A. 5 [Seperti Bung Karno]

2.5K 344 62
                                    

Sepanjang malam Max Havelaar-ku tak habis, ia kalah dengan tugas matematika serta direct message dari Arsana. Aku tak membalasnya, sungguh tak ada keberanian untuk membalas. Hanya kupandangi dan meletup sendiri setiap ada pesan baru yang masuk. "Lia, apa kamu masih sibuk dengan buku birumu? Hingga tak punya waktu membalas direct message dariku. Oke, tak apa. Selesaikan. Aku akan menunggu. Seperti Rudy yang menunggu waktunya kembali agar dapat bertemu Ainun."

Aku tahu dan aku paham betul setiap laki-laki playboy pandai merayu. Tetapi tak pernah ada rayuan berkelas yang keluar dari mulut seorang playboy. Setidaknya itu kata ayah waktu aku masih SMP. Saat itu aku membantah, Soekarno memuji perempuannya dengan berkelas, padahal bisa dikatakan Soekarno pun mudah jatuh cinta. Ayah membalas lagi bahwa Kartini Manoppo, dipuji cantik oleh Soekarno selepas Soekarno melihat pameran lukisan Basuki Abdullah, di mana Kartini sebagai model salah satu lukisan. Seorang Kartini langsung tersipu malu dan jatuh hati. Dinikahi secara tidak resmi pada tahun 1959, dikirim ke Jerman ketika ada gejolak G30SPKI di Indonesia, dan melahirkan Totok Suryawan di sana.

Tidak ada yang tahu bahwa Kartini Manoppo menikah dengan Soekarno karena memang disembunyikan. Baru terungkap pada 20 Juni 1978 oleh kakak kandung Soekarno, Ibu Sukarmini atau yang akrab disapa Ibu Wardoyo, yang merasa bahwa Totok Suryawan mirip dengan Sukarno. Hal itu tertuang dalam buku karya Reni Nuryanti dkk, tahun 2007 yang berjudul, Istri-istri Sukarno. Kata ayah lagi, "Yang berkelas bukan pujian Soekarno, Lia. Tetapi kharisma seorang Soekarno tiada tandingannya. Baik bagi musuhnya, rakyatnya, atau wanitanya. Karena semua laki-laki bisa memuji semua perempuan cantik, tetapi tidak semua bisa memikat seperti Bung Karno."

Sekarang, Arsana mengingatkanku pada sosok Bung Karno, meski jauh dari kata mirip. Aku akui Gavin Nino Mahardika, penuh kharismatik dan tampan. Tetapi tidak ada yang bisa sepadan dengan Bung Karno. Ia hanya mengingatkanku pada sedikit karismatik yang ia pancarkan. Pada tutur katanya yang mampu membiusku.

Pagi ini, aku berjalan bersama Max Havelaar, memasuki gerbang sekolah, dengan sesekali berharap dapat melihat Arsana. Melihatnya turun dari mobil ayahnya mungkin, atau melihatnya berjalan bersama Hito. Sempat berhenti, lalu melanjutkan langkah lagi. Sudah saatnya berhenti memikirkan sosok Arsana.

"Selamat pagi, Lia. Semalaman aku menunggu balas pesanmu, tetapi sepertinya kamu sibuk dengan bukumu," sapa seseorang menyamai langkahku, menyusuri lorong menuju deretan kelas XI IPS.

Langkahku terhenti, menoleh pada sosok Arsana yang tersenyum manis di hadapanku.

"Aku penasaran, apakah aku bisa menggantikan buku sejarahmu itu?" ujarnya lagi saat kami saling berhadapan.

Jika kalian menjadi aku, sudah terbang berapa kaki di atas permukaan air laut? Sudahkah menemui bintang-bintang? Atau mungkin kalian tidak terbang, hanya merasa sedang ada di taman bunga-bunga. Sungguh, aku terbang saat ini. Tetapi, aku bukanlah seseorang yang mudah saja menerima, seperti Kartini Manoppo pada Bung Karno atau Sulistina pada Bung Tomo. Aku ingin menjadi diriku sendiri, yang sedikit jual mahal meskipun aku hampir pingsan karena rayuan.

"Bisa, asal kamu hafal semua sejarah Indonesia, mulai dari kerajaan hingga reformasi. Kamu juga harus hafal perihal Kudungga hingga B.J. Habibie. Dari tanggal lahir, silsilah keluarga, karir kerajaan atau politiknya, serta kisah cintanya."

Arsana sedikit terbelalak.

"Agar aku tak perlu membaca buku, hanya perlu mendengarkan ceritamu sepanjang waktu," kataku dengan nada yang ketus. Tuhan, padahal aku ingin tersenyum lebar.

Aku berjalan pergi, meninggalkan Arsana yang masih diam mematung. Setelah sepuluh langkah, atau kupastikan dia tidak melihatku, aku berlari sekencang-kencangnya masuk ke dalam kelas.

Arsana [Tersedia Di Shopee]Where stories live. Discover now