BAB 3

14.7K 745 16
                                    

                Aku meringis saat steril water itu menyentuh kulitku. Rasanya perih, apalagi saat Abian membersihkan sisa kaca yang masih terancap di sana. Ingin menangis rasanya karena baru kali ini aku mendapatkan luka sedalam ini di telapak kaki.

"Seharusnya kita membersihkannya di kamar lo aja, biar lebih rileks." Abian berkomentar tanpa memandang ke arahku. Matanya awas dengan kapas betadine yang dengan perlahan di oleskannya di lukaku. Saat ini salah satu kakiku berada di atas pahanya, agar ia lebih leluasa untuk membersihkan dan mengobati telapak kakiku.

"Enggak!" tolakku." Gue malas jika harus kembali dan mendengar suara-suara itu lagi ditambah kembali bernasib sial seperti sekarang ini."

Aku memang sudah menceritakan kejadian malam ini pada Abian. Dan tak menunggu waktu lama, ia langsung datangmembawa seperangkat obat perawatan luka kemari. Untung ada Abian, kalau tidak aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

"Apa gue perlu mengatakan hal ini pada mama-mu?" tanyanya kemudian, kali ini tangannya cekatan menutup lukaku dengan kasa bersih.

Sebenarnya Abian menyarankanku untuk membawanya ke dokter dan mendapat beberapa jahitan, tapi karena aku takut, jadi aku lebih memilih untuk memperbannya saja tanpa dijahit. Memang lukanya akan sembuh sedikit lebih lama, tapi bagiku itu lebih baik daripada harus kembali tersiksa dengan jarum suntik, benang dan peralatan jahit lainnya.

"Tidak usah! Gue enggak pengen membuat mereka khawatir."

Abian mengangguk, masih sibuk dengan kain kassa yang ia lilitkan di telapak kakiku. Aku duduk dengan tenang, sambil sesekali meringis menahan sakit yang tiba-tiba saja berdenyut. Mengutuki kecerobohanku, dan tentu saja juga merutuki tetangga kosku yang tak pernah menjaga privasi tentang urusannya di ranjang.

"Mungkin mulai besok, lo bisa nyari'in gue kos lain deh Bi." Gumamku kemudian. Aku sudah menyerah sekarang. Persetan dengan pemandangan bagus atau hal lainnya yang tak akan bisa ku temukan di kos lain, asalkan aku bisa menjauh dari pria toxic itu.

Abian mendongak. Tapi dari raut mukanya yang biasa-biasa saja, ia kelihatan sudah paham jika aku akan mengatakan hal seperti ini cepat atau lambat.

"Oke. Besok gue cari'in yang lebih nyaman,mau gak?"

Aku mengangguk. "Terserah lo deh enaknya gimana." Jawabku pasrah. Terakhir aku menuruti keinginaku sendiri, dan hasilnya hanya mendapat kesialan seperti ini. mungkin karena kebiasaan orangtuaku yang selalu pilih-pilih untuk semua hal yang diberikannya padaku, sehingga secara tidak sadar itu menurun. Buktinya, aku sudah tidak betah dalam waktu dua hari karena tingkah tetangga kosku.

Saat Abian masih sibuk dengan kakiku, tiba-tiba saja derap langkah kaki memaksa kami untuk mengangkat dagu. Dan benar saja, pria bermata tajam itu berjalan melewati kami bersama perempuan yang tadi dicumbunya.

Dia menoleh ke arahku, lalu sekejap kemudian pandangaannya beralih ke kakiku. Ia menatapku tanpa ekspresi, seperti biasa sambil lalu.

Aku harap dia menyadari kesalahannya, bahwa apa yang telah dilakukannya berhasil mencelakaiku, dan besok terpaksa aku harus berjalan terpincang menuju kampus.

"Dia...tetangga yang aku omongin." Bisikku, setelah pria bermata tajam itu sudah menjauh. Sesaat kemudian kudengar deru mobil keluar dari pintu gerbang. Pastilah dia, hendak mengantar pulang pasangan kencannya.

"Alexader maksud lo?" Abian menatapku sungguh-sungguh.

"jadi namanya Alexander?" aku balik bertanya. Aku memang belum tahu nama cowok itu meskipun sudah beberapa kali bertemu.

Abian menyelesaikan balutannya, memposisikan kakiku dengan nyaman lalu membereskan sisa kasa dan betadine yang berserakan.

"Dia teman seangkatan gue. Anak fakultas kedokteran hewan." Jawabnya sambil terus merapikan sampah di depan kami. "Kalau dia mah memang anaknya gitu. Mungkin karena cakep kali ya Sha, jadi sesuka dia gitu ngerayu perempuan."

iL Legame (tamat)Where stories live. Discover now