A. 20 [Martabak Pak Tjokro]

1.5K 275 22
                                    

Dua hari libur sudah cukup membosankan. Biasanya jalan-jalan dengan Bunda, mengelilingi kota, menyambangi tempat sejarah. Kali ini belum bisa, Bunda masih sibuk di kantor. Bulannya perusahaan membayar pajak begini, Bunda suka lembur, bahkan terkadang seolah tak ada libur. Jika sebagian kerjaannya bisa dibawa pulang, aku terbiasa membantu Bunda. Hingga aku sedikit banyak paham perihal perpajakan. Bila aku mau, bisa saja aku menjadi seperti Bunda. Tapi sepertinya banyak orang bermimpi terjun di dunia perpajakan tapi tak banyak orang bermimpi terjun di dunia penuh dengan cerita masa lalu.

Meski begitu, liburanku terselamatkan oleh perpustakaan Ayah. Banyak sekali buku yang belum kubaca, atau memang tak pernah habis dibaca. Sejak Ayah meninggal dunia, Bunda yang menggantikan Ayah menambah satu buku sejarah setiap bulannya. Pantas jika kukatakan tak pernah habis kubaca.

Jika anak normal disuguhkan dongeng Cinderella, Kancil si Anak Nakal, atau dongeng-dongeng di majalah anak. Sejak kecil aku sudah mendengar bagaimana negara ini berjuang, bagaimana negara ini bertumpah darah, dan bagaimana negara ini lahir. Aku hanya bisa tidur jika dongeng perihal masa lalu negara ini Ayah ceritakan. Meski pada akhirnya semua berubah seiring bertambahnya umur kami. Ayah menua dan menderita sakit, sementara aku tak pernah berani mengganggu waktunya.

Kling...

Gawaiku berdering di atas meja kerja Ayah di dalam perpustakaannya. Aku duduk di dekat jendela, menikmati terik matahari yang memaksa masuk melalui celah-celah, segelas es teh, dan aroma buku-buku yang begitu khas.

"Selamat sore, Lia," sapa Arsana di seberang sana.

"Sore, Nino. Ada apa?"

"Aku rindu. Kamu rindu tidak?"

Diam untuk beberapa saat. "Ya, tentu saja."

"Bunda suka martabak manis rasa apa?" tanyanya setelah diam juga untuk beberapa saat. Apakah dalam diamnya ia tersenyum atau merasa geli? Yang mana yang benar? Baiklah, aku harus berpikir untuk bahagia saja, aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Yang membuat patah hati semakin menyiksa bukanlah orang lain, tapi diri kita yang selalu menaruh curiga.

"Kenapa memangnya?"

"Kalau kamu suka martabak manis rasa apa?"

"Kenapa?"

"Jawab saja."

"Aku suka rasa cokelat."

"Pakai cinta?"

Aku terkekeh. "Kamu mau bilang apa?"

"Tidak, aku hanya ingin bertanya. Bunda suka martabak manis rasa apa?"

"Sama denganku."

"Pakai cinta juga?"

Tersenyum.

"Baiklah, cukup. Tanpa ditanya seharusnya aku sudah tahu. Martabak manis rasa cokelat dengan cinta. Ditunggu ya?"

Telepon mati begitu saja. Padahal aku hendak bertanya, apakah ia berjualan martabak manis sekarang? Urung kulakukan jika begini.

Aku kembali ke deretan buku-buku lama. Habis sudah aku membaca buku tentang Dewi Sartika. Kini waktunya aku mencari tokoh perempuan lainnya.

Sedikit sulit memang, tak banyak buku yang mengisahkan tentang pahlawan perempuan. Jika ada, lebih banyak menceritakan R.A. Kartini, Dewi Sartika, istri-istri presiden. Mungkin, aku saja yang belum menemui.

Ada satu buku yang ingin sekali kucari keberadaannya, buku berjudul Martha Christina Tiahahu yang disusun oleh L.J.H. Zacharias terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1984. Namun keberadaan buku itu pun sulit kutemui, padahal ingin sekali kubaca bagaimana kisah seorang Martha Christina Tiahahu, pahlawan perempuan yang tak banyak dikenal masyarakat.

Arsana [Tersedia Di Shopee]Where stories live. Discover now