A. 8 [Nino, Teman Baru]

2K 316 29
                                    

Terik matahari membakar kulit di sela upacara sekolah. Bumi nampaknya kian tak baik-baik saja atas ulah manusia, tetapi tak banyak yang mau mengakui ulahnya. Mereka hanya bisa mengeluh, bumiku kian panas, bumiku terlalu banyak batuk, dan lain sebagainya. Jika memang tak bisa berbuat hal kecil untuk tetap menjaga bumi ini baik-baik saja, jangan mengeluh, bisa jadi perut bumi terkocok-kocok mentertawakan manusia.

Usai upacara, aku langsung kembali ke kelas, bersama Laras, Monita, Rahyana, Juwita, dan masih banyak lagi teman sekelasku. Mereka sibuk membicarakan tulisan wattpad yang mereka baca. Tidak tahu apa judulnya, tetapi mereka terus menyebutkan nama Irisha dan Nino. Sepasang kekasih yang pada akhirnya menikah di usia muda, melewati rintangan sebagai orang tua muda. Terkadang aku merasa aneh dengan tulisan itu, entah perasaanku saja atau bagaimana. Kenyataannya, teman-temanku juga tidak ada yang mempermasalahkan itu.

"Lia," panggil Nino dari arah belakang.

Aku sebenarnya ada di barisan paling belakang teman-temanku, satu baris dengan Monita. Ketika Nino memanggil, aku langsung melangkah ke depan, menyusup di antara Laras, Rahyana, Juwita dan yang lainnya hingga aku berada di urutan paling depan. Aku tidak mau menyiksa jantungku hampir setiap harinya. Sabtu-Minggu kemarin sudah lebih baik, hanya menerima pesan yang tidak kubalas. Jika bertemu langsung, rasanya aku ingin mati saja.

"Lia," panggilnya lagi dan ternyata sudah ada di sebelah kananku. "Kenapa kamu menghindari temanmu?"

"Tidak ada apa-apa, Ar... Nino."

"Arnino?"

"Tidak."

"Lia, aku punya buku baru dari papaku, tentang perjalanan politik Bung Hatta. Em, Biografi Politik Mohammad Hatta, judulnya, terbitan kompas. Aku lupa tulisan siapa. Kamu mau pinjam?"

"Karya Deliar Noer terbit di Penerbit Kompas tahun 2018, harganya 199 ribu. Dan terdiri dari 3 jilid. Jilid 1 tentang Mohammad Hatta dan pemikirannya yang bermula saat kuliah di Negeri Belanda dan masuk Perhimpunan Indonesia. Jilid 2 tentang Mohammad Hatta dan Persatuan Indonesia. Jilid 3 tentang Mohammad Hatta dan Orde Baru," kataku melangkah cepat. Aku tidak ingin pingsan di tengah jalan, toh aku tak bisa berpura-pura tenang lebih lama.

Nino bergeser di depanku, melangkah mundur dan tersenyum. "Kamu sudah tahu? Baiklah, hari ini aku selesaikan dulu bacaanku. Nanti setelah selesai, kita bisa berdiskusi lebih lanjut tentang Bung Hatta."

Maksudnya, ia sengaja mencari bahan untuk dapat berbicara denganku? Atau bagaimana? Tolong jelaskan! Aku tidak bisa begini.

"Nino, aku belum selesai membaca buku itu, dan aku pun belum niat membacanya. Tidak perlu berdiskusi denganku!" pekikku membuat beberapa orang menoleh padaku. Termasuk Irish yang nampaknya ada di mana-mana setiap kali aku berhubungan dengan Nino. Ia selalu memandangku seperti ia memandang seorang penjahat. Bahkan meski gerak tangan berada di gawainya, ia tetap memandangku demikian.

Aku melanjutkan langkahku, sembari menundukkan kepala, berbelok ke arah kamar mandi untuk membasuh wajahku. Bayangan mata Irish yang mencolok itu kian hari mirip dengan mata hantu dalam film horor. Ia mungkin masih mencintai Nino, masih mengharapkan Nino bersamanya, masih tak ikhlas hati melepaskan Nino. Lagipula, siapa yang mau melepaskan Nino begitu saja?

Keluar dari kamar mandi, hanya aku seorang, lorong-lorong mulai sepi karena semua siswa sudah masuk ke dalam kelas. Melangkah dua langkah, nampaknya ada suara yang menggangguku dari dalam kamar mandi pria. Suaranya belum lama ini kudengar, namun kali ini tak hanya suara Arsana yang ada di dalam. Keluhan, semangat, pernyataan, tekad, cinta, aku mendengar kalimat-kalimat itu dengan jelas. Kemudian melangkah kembali ke kelas.

"Heh, update terbaru rumah tangga Nino ada pelakornya!" pekik Laras pada Monita dan Juwita.

Apakah begitu isi tulisan wattpad? Membahas tentang pelakor? Mungkin diadaptasi dari banyaknya Kisah Nyata Indos*ar yang mereka tonton atau entah bagaimana.

"Masa? Siapa nama pelakornya! Ishhh, udah baper-baper Nino punya anak dari Irisha masa ada pelakornya sih. Nggak terima gue!" balas Monita.

