A. 10 [Kembali di Balik Jendela Kaca]

1.9K 318 55
                                    

Pukul 11.45 WIB, berhari-hari tak pernah nampak Arsana di balik jendela kaca, ia hanya menampakkan diri melalui setiap kata yang ia kirimkan. Namun sejak perjalanan singkat ke Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah 4 hari yang lalu, kata itu tak lagi ada, ia kembali di balik jendela kaca. Aku tidak tahu alasannya apa, kenapa ia sekarang berhenti mengirimiku pesan. Meski sebenarnya, jika aku mau menerka-nerka, tentu aku telah mendapatkan jawabnya. Aku hanya melindungi diri agar tidak patah sebelum berkembang. Biarlah, biarlah ia sesuka hatinya dan aku sesuka hatiku menatap Arsana di balik jendela kaca.

Selain Arsana, hari ini aku bersua dengan Kartini, elok nan anggun sikap serta pemikirannya perihal emansipasi. Aku tahu, jauh sebelum ia telah lahir pahlawan lainnya, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien, dan lain sebagainya. Tetapi surat-surat yang dikirimkan Kartini serta cuilan-cuilannya dalam setiap surat itu lah yang mengangkat derajat kaum perempuan di Indonesia. Kartini yang membangun martabat perempuan di Indonesia, berharap perempuan juga dapat bermanfaat terhadap sesamanya. Bukankah patut jika aku mempertahankan itu? Bahkan patut jika kalian mempertahankan martabat itu pula.

Oleh sebab Kartini, itu kenapa aku hanya bisa diam di balik jendela kaca. Emansipasi mengajarkan perempuan bersuara, tetapi bagiku, tak patutlah aku memulai kata pada Arsana, perihal rasa yang kupunya terlebih dahulu. Toh, agamaku juga mengajarkan, perempuan dapat melamar, sekali lagi melamar, bukan mengemis menjadi pacar.

Aku juga belajar menjaga tutur dan tingkah lakuku, agar senantiasa elok serta bermanfaat bagi orang lain. Kartini mengajarkan semuanya, melalui 588 halaman buku cetakan baru Habis Gelap Terbitlah Terang.

Jam istirahat hampir habis ketika aku menutup buku Kartiniku pada halaman 146, di mana sajak Anak Bulan Mei tertulis. Ini waktunya Arsana kembali ke kelasnya, boleh, kan? Tak salah, kan? Apabila aku ingin menatapnya untuk yang kedua kali hari ini.

Sedikit berdiri, nampak Hito dan pasukannya. Maka, Arsana dalam hitungan satu, dua, dan tiga, ia benar-benar muncul di balik jendela, dengan wajah suramnya, menatap ke dalam kelasku. Tatapannya tajam, menyentuh tatapanku di tengah-tengah. Aku tak bisa bergerak sama sekali dan ia pun sama. Cukup untuk membuat beberapa teman kelasku terheran-heran. Terlebih Juwita, Rahyana, dan teman sepermainan mereka.

Arsana memalingkan wajahnya begitu tahu di dalam ada yang tak biasa, aku pun sama. Berlalu keluar kelas dan mengatakan pada Laras jika aku akan ke kamar mandi sebentar, meminta dia mengizinkan pada guru kalau aku datang terlambat. Apa yang baru saja terjadi? Tatapan apa yang begitu dalam dan sayu?

Berulang kali mengguyur wajahku dengan air, berikut ujung-ujung rambutku yang tak kuikat. Semacam orang kesetanan, padahal aku hanya merasa terlalu panas oleh tatapan itu.

Kling...

Gawaiku berdenting, sebuah pesan masuk.

+6287693xxxxxx
Gue tunggu lo di depan sekolah!

Dahiku mengernyit. Tak ada nomor itu dalam kontak di gawaiku. Rasa-rasanya pun aku tidak mengenal. Mungkin hanya orang iseng atau penipu undian berhadiah.

Aku tak mengindahkan pesan itu dan keluar dari kamar mandi. Tepat ketika Arsana juga keluar dari kamar mandi. Aku hendak ke arah kanan dan ia ke arah kiri. Kami bertemu dan saling berharapan. Lagi dan lagi, tatapan sayu ditambah guratan malu. Aku tidak tahu kenapa, ingin sekali bertanya apakah ia baik-baik saja? Ke mana dia? Kenapa tidak menghubungiku? Akan tetapi, aku harus menahan diriku. Harus tahu sejauh mana posisiku sebenarnya.

Arsana, tidak, Nino mendorong tubuhku menyingkir, kasar. Itulah kenapa aku memanggilnya Nino kali ini. Dalam imajiku, Arsana bukanlah sosok yang kasar pada perempuan, ia lembut penuh cinta laiknya Bung Karno atau laiknya Bung Tomo pada Sulistina.

Arsana [Tersedia Di Shopee]Where stories live. Discover now