teramat bodoh selama ini. Lalu berkencan lah di malam Minggu dengan seseorang yang mencintaimu."

Nino menyodorkan sobekan kertas kecil di depanku, saat aku mulai berusaha fokus pada sejarah minat. Kertas putih dirobek tak rapi itu bertuliskan, "Kita tidak bisa berdiskusi di sini. Bagaimana jika kita belajar di kafe dekat sekolah?"

Aku menatap Nino, menghela napas.

Ia kembali menulis pada kertas kecil. "Banyak mata mengawasi kita, aku tidak nyaman, Lia."

Kembali menghela napas, kemudian mengemas buku-buku di meja untuk dimasukkan ke dalam tas. Sekelebat melirik Nino yang langsung tersenyum lebar, lantas menggenggam tanganku dan kami meninggalkan perpustakaan sekolah dengan berbagai tatapan aneh. Kupikir, Nino tak peduli dengan tatapan itu, maka lebih baik aku pun tidak peduli.

"Lia," panggil Nino melepaskan genggamannya, berjalan mundur menghadap ke arahku. "Aku ingin bertanya perihal, mengapa Indische Partij dianggap partai radikal? Aku menahannya sejak tadi. Ingin bertanya, tapi tatapan mereka seolah menegaskan bahwa perpustakaan ialah tempat tersunyi untuk membaca, bukan tempat teramai untuk berdiskusi."

Aku tersenyum, mengecilkan langkahku agar Nino tidak terjatuh karena berusaha mengimbangi langkahku dengan langkah mundurnya. Kupikir ia bosan karena kencan kami hanya belajar, ternyata ia tetap membahas pelajaran pada kencan pertama kami.

"Indische partij dianggap bersifat radikal oleh pemerintahan Hindia - Belanda karena dianggap membangkitkan rasa nasionalisme terhadap rakyat Indonesia saat itu, masih dalam bentuk kerajaan, kan? Tahu sendiri kalau kita bersatu, itu artinya kekuatan kita bisa lebih besar dari Hindia - Belanda. Jadi, mereka merasa terancam," jelasku.

"Bukankah semua partai dan organisasi itu menyerukan hal yang sama, Lia? Budi Utomo? Sarekat Islam?"

Tersenyum. "Nino, aku belum selesai menjelaskannya."

"Oh oke. Jadi,  apalagi alasannya, Liaku."

Aku mengernyitkan dahi. Kalian tahu, Nino ini pacar pertamaku meski aku sudah beberapa kali jatuh cinta. Laki-laki hanya suka membuatku melayang, tidak ingin memilikiku karena sejarah selalu membosankan. Tak heran, kan, jika aku merasa aneh dengan panggilan Nino untukku?

"Alasan kedua itu munculnya surat kabar De Expres. De Expres adalah surat kabar perjuangan dan pembaharuan Indische Partij, khususnya dalam kesetaraan antara golongan Eropa dengan Pribumi, serta penindasan penjajahan Hindia - Belanda. Selain De Expres, ada juga tiga tulisan legendaris. Kamu pasti tahu tulisan apa itu, Nino."

Arsana [Tersedia Di Shopee]Where stories live. Discover now