"Ishhhh, belum disebut lah nama pelakornya," jawab Laras.

Juwita dan Monita menghela napas kecewa.

"Kalian kenapa sih? Masih SMA tapi sudah membahas tentang pelakor, apa tidak ada bacaan lain? Cerita-cerita yang seumuran dengan kalian. Kisah cinta anak SMA yang normal begitu, misalnya," protesku, sembari membuka gawai untuk melakukan sesuatu, meskipun aku ragu.

Laras mendekat ke arahku. "Lia, ini seumuran dengan kita. Ya, tidak sih. Baru saja lulus SMA. Nikah muda. Pelajaran buat kita tahu kalau nikah muda itu tidak mudah. Jadi biar pikir-pikir ulang kalau mau nikah muda."

Menghela napas. "Lagi pula tujuan kalian pasti kuliah setelah ini. Kenapa tidak membaca buku-buku tentang kuliah? Daripada hal semacam itu."

"Ehem, oke, Miss Kaku. Lagi pula, kamu juga tidak membaca sesuai usiamu. Kamu hidup di masa sekarang, Lia. Bukan zaman kerajaan!" ketus Monita.

Baiklah, tidak baik selau berdebat soal ini. Toh, jawaban akhirnya selalu sama. Mereka tetap menyukai bacaannya dan aku pun begitu. Sebab selera manusia memang berbeda-beda, tidak bisa saling memaksakan kehendak.

"Ngapain kamu buka DM dari Nino? Banyak banget lagi DM-nya," tegur Juwita yang ternyata sudah ada di belakangku.

"Jangan bilang mau kamu balas?" Laras begitu keras sembari menunjuk wajahku.

Aku mengangguk pelan.

"Jangan!" Laras dan Monita kompak.

"Tapi dia baru saja mengirim pesan mengajakku ke Perpustakaan Provinsi hari ini. Haruskah aku menolak? Banyak buku sejarah Jawa di sana," jelasku menunjukkan bukti pesan langsung dari Nino.

"Sama kita-kita aja, jangan sama Nino. Kamu tahu nggak sih, Li. Irish kemarin DM aku tanya apa kamu sudah jadian sama Nino atau belum. Terus kirim bukti-bukti kalau Nino masih pacarnya anak SMAN 11 Semarang, atlet voli putri junior, masuk pelatnas, cantik juga." Laras dengan kesungguhannya.

"Sungguh?" tanyaku dengan nada patah hati.

"Iya, ada di media sosialnya, Lia. Coba deh lihat, nanti aku kirim tautan media sosialnya ke kamu. Sudah, tidak perlu main-main dengan Nino."

Juwita hanya mengangguk-angguk setelah ia berpindah duduk di sampingku. Sementara Monita mengatakan, "Jangan bodoh, jangan melangkah jika sudah tahu akan patah hati."

"Tapi, Mon, cinta selalu menggenggam patah hati, sama seperti hidup yang selalu menggenggam mati atau sebaliknya," bantahku seolah aku ini manusia paling siap untuk patah hati dan mati, padahal, aku khawatir sekali jika aku patah hati nanti, aku pun bisa jadi ketakukan ketika harus menghadapi Malaikat Pencabut Nyawa.

Monita membenarkan posisi duduknya. "Lia, katamu hidup selalu menggenggam mati, itu benar. Cinta selalu menggenggam patah hati juga benar. Tapi ibaratkan begini, kamu sudah tahu semua yang hidup akan mati, tapi kenapa masih pakai helm setiap kali kamu berkendara? Kenapa masih jalan di pinggir setiap kali kamu berangkat ke sekolah? Ada edelweis di bawah jurang yang dalam, kamu sangat mencintai edelweis, tetapi kamu juga mengurungkan niat untuk memilikinya. Kenapa? Karena kamu lebih menyayangi nyawamu, meski tahu semua yang hidup akan mati. Coba begitu juga dengan hatimu, Lia."

Benar, dia benar sekali tentang hal ini. Akan tetapi, aku lebih tahu siapa diriku yang sebenarnya dan aku lebih tahu, seberapa mampu aku menghadapi Nino.

Menarik gawaiku, mengetikkan kalimat yang berbunyi, "Kamu boleh menjadi teman baruku, Nino. Salam kenal. Jam berapa kita ke Perpustakaan nanti? Aku izin bundaku terlebih dahulu." Memencet tombol kirim, membuat tiga orang temanku berteriak kencang, tepat ketika guru fisika yang super galak masuk ke dalam kelas.

"Mulut kalian terbuat dari pengeras suara atau bagaimana? Didikan Tarzan ibu rasa!" ketus beliau setelah kaget di depan pintu. Sementara yang lain menahan tawa.

Aku diam sepanjang pelajaran, hanya sesekali bertanya dalam hati, "Beginikah menjadi Inggit Garnasih? Sudah tahu yang ia lakukan ialah kesalahan, tetapi masih melanjutkannya hingga ia terpaksa mengikhlaskan Bung Karno untuk Fatmawati. Akankah aku pun seperti Inggit nantinya, patah hati setelah semua susah yang dilewati?"

©©©
Bersambung...
IG/Twitter
@artileryca

Arsana [Tersedia Di Shopee]Where stories live. Discover now