A. 12 [Laiknya Inggit Garnasih]

2K 315 126
                                    

Ujian akhir semester 2, lebih tepatnya,  ujian kenaikan kelas sudah berlangsung selama 2 hari. Arsana tidak lagi lewat di balik jendela kaca, itu sudah menjadi kebiasannya. Menghilang ketika ujian-ujian datang. Ia juga tak menyapa melalui ketik setiap kata. Satu-satunya cara aku menikmati tawanya ialah dari lorong tempat kami menunggu jadwal ujian berikutnya. Sebab Arsana biasanya duduk di tepi lorong depan kelasnya, memegang buku, tetapi bibir menertawakan teman-temannya. Terkadang berkerumun dengan perempuan-perempuan yang mengidolakannya. Semua perempuan berkedok teman, tetapi perasaan mereka selalu lebih dari teman.

Beberapa hari ini aku terus memperhatikan tawanya seraya bertanya dalam hati, "Apakah ia benar-benar bahagia?" Sebab ia tak pernah nampak sedih sekali, seperti saat ia bercerita perihal kehidupannya padaku melalui bait-bait pilu. Senyum dan tawanya seolah-olah menantang dunia, "Halo, aku Nino dan aku baik-baik saja meski kehidupanku teramat kejam!" Atau sebenarnya, ia hanya ingin menarik paksa rasa ibaku untuknya, agar sesuatu yang rahasia baginya dan teman-temannya berjalan lancar. Ah, tetapi untuk apa anak seorang anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah mengungkapkan aibnya padaku? Bukankah hanya memperburuk citra keluarganya, jika hanya sekadar untuk menarik rasa ibaku?

"Lama banget nih nama pelakornya diungkap, Ras. Capek nungguin. Masa si Irisha masih menyelikidi terus," seru Monita. Tak ada hari tanpa wattpad bagi mereka berdua, bahkan meski lima menit lagi pengawas ruangan akan datang.

"Menyelidiki, mohon untuk diralat." Laras dengan semua penekanannya.

"Oke, menyelikidi."

"Me-nye-li-di-ki."

"Menyelikidi. Ah, gimana sih? Susah amat."

Laras hanya bisa menghela napas. "Eh, update gila!" pekiknya begitu keras, membuat dua kelas di samping kami menatap ke arah kami. Termasuk Nino.

Monita dan Laras tidak peduli, aku berusaha begitu tetapi tatapanku dan tatapan Nino terlanjur bertemu di tengah-tengah, bergulat, menjadi getaran untukku, mungkin tidak berarti apa-apa untuk Nino.

"Ah, udah mau masuk ruangan ini. Baca sekilas aja dah, lompat-lompat," gumam Monita.

"Kasian yang nulis sih ya? Sudah nulis banyak dibacanya lompat-lompat, padahal merangkai kata menjadi sebuah kalimat itu tidaklah mudah," balas Laras. "Tapi maaf ya, kepepet."

Aku masih beradu pandang dengan Nino, tetapi suara-suara di seberang menjadi latar suara untuk adu pandang kami.

"Oh, pelakornya si Nino namanya Winda, atlet voli. Tapi masa pelakornya nggak cuma satu, Nino simpan foto cewek lain yang masih harus diselidiki sama Irisha," gumam Monita. "Eh, aku bisa ngomong diselidiki!" lonjaknya gembira. Sungguh, ia mempermalukan dirinya sendiri.

"Kok aku merasa aneh ya dengan tulisan yang satu ini, Mon?" Laras bersuara.

"Aneh apanya?"

Aku bangkit, mengalihkan pandangan dari Nino sebab Juwita sudah menyadari ada dua pasang bola mata yang beradu pandang. Toh, para pengawas ruangan sudah berjalan dari arah kantor guru, sudah waktunya kami berkutat dengan soal-soal Bahasa Jawa.

"Bukannya emang kebanyakan cerita Wattpad itu aneh ya?" ketusku melangkah masuk.

"Hem, si Pecinta Masa Lalu!" balas Monita dan Laras kompak.

Bahasa Jawa adalah salah satu mata pelajaran favoritku. Mengapa? Karena aku suka membaca, sudah tentu aku tahu semboyan "Utamakan Bahasa Indonesia, Kuasai Bahasa Asing, Lestarikan Bahasa Daerah." Selain itu, karena beberapa buku sejarah berbahasa Jawa ada di perpustakaan peninggalan ayah. Butuh waktu 45 menit untuk menyelesaikan soal-soal yang ada.

Arsana [Tersedia Di Shopee]Where stories live. Discover now