A. 24 [Berbeda Rasa Tetap Satu Juga]

1.2K 215 16
                                    

Hari pertama masuk sekolah dengan suasana baru meski masih di tempat Oom Pierre mengenyam pendidikan pada masa itu. Aku datang ke sekolah dengan rasa rindu yang menggebu. Lebih-lebih setelah Nino tak lagi menghubungiku beberapa hari ini. Sejak Pak Dirman kala swastamita menggantung diri itu, Nino menghilang. Aku mencoba menghubunginya, masuk, tapi tidak pernah ada jawaban. Online namun tak pernah sempat mengintip pesan singkatku. 

Beberapa kali aku mencoba memahami posisinya, tapi ketakutanku akan kalimat perpisahan pun tidak mau enyah. Kalimat itu terus bersarang dan gaduh dalam otakku. Sudah kusiapkan keluasan hati untuk menghadapi patah. Namun sepertinya, patah hati tak perlu persiapan. Bagaimana jika ternyata percakapan terakhir itu adalah hari yang Nino nantikan dan hari yang aku takutkan?

Ah, hatiku tetap merindukannya, tetap mengharapkan temu hari ini, dan tetap ingin berbicara sepatah-dua patah kata. Sayangnya, hingga siang menjelang, tak nampak batang hidung Nino di hadapanku. Bahkan saat jam makan siang, aku menunggunya di kantin sembari membahas lambang negara, Nino juga tak datang.

"Mbak Lia, jadi burung garuda awalnya dari kisah apa tadi?" tanya adik kelasku dari jurnalistik. Ia hendak mengisi mading untuk bulan ini dan meminta masukan dariku.

Aku membenarkan posisi dudukku setelah sibuk menyisir kantin sekolah, mencari kekasih hatiku yang lenyap. "Mbak ulangi deh. Awalnya pada tanggal 13 Juli 1945, dalam rapat Panitia Perancangan Undang-Undang Dasar 1945. Seorang anggota bernama Parada Harahap mengusulkan tentang lambang negara. Kemudian tanggal 16 November 1945 dibentuk Panitia Indonesia Raya. Panitia ini bertugas menyelidiki arti lambang-lambang dalam peradaban bangsa Indonesia untuk menyiapkan lambang negara. Dengan Ki Hajar Dewantara sebagai ketua dan Muhammad Yamin sebagai sekretaris umum. Ini Mbak dapat dari jurnal Pendidikan Sejarah dengan judul Proses Penetapan Garuda Pancasila Sebagai Lambang Negara Indonesia Tahun 1949-1951, volume 2 nomor 2, Juni 2014 oleh Puput Virdianti dan Septiana Alrianingrum. Catat sumbernya!" tegasku.

Lantas kuceritakan bagaimana garuda sebelum menjadi lambang negara. Seperti yang ditulis oleh Resa Herdahita Putri dalam laman resmi www.historia.id dengan judul Garuda Sebelum Jadi Lambang Negara. Dikatakan dalam artikel tersebut bahwa lambang garuda berasal dari relief dan cerita Garudeya, seekor burung yang berbakti pada ibunya. Kisah tentang Garudeya itu dari cerita Samuderamantana yang merupakan salah satu episode dalam wiracarita Mahabarata, yaitu Adiparwa. Aku juga kurang paham perihal ini, membahas kisah-kisah dalam Mahabarata itu memusingkan. Setidaknya bagiku. 

Nah, kisah Garudeya itu disadur ulang dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa kuno. Hingga akhirnya kisah-kisah Garudeya diwujudkan dalam bentuk relief pada masa kerajaan Majapahit. Salah satu contoh berwujudan kisah Garudeya yang paling kuingat adalah relief Garuda di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah. Aku pernah mengunjunginya bersama Ayah. Selain itu karena relief tersebut merupakan inspirasi ketika panitia merumuskan lambang negara. 

"Mbak agak lupa lagi sih, kan otak Mbak juga bukan otaknya Pak Habibie yang bisa tahu segala hal. He-he. Nanti..."

"Lia, Lia!" panggil Monita dan Laras masih membawa mukenanya. Menatap meja kantin yang penuh dengan lembaran kertas. "Ih, ngapain sih malah bahas berbeda-beda tetapi tetap satu juga?" protesnya setelah melihat satu kertas dengan judul Bhinneka Tunggal Ika.

"Kenapa sih?" tanyaku santai.

Laras menangkup kepalaku, memutar ke arah belakang. "Tuh, yang katanya sudah beda rasa tapi masih bisa bersama!" 

