A. 25 [Aku Bukanlah Inggit Garnasih]

2.2K 261 82
                                    

Malam menjelang pagi hendak menyambut, aku berada di tengah-tengahnya, sedang membaca buku sejarah sembari mengingat tingkah Arsana. Esok seharusnya sudah 1 bulan kami bersama, tapi ia sama sekali tak menghubungiku. Padahal aku sudah menyiapkan banyak cerita sejarah untuk ia dengar. Setiap malamku tak sekalipun aku berubah lesu, selalu bersemangat, membaca buku hingga tengah malam terlewat. Sekadar menyiapkan cerita andaikata di hari berikutnya Nino membutuhkan ceritaku. 

Sejak tadi aku juga sudah merasa bersalah, tak seharusnya aku cemburu berlebihan.  Tapi dari kejadian siang tadi, aku belajar, bahwa sedewasa dan sebagus apapun pikiran seseorang, cemburu tetaplah cemburu. Bisa jadi ia mengalahkan logika dan menguasai hati dengan emosi. 

Kling...

Irish membuat gawaiku berdering di tengah malam. Ia bertanya, "Bagaimana hari ini? Sudah ada tanda patah hati, bukan? Ingat, semua laki-laki itu sama. Entah masalalunya belum usai atau tak cukup jika hanya bermain satu permainan." Kupikir itu terlalu berlebihan. Jika semua laki-laki sama, maka ia juga akan menikahi laki-laki di antara kedua pilihan itu. Irish mengatakannya seolah ia tak akan menikah dengan laki-laki saja. 

 Berpikir panjang sebelum membalas pesan singkatnya, barulah kukatakan, "Tenang, andaikata aku berpisah dengan Nino. Orang yang pertama kali kutemui tak lain dan tak bukan adalah dirimu."

Pagi benar-benar menjelang saat mataku mulai pedih, memohon untuk segera tenggelam ke dalam lautan mimpi. Berhasil, namun tak ada mimpi indah yang terputar. Azan subuh sudah menepuk kelopak mataku, Allah Swt. sudah menungguku.

Arunika menyambutku seperti biasanya, kali ini aku kembali bersama Bu Inggit. Ada sesuatu yang menggangguku lebih dari 1 bulan ini. Perihal aku yang meneladani kisah Ibu Inggit atau sebenarnya aku lebih jahat dari beliau. Hari ini, di 1 bulan hubunganku dengan Nino, aku ingin memastikannya lagi. 

Berjalan pelan melewati gerbang sekolah, tak sadar ada seseorang menungguku di baliknya. Ia yang menyapaku dengan senyum tanpa kata, wajah tampan berkharisma, dan langkah jenjang yang berusaha seimbang. Ia tak mengatakan apapun padaku, aku pun sama melihatnya. 

"Hari ini sudah satu bulan kita bersama, Lia," katanya. "Aku minta maaf atas kata-kataku kemarin. Hanya sedang banyak pikiran."

Mataku tetap pada buku. "Aku juga minta maaf atas kecemburuanku, Nino. Tak seharusnya aku berlebihan semacam itu. Seharusnya aku juga mengerti posisimu saat ini."

Nino melangkah ke depanku, berjalan mundur, memegangi sisa tali tas ranselnya, dan menatapku dengan binar mata cerah. 

"Ada kabar baik?" tanyaku.

Mengangguk. "Papa dibebaskan dari tuduhan karena memang tidak terbukti. Papa ada di tempat kejadian transaksi, Papa hanya tidak sengaja mampir ke rumah itu. Setelah membuktikan banyak hal. Ya, meskipun ada kemungkinan Papa akan sengaja diseret dalam kasus ini, karena beberapa tersangka juga terlihat tidak mau sendirian di balik jeruji. Tapi, setidaknya aku tahu, Papaku bukan penjahat negeri ini."

Aku tersenyum. "Aku bersyukur atas itu."

"Terima kasih, Lia. Tunggu, bukankah kamu sudah membaca buku ini?" tanyanya mengintip sampul buku merah di tanganku. 

"Iya, aku hanya ingin memastikan apakah aku seperti Inggit atau sebenarnya aku lebih buruk dari beliau," jawabku berjalan pelan, takut Nino terjatuh.

"Kenapa kamu lebih buruk dari Inggit?"

Menghentikan langkahku. "Ada yang ingin kamu katakan padaku hari ini?"

"Banyak."

"Satu yang paling penting."

Arsana [Tersedia Di Shopee]Where stories live. Discover now