A. 16 [Dwiwarna Dwirasa]

1.5K 265 27
                                    

Hari terakhir ujian kenaikan kelas, Nino sudah menungguku di depan ruang ujian. Ia sebenarnya sering melakukan itu, tetapi aku selalu mendiamkannya dan pulang lebih dulu. Tepatnya sejak pertemuanku dengan Irish.Ia juga tak bosan mengirim pesan padaku, bertanya apa aku baik-baik saja, mengingatkan aku untuk makan, mengucapkan selamat belajar, selamat tidur, dan ucapan selamat lainnya yang biasa pasangan remaja ucapkan. Tak satu pun pesannya kubalas. Aku tak marah dengannya, aku hanya takut untuk beberapa saat. Bagaimana jika Nino mau denganku hanya karena ia tahu siapa sosok Arsana yang sesungguhnya? Sebenarnya, sejak Nino mendekat aku juga waspada. Sudah tahu juga akan terluka pada akhirnya. Kemarin hanya butuh waktu untuk tenang sendirian.

Aku menatap Nino, menari tali tas ranselku. "Aku sendiri yang memilihmu, tapi aku juga yang takut akan terluka," kataku tersenyum getir.

Kedua alis Nino terangkat. "Apa yang kamu bicarakan dengan Irish, Lia?"

"Tidak."

"Dia bicara apa?"

"Tidak, Nino."

"Lia!" tegasnya membuat telingaku sedikit terganggu.

Tersenyum. "Irish hanya berkata jujur bahwa ia yang menulis cerita Wattpad itu, Nino."

"Kamu yakin? Lantas, kenapa kamu takut akan terluka? Irish pasti berbicara sesuatu. Apa? Soal aku yang suka gonta-ganti pacar, maka tak lama aku juga akan meninggalkanmu. Iya, dia bilang begitu?" Ada sedikit nada marah di sana.

"Bukannya memang kamu suka gonta-ganti pacar? Aku juga bisa menjadi korban nantinya, Nino. Kemungkinan itu ada." Melangkah maju, tak enak terus dilihat pengawas yang masih merapikan lembar jawab.

Nino menghadang langkahku. "Lia, apa seorang pendosa tidak diberikan kesempatan untuk bertaubat? Beginilah alasan banyak orang tak mau berhenti menjadi pendosa, karena stigma orang lain tentang dirinya selalu sama. Allah Swt. Maha Pengampun, Pemaaf, hamba-Nya saja yang terkadang angkuh tak memaafkan dan terus meremehkan seorang pendosa, arogan, seolah ia Tuhan."

Aku menelan ludahku. Apakah aku salah berpikir Nino masih orang yang sama? Tapi aku tahu sebuah rahasia, lalu, salahkah aku jika mencoba melindungi diriku sendiri dengan kecurigaan?

"Kamu pikir seorang playboy selamanya akan menjadi playboy? Lia, orang-orang sejenis aku ini bisa berubah. Ketika seorang playboy menemukan tambatan hatinya yang mampu menyentuh dasar hatinya, ia bisa sembuh. Dan aku menemukanmu. Fatmawatiku."

Menghela napas. Aku tidak bisa berkata-kata lagi untuk menanggapi kalimatnya. Terlalu lemah diri ini menanggapi kalimat manisnya. Kembali berjalan, tujuanku hanya pulang. Meski Nino mengajakku ke bioskop di tengah langkah kaki kami, pikiranku tetap pada dua rasa, cinta dan takut.

"Kamu tahu siapa itu Arsana?" tanyaku berhati-hati, setelah menghentikan langkahku di dekat gerbang sekolah.

Nino mengangkat kedua alisnya. "Laki-laki yang kamu suka, kan?"

"Iya, kamu tahu dia siapa?"

Menggeleng. "Kan kamu tidak mengenalkannya denganku. Ah, tapi tidak perlu kami berkenalan. Untuk apa? Lebih baik fokus membuatmu melupakannya, menjadikannya sejarah dalam hidupmu." Tersenyum lebar. Betapa tampan dan manisnya senyum itu.

"Sungguh kamu tidak tahu?"

"Tidak, Lia. Dan tidak mau tahu. Aku takut kalah tampan dan kalah berbudi dengannya."

"Memang!" balasku melangkah kembali ke arah tempat tunggu angkutan umum.

Nino mengikuti langkahku. Sesekali berjalan mundur hanya untuk menatap wajahku yang tanpa senyum. Tentu aku tidak baik-baik saja, adakalanya aku tersipu dan hampir pingsan dibuatnya. Aku hanya berusaha tetap tenang, tidak terlalu terbang agar tak jatuh terlalu dalam.

Arsana [Tersedia Di Shopee]Onde histórias criam vida. Descubra agora