Arsanaku yang tampan tengah berjalan dengan mantan  kekasihnya, sembari tersenyum tipis. Mereka nampak serasi, nampak baik-baik saja. Bahkan Nino seolah lupa ia punya kekasih yang masih mengharapkan kehadirannya. 

"Ishhh, kan aku sudah bilang, Lia. Playboy itu tidak bisa sembuh. Main-main saja dia denganmu!" keluh Laras penuh dengan emosi. 

"Lia, kamu itu aset negara yang patut dilindungi, aku tidak terima kalau kamu dibuat patah hati begini. Bagaimana kalau kamu nanti bunuh diri karena patah hati? Bisa berduka satu negara!" Monita pun tak mau kalah.

Laras menepuk mulut Monita.

Aku menghela napas. Jika dikatakan cemburu tentu sangat cemburu. Coba bayangkan jika seseorang yang kalian suka, tidak, kekasih kalian jalan bersama mantan kekasihnya, bayangkan! Ada kisah masa lalu yang belum usai di sana. Namun aku berusaha baik-baik saja, menghibur diri, mungkin mereka hanya saling sapa.

"Saling sapa?" bentak Laras dan Monita.

"Dibutakan cinta kamu, ya?" giliran Laras tiba-tiba membuka mataku dengan dengan kedua jari telunjuknya.

"Ras!" Menjauhkan tangannya. 

Laras dan Monita mendekati Nino yang berjalan masuk ke dalam kantin. Mereka memicingkan mata tanpa mengatakan apapun. Sementara Irish tersenyum menang di belakang Nino. 

Aku bangkit, berjalan keluar area kantin. 

"Mbak Lia, jadi tadi tanggal berapa garuda resmi dipakai?" pekik adik kelasku.

"Tanggal 17 Agustus 1951 Lambang negara diresmikan pemakaiannya," jawabku cepat sembari melewati Nino di depanku. 

"Lia," panggilnya berlari mengejarku. "Aku belum makan, kamu mau menemaniku?" 

Langkahku terhenti, jika sudah ada Irish mengapa masih butuh aku? Itu yang menjadi pertanyaanku dan tentu, kulontarkan juga pertanyaan itu pada Nino. Ia menjawab bahwa ia hanya berpapasan dengan mantan kekasihnya itu.

"Dia menanyakan perkembangan kasus papaku, Lia. Tidak lebih. Saat seperti ini kamu masih ada waktu untuk cemburu?" ketusnya. "Aku bahkan lebih butuh penghiburanmu dibandingkan kecurigaanmu, Lia."

Baru kali ini Nino ketus padaku, meski sebenarnya aku tahu, ia sering bersikap ketus dan angkuh pada orang lain. Hanya saja, sejak mendekatiku ia tak pernah bersikap demikian. 

"Tapi kamu juga ada waktu membicarakan perpisahan, Nino. Bukankah aku juga butuh diyakinkan?"

Nino diam beberapa saat. "Terserah, perempuan memang selalu mencari kesalahan laki-laki saat ia disalahkan!" Langkah kakinya mantap meninggalkanku. 

"Laki-laki juga suka membicarakan perpisahan seenaknya saja," gumamku.

Hanya bisa menatap punggung Nino menghilang di balik kerumunan siswa-siswi yang sedang makan siang. Entah aku salah atau tidak, ya, aku terlalu cemburu, seperti Inggit yang marah mendengar Sukarno ada hati dengan Fatmawati. Yang menjadikan aku dan Inggit Garnasih berbeda ialah kepastian. Bung Karno sudah pasti ada hati dengan Fatmawati, sementara Nino dan Irish belum pasti ada rasa yang dapat kembali.

Kembali ke kelas dengan kecemburuan yang ingin kukendalikan. Sekaligus rasa bersalah. Dalam masa sulit untuk Nino ini, seharusnya aku lebih bisa menghibur. Aku pun seharusnya membiarkan berkubik-kubik rinduku mencair oleh temu. Sepertinya cemburu lebih berkuasa dibandingkan logika.

Menghela napas, berjalan lemas ke arah tempat dudukku.

"Lia, putus saja dengan Nino!" pekik Laras saat aku baru saja duduk. 

"Iya!" Monita pun sama. 

Bukankah wajar cinta di masa remaja penuh dengan kecemburuan? Wajar bisa saling meninggalkan, tapi tidak salah jika aku menetap hingga waktu itu tiba. Aku percaya masih ada waktu untukku dapat bahagia bersama Arsana. Jika nantinya akan patah, setidaknya aku memiliki kenangan indah. Meski aku tidak sanggup jika harus patah hati.

©©©
Bersambung...

Arsana [Tersedia Di Shopee]